Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Raja-Raja Lintasan Tahun ini

Sirkuit tahun ini dimiliki Schumi dan Kenny. Peran strategi tak kalah pentingnya ketimbang kemampuan mesin.

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOMBA balap mobil Formula Satu (F-1) dan balap motor GP-500 masih menyisakan satu putaran. Namun, apa boleh buat, pertarungan terakhir sudah kehilangan gereget. Juara dunia dari kedua lomba itu sudah muncul. Michael Schumacher dari tim Ferrari berhasil berjaya untuk ketiga kalinya di F-1. Sementara itu, Kenny Roberts Junior tampil untuk pertama kalinya menjadi juara dunia balap motor.

Bagi Schumi—panggilan akrab Schumacher—kemenangannya kali ini dianggap lebih bernilai ketimbang gelar juara pada 1995 dan 1996 bersama tim Benetton. Masalahnya, bersama Benetton, dua gelar jawara direbutnya secara mulus. Bersama Ferrari, pembalap kelahiran Karpen, Jerman, 3 Januari 1969, ini harus menempuh jalan berliku.

Sejak Schumi bergabung dengan tim Ferrari pada 1996, setidaknya ia sudah dua kali berkesempatan menjadi juara dunia. Pada 1997, persaingannya dengan Jacques Villeneuve memanas hingga seri terakhir. Namun, alih-alih jadi pemuncak, ia justru sial dua kali. Gara-gara keagresifannya memacu mobil, ia nyaris mencelakakan Villeneuve. Akibatnya, gelar runner-up pun melayang karena ia terkena sanksi dari Federation Internationale de l'Automobile. Pada 1998, ia kalah tipis melawan Mika Hakkinen. Sedangkan tahun lalu, pembalap yang bergaji US$ 36 juta untuk kontrak dua tahun ini lebih sial lagi karena pada pertengahan seri harus mengubur impiannya setelah kecelakaan yang mematahkan kakinya.

Bagi tim Ferrari sendiri, kemenangan Schumi adalah akhir penantian panjang selama 21 tahun. Terakhir kali pembalap dari tim ini yang berhasil menjadi juara adalah Jody Scheckter pada 1979. Tak ayal, Kota Maranello, markas Ferrari di Italia, pun berpesta. Ribuan tifosi tim berlambang kuda meranggas ini turun ke jalan, lonceng gereja dibunyikan bertalu, dan ucapan selamat bertubi masuk, dari Perdana Menteri Giuliano Amato sampai bintang sepak bola

Meskipun Ferrari tertatih untuk urusan pembalap, tidak demikian dengan urusan konstruksi. Ferrari cukup berhasil karena selama 20 tahun terakhir tak pernah terlempar dari empat besar. Bahkan, tahun lalu, gelar juara dunia konstruktor juga telah direbut. Nama Ross Brawn sebagai direktur teknik layak dikedepankan. Pria Inggris ini dianggap sebagai ahli strategi terbaik di arena F-1.

Brawn yang juga "bedol desa" bareng Schumi dari Benetton ini sering memberikan kemenangan bagi pembalapnya lewat perhitungan jitu. Di Suzuka, dua pekan lalu, misalnya. Schumi, yang start di belakang Hakkinen, menguntit terus dengan selisih 2,5 detik. Di antara lap ke-22 dan ke-23, keduanya masuk pit. Schumi seolah lebih lambat dalam mengisi bahan bakar, padahal ini disengaja karena memang ingin mencadangkan lebih. Strategi ini berhasil karena, ketika Hakkinen masuk pit pada lap ke-37, Schumi dengan cadangan bahan bakarnya bisa melesat menjauhi saingannya dengan selisih 27 detik. Ketika akhirnya Schumi kembali masuk pit, selisih yang terlalu lebar ini tak bisa dikejar Hakkinen.

Buah strategi jitu juga mengantar kejayaan Kenny Roberts Jr. Menurut Garry Taylor, manajer tim Suzuki, Roberts tak perlu harus selalu berada pada pole position (start urutan terdepan). Yang penting, pembalap yang lahir pada 25 Juli 1973 Modesto, Amerika Serikat, ini harus bisa start di baris terdepan. Pada posisi ini, kesempatan juara terbuka karena, dalam balap motor, menyusul pembalap di depannya relatif lebih mudah ketimbang di balap mobil. Roberts juga sadar motornya bukan yang terbaik.

Karena itu, ia tidak terlalu ngotot menjadi juara di tiap lomba. Asalkan konsisten mendapat nilai, itu sudah cukup. Buktinya, ia hanya tampil tiga kali pada urutan kesatu dalam tahun ini. Bahkan, pengukuhannya sebagai juara dunia di Sirkuit Autodromo Nelson Piquet, Brasil, didapatkannya dengan masuk finis pada urutan keenam.

Prestasi Roberts ini juga menjadi catatan sejarah. Soalnya, baru pertama kali inilah seorang anak menyamai prestasi ayahnya di GP-500. Kenny Roberts Sr., yang berjulukan King Kenny, tiga kali memenangi gelar juara dunia (1978-1980). Sekalipun Roberts Jr. lahir dari keluarga balap, itu bukan berarti jalannya mulus. Buktinya, ia baru berhasil merebut gelar juara lomba pada 1999 setelah enam tahun berlaga. Tapi, dengan keterampilan dan kecerdasannya di atas motor, bukan tak mungkin Roberts II akan menyamai atau bahkan mengungguli sang ayah.

Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus