Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Ramai-Ramai Masuk Laboratorium

Pelatnas mempersiapkan para atlit menghadapi sea games kuala lumpur. memeriksa kesehatan atlit dipko (pusat kesehatan olah raga) senayan. siap fisik kemudian peningkatan teknik.

15 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-HARI ini Pusat Kesehatan Olah raga (PKO) Senayan bebas dari kesepian. Persiapan menuju ke SEA Games bulan Nopember depan menggiring gerombolan atlit putera dan puteri ke laboratorium olahraga yang dipimpin dokter Suharto. Carolina Rieuwpassa, Audrey Syaranamual, Starlet, Mohamad Harianto, Sahala Tampubolon dari pelatnas atletik tercatat sebagai atlit yang mendapat ujian berat. "Mereka umumnya memperlihatkan indeks kemajuan," kata seorang petugas PKO. Tampak juga Munaip Saleh, pelatih balap sepeda, yang membawa Munawar Saleh dan Wahyudi Hidayat serta beberapa pembalap nasional lainnya untuk mendapat ujian kemampuan fisik mereka. Imam Suyudi dan Pono dari Perbasi (bola basket) tak ketinggalan. Mereka mengangkut seregu pemain bolabasket puteri pelatnas ke PKO untuk tujuan yang sama. Para pemain puteri yang berintikan penlain dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan DKI Jaya ini nampaknya kompak dan intim lebih-lebih jika mereka sedang ngobrol dalam bahasa Mandarin. "Tapi seingat saya baru kali ini PSSI mengirim para pemainnya untuk dicek di sini," kata dokter Haryo Tilarso anggota dokter PKO. Secara bergelombang PSSI setiap hari mengirim 4 sampai 5 pemainnya untuk diperiksa di PKO. Pekan lalu nampak Suhanta, Wahyu Hidayat, Timo Kapisa, Henky Rumere dan Albert Pahelerang mendapat giliran. Ketiga pemain Irian Jaya itu tiba di Jakarta pada tanggal 5 Oktober lalu. Untuk mengetahui status kesehatan seorang atlit. terlebih dulu ia diperiksa sebagaimana seorang pasien diperiksa Oleh dokter umum. Kemudian darahnya diambil sedikit untuk pemeriksaan metabolisne dan gula darah. Gigi, kerongkongan, denyut jantung dan nadi serta hepar (hati) juga diteliti. Tak ketinggalan berat dan tinggi badan dicatat. Juga lipatan lemak di kulit perut dan kulit punggung diukur. Tekanan darah diambil sewaktu atlit dalam keadaan istirahat. Lalu pemeriksaan meningkat pada keadaan seorang atlit dalam pembebanan. Misalnya kekuatan grip, kekuatan pinggang, yang semuanya mempergunakan perkakas yang lengkap dengan alat pencatat. Beranjak kepada ujian fungsi jantung dan paru-paru, PKO harus diakui terbilang memiliki peralatan yang modern. Ada ergocycle, lantai gerak (treadmill), seperangkat pengukur konsumsi oksigen dan Electro Cardiograph (ECG). Sambil seorang atlit menggenjot sepeda fungsi paru-parunya dicatat kegiatannya dan beberapa kabel yang ditempel di dadanya menyalurkan pantulan denyut jantung ke alat ECC dengan bunyi bip, bip, bip. Selang beberapa menit pembebanan ditambah dan kekegiatan dihentikan. Sen-entara itu tekanan darah, denyut nadi dicatat. Lalu ia disuruh meneruskan kegiatan tersebut sampai beberapa kali penambahan beban. Proses ini berulang-ulang sampai lebih kurang 15 menit. Dari data itu dapat dirumuskan kondisi kesegaran jasmani seorang olahragawan. Umumnya mereka memiliki tekanan darah 110 - 120 mm hg untuk tekanan sistole dan 75 - 80 mmhg ntuk tekanan diastole. Dalam keadaan pembebanan yang berat tekanan yang pertama itu bisa mencapai di atas 200 mmhg dan tekanan yang kedua turun sampai di bawah 60 mmhg. Sedang denyut nadi bisa mencapai 200 kali/menit. Tapi dalam keadaan istirahat cuma 55/ menit. Kemampuan paru-parunya menghisap dan mengkonsumsi oksigen sudah tentu lebih unggul dari awam yang bukan olahragawan. Rata-rata kalau orang awam normal nlampu mengkonsumsi sekitar 3 ml per menit, maka seorang atlit bisa mencapai 4,5 - 5 ml/menit. Tes fisik di laboratorium PKO itu sama pentingnya dengan tes ketrampilan dan teknik seorang atlit di lapangan. Hanya sebelumnya kurang disadari oleh si atlit maupun pembinanya sendiri. Menurut dr. Suharto, meski di daerah tidak terdapat peralatan modern seperti yang dipunyai PKO, namun tes serupa bisa dilaksanakan dengan hasil yang cukup memadai. Yaitu mengetahui kondisi kesegaran jasmani si atlit pada saat itu. Metodenya mempergunakan sistim tes berlari dalam 12 menit atau menempuh jarak 2,4 Km. Tes ini memang hanya menyangkut daya kerja jantung, paru-paru dan metabolisme oksigen di tubuh. Atau dengan kata lain kapasitas aerobik seseorang. Tapi efeknya, menurut Dr. Cooper --penemu sistim aerobics - adalah ekwivaten dengan tes yang dihasilkan oleh ergometer atau lantai-gerak di laboratorium. Menurut pimpinan KONI, setiap kali diadakan pelatnas, para pelatih selalu terbentur pada masalah yang itu-itu juga. Para atlit sepulangnya ke daerah dari turnamen besar,lantas kurang memperhatikan tingkat kesegaran dirinya. Mereka malas melakukan latihan yang minimal dapat menjaga kondisi fisik seorang atlit. Sehingga kalau dipanggil masuk pelatnas, terpaksa mereka harus dipulihkan tingkat kesegarannya menurut ukuran seorang atlit yang dipersiapkan bertanding. Alangkah idealnya kalau setiap atlit secara fisik sudah siap pada waktu diamasukpelatnas, sehingga waktu berikutnya bisa dipakai untuk meningkatkan kemampuan tekniknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus