Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Siap-siap dengan siupp

Pendaftaran Siupp bagi penerbitan pers. Diutamakan yang telah memiliki SIT (Surat Izin Terbit). Swasembada yang manajemennya oleh PT Grafiti pers mendapat nomor pertama. (md)

9 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESEMPATAN lahirnya penerbitan pers baru kini mulai dibuka. Sejak Senin pekan lalu Departemen Penerangan melayani permohonan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Perusahaan pers yang telah memiliki SIT (Surat Izin Terbit) harus mendaftar kembali dan menyesuaikan diri dengan ketentuan SIUPP. Pemohon baru juga dilayani. "Namun, pemerintah mengutamakan penerbitan yang sudah ada SITnya, walau tidak mengabaikan pemohon baru," kata Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Sukarno. Menurut catatan Departemen Pene rangan, saat ini ada 267 penerbitan yang teratur terbit, 109 di antaranya di Jakarta. Tampaknya minat menerbitkan koran cukup besar. Hanya empat hari setelah dibuka, ada 49 pemohon baru yang datang mengambil formulir pendaftaran. Salah seorang di antaranya Halim Al Rasyid, pengusaha periklanan yang ingin melangkah masuk bidang penerbitan pers. Sejak tahun lalu la merencanakan menerbitkan majalah Citra Pariwisata, dan telah memperoleh izin rekomendasi Dirjen Pariwisata. "Saya sudah mengeluarkan Rp 30 juta untuk mempersiapkan semuanya, termasuk biaya latihan dan gaji wartawan yang saya rekrut," katanya tatkala ditemui pekan lalu sewaktu mengambil formulir SIUPP. SIUPP nomor 001 sebenarnya telah turun 1 Februari lalu. Pemilik nomor istimewa itu swasembada, majalah bulanan yang diterbitkan Yayasan SembadaSwakarya, Jakarta, yang mulai diedarkan pekan ini. Manajemennya dikelola PT Grafiti Pers dan jabatan pemimpin redaksi dipegang Goenawan Mohamad. "Majalah ini mempunyai misi meningkatkan penggunaan produksi Indonesia," ucap Arwah Setiawan, redaksi pelaksana. Cukup banyak yang harus dilakukan para penerbit karena SIUPP ini memang memuat banyak hal baru yang memerlukan penyesuaian diri. "Kami sedang menggodok, antara lain, mengenai saham karyawan yang minimal 20 persen. Mungkin kami tidak akan memakai yang minimal, tapi sedikit ditambah," kata Atang Ruswita, pemimpin umum Pikiran Rakyat, koran terbesar di Bandung dengan oplah sekitar 120 ribu. Belum pasti sistem mana yang dipilih pemilikan saham secara kolektlf atau Individual. Keharusan membagi sekurang-kurangnya 20 persen modal perusahaan bagi para wartawan dan karyawan penerbitan, yang mempunyai masa kerja 10 tahun, tampaknya merupakan salah satu hal yang memerlukan persiapan khusus. "Di perusahaan kami baru dua orang yang masa kerjanya tujuh tahun. Yang lainnya rata-rata baru tiga tahun. Sehingga sebetulnya kami belum terkena ketentuan pembagian saham 20 persen, karena belum ada karyawan yang masa kerjanya 10 tahun," ujar Agil H. Ali, pemimpin redaksi harian Memorandum, Surabaya. Tapi Agil telah memutuskan, karyawan yang sudah bekerja lima tahun akan mendapat saham. "Entah saham pribadi, atau koperasi, bergantung pada perkembangan nanti." Soal saham ini juga membingungkan Kedaulatan Rakyat (KR), Yogyakarta. Menurut undang-undang, pemilikan saham dilindungi sampai kapan pun. Tapi di PT BP Kedaulatan Rakyat ada ketentuan: kalau pemegang saham meninggal, saham harus dikembalikan ke perusahaan. "Sebab, pemilikan saham di KR tidak boleh jatuh pada orang di luar karyawan," kata Iman Soetrisno, pemimpln redaksi KR. "Di segi ini, kami masih bingung." KR saat ini juga sedang memikirkan pembentukan satu badan usaha lagi, karena SIUPP menentukan bahwa satu badan hukum hanya boleh memiliki dua penerbitan. Saat ini selain harian KR, BP Kedaulatan Rakyat juga menerbitkan mingguan Minggu Pagi dan MekarSari. Beberapa perusahaan lain yang memiliki lebih dari dua penerbitan rupanya tidak mengalami kesulitan itu. Di lingkungan Kompas, misalnya, harian Kompas diterbitkan Yayasan Bentara Rakyat, Hai dan Bobo oleh Yayasan Gramedia, sedangkan Intisari oleh Yayasan Intisari. Ketentuan menyediakan modal kerja untuk membiayai penerbitan secara teratur sekurang-kurangnya selama setahun, yang dibuktikan dengan jaminan bank, ternyata bukan ganjalan besar bagi sebagian besar penerbitan. Bahkan untuk koran kecil sekalipun, meski agak megap-megap. Koran mingguan Bawakaraeng di Ujungpandang yang beroplah 2.500, misalnya, melakukan persiapan istimewa: beristirahat terbit selama tiga bulan terakhir ini. "Untuk akumulasi modal," ucap Ramiz Parenrengi, 47, sang pemimpin umum dan pemimpin redaksi. Alhamdulillah, muncul kemudian dua orang yang menawarkan modal, hingga duit Rp 25 juta sudah terkumpul. "Saya juga akan menjual harta saya untuk menambah modal," ujar Ramiz, yang berkantor di rumah dan membuat, mengoreksi, serta mengedit berita sendiri, sementara istrinya menagih iklan. Keharusan menyediakan modal kerja untuk setahun, tampaknya, ditetapkan Departemen Penerangan sebagai "saringan". "Sekarang kalau mau bergerak di bidang pers harus benar-benar profesional, bukan cuma coba-coba. Kalau dulu cukup bersenjatakan semangat saja. sekarang harus mempunyai kekuatan," tutur Dirjen Sukarno. Departemen Penerangan selama ini telah mengeluarkan hampir 1.500 SIT, tapi yang benar terbit saat ini cuma 267 penerbitan. "Berarti lebih dari seribu yang gagal. Kami tidak mau hal ini terulang," katanya. Kalau persyaratan SIUPP diperingan, Sukarno khawatir yang lahir nanti koran-koran kecil, yang sekarang jumlahnya sudah terlalu banyak, yakni sekitar dua pertiga dari koran yang ada. "Cukup dua pertiga itu saja yang dipertahankan. Kalau syarat diperingan, jumlah bertambah dengan mudah, tapi toh akhirnya mati juga. Buat apa?" katanya. "Kalau nanti dikeluarkan seribu SIUPP, tak jadi soal. asal mereka betul-betul siap, tidak coba-coba lagi." Apakah ketentuan ini tidak akan membuka peluang masuknya pemilik modal besar ke bidang penerbitan pers? Kemungkinan itu memang ada, karena penerbitan pers merupakan bisnis yang cukup menguntungkan bila dikelola dengan baik. Mungkin untuk mencegah itu, Dewan Pers jauh hari sebelumnya telah menyerukan pada pemerintah, agar dalam melaksanakan ketentuan SIUPP benar-benar "memperhatikan faktor kejenuhan jumlah penerbitan pers". Artinya, pelaksanaannya dika tkan dengan perimbangan jumlah penerbitan dengan pemasaran yang efektif, baik pada tingkat nasional maupun daerah secara selektif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus