Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Provokasi di Masjid Al Aqsa

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADEGAN demi adegan yang ditayangkan berbagai stasiun televisi belakangan ini demikian mencekam. Lihatlah kekejian awak helikopter bersenjata militer Israel yang melontarkan roket ke mobil ambulans Palestina yang sedang menolong korban. Sulit untuk memahami mengapa upaya kemanusiaan yang dilindungi oleh hukum perang internasional itu disahkan sebagai lawan perang yang halal untuk dimusnahkan. Atau simak bagaimana dengan entengnya seorang serdadu Israel membidik dan menembak kepala seorang bocah berusia 12 tahun hanya karena anak lelaki itu sibuk melontarkan batu ke arah kesatuan militernya. Maka, jangan heran jika begitu banyak telunjuk di seluruh penjuru dunia kini menuding Israel sebagai negara teroris yang harus dikutuk dan disadarkan dari perilaku biadabnya.

Istilah negara teroris itu tidaklah mengada-ada. Semua kekejian yang berlangsung di bawah sorotan kamera media internasional itu bukanlah ulah oknum melainkan pelaksanaan perintah institusi militer Israel. Bahkan tindakan provokasi yang dilakukan Ariel Sharon ketika berkunjung ke Masjid Al Aqsa pun bukan tindakan pribadi. Buktinya, sekitar seribu tentara bersenjata lengkap mengawal kedatangan tokoh garis keras ini di tempat suci umat Islam itu.

Jenderal Purnawirawan Sharon memang punya catatan panjang sebagai tokoh pembantai penduduk sipil Palestina di berbagai lokasi dan waktu. Selain perannya sebagai penjagal Desa Kibya Ariel pada 1953, Sharon adalah arsitek serangan ke Lebanon pada 1982, yang menelurkan tragedi pembantaian ratusan penduduk sipil di Desa Sabra dan Shatilla. Sharon, saat itu, secara congkak dan terbuka, bersama Bashir Gemayel, mengatakan akan mengurangi jumlah orang Palestina di Lebanon dari 500.000 menjadi 50.000.

Kecongkakan ini dapat berlangsung karena kuatnya dukungan Amerika Serikat pada Israel, terlepas dari tindakan apa pun yang dilakukan negara Timur Tengah itu. Keberadaan sekitar 6 juta warga keturunan Yahudi yang mendominasi ekonomi dan politik AS membuat kebijakan luar negeri negara adikuasa ini menjadi sandera kepentingan politik domestik. Lihat saja kenyataan bahwa Amerika Serikat adalah satu-satunya negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tak setuju dengan penyusunan resolusi lembaga multinasional ini dalam mengecam kebiadaban Israel. Padahal, untuk berbagai pelanggaran hak asasi di belahan dunia yang lain, Washington selalu menjadi pelopor dalam membuat resolusi. Bahkan, untuk kejadian yang dilakukan oleh oknum, alias bukan kebijakan pemerintah, pun tak lolos dari kebijakan penghujatan berstandar ganda ini.

Menghadapi ketidakadilan ini, Indonesia sepatutnya menjadi salah satu negara pelopor dalam menggalang opini dunia untuk menekan Israel dan Amerika Serikat agar mengubah kebijakannya di Palestina. Berlangsungnya acara pertemuan angggota parlemen dunia di Jakarta, sekarang ini, harus dimanfaatkan untuk upaya pelaksanaan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif. Tentu saja dengan metode yang harus lebih canggih dari yang selama ini dilakukan Washington dalam menekan Indonesia. Misalnya, dengan tetap mengakui bahwa cukup banyak penduduk Israel yang juga tidak setuju, bahkan memprotes tindakan pemerintahnya di Palestina. Juga untuk konsisten dalam menjalankan kebijakan anti-Zionisme tanpa terjebak dalam sikap rasis anti-Semit.

Bila Jakarta sanggup melaksanakan strategi ini, dampaknya di dunia internasional akan besar. Pasalnya, kelompok garis keras Israel sering memanfaatkan citra umat Islam sebagai kelompok radikal yang mudah menggunakan kekerasan untuk menggalang simpati dunia, terutama negara Barat. Indonesia yang mampu menggalang protes dunia dalam bentuk-bentuk antikekerasan akan berdampak sangat efektif dalam menetralkan taktik kelompok garis keras Israel itu. Sebab, jangan lupa, Republik Indonesia merupakan lokasi komunitas Islam terbesar dunia, yang jumlahnya setara dengan jumlah muslim di seluruh wilayah Arab.

Itu sebabnya, usul agar Presiden Abdurrahman Wahid segera menyatakan keluar dari kepengurusannya di Shimon Peres Foundation perlu dipertimbangkan dengan bijak. Sebab, bila orang-orang Yahudi di kelompok ini juga merupakan kalangan yang memprotes keras tindakan Tel Aviv, institusi ini justru dapat dimanfaatkan sebagai ajang bukti kuat yang menunjukkan umat Islam Indonesia tidak anti-Semit, melainkan anti-Zionisme. Suatu sikap yang telah dicontohkan Nabi Muhammad ketika menjadi pemimpin umat di Mekah dan Madinah.

Bahkan, dengan mengambil referensi Piagam Madinah, Indonesia seharusnya mengusulkan secara agresif agar Kota Yerusalem, yang merupakan tempat bangunan suci berbagai agama itu, dinyatakan sebagai kota internasional yang dikelola PBB. Dengan demikian, jaminan terlaksananya kegiatan ibadah setiap agama di Yerusalem secara lancar dan aman akan lebih baik. Selain itu, pengelolaan PBB atas kota tua ini akan menjadi contoh yang baik tentang berlangsungnya ajaran agama Yahudi, Nasrani, dan Islam yang cinta perdamaian. Tidak seperti sekarang ini, yang justru menjadi pemantik tindakan kekerasan atas nama agama masing-masing.

Bila cita-cita mulia ini kesampaian, tragedi berdarah seperti yang sekarang terjadi di Palestina maupun Maluku akan menyurut kemungkinannya. Karena itu, Indonesia harus mengambil peluang diplomasi yang terbuka sekarang ini dengan lebih agresif. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa pintu peluang tak pernah terbuka terlalu lama. Hanya mereka yang sigap yang memanfaatkannya.

Jadi: Carpe Diem!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus