Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Rontok di Beijing

Pemain indonesia berguguran di kejuaraan dunia beijing. padahal mereka sudah bermain intensif dibawah pelatih tong sin fu dan liong cu shia. dugaan rudy bahwa hb pemain kita rendah, terbukti.

30 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA sedih dari cabang olah raga bulu tangkis seperti tidak pernah selesai. Kali ini datang dari Beijing, ibu kota RRC tempat berlangsungnya kejuaraan dunia ke-5, 18-24 Mei 1987. Datang dengan jumlah pemain paling banyak setelah tuan rumah, cuma Icuk Sugiarto yang sampai ke semi final. Selebihnya berguguran. Bahkan kddy Kurmawan, pemam tunggal nomor 2 kalah dari Rashid Sidek. "Wah, mimpi apa saya semalam, bisa sial begini," kata Eddy Kurniawan, seakan tak percaya dia sudah dikalahkan Rashid Sidek, 18, Kamis pekan lalu, di Stadion Shoudu Tiyiguan, Beijing. Eddy pernah mengalahkan jago-jago Cina seperti Yang Yang dan Zhao Jianhua, selain dia sering pula kalah dari pemain tak terkenal. Misalnya dari pemain Muangthai, Sompol Kukasemkij, di Kejuaraan Indonesia Terbuka, 1982, di Jakarta. Tapi sampai kalah dari anak bawang dari Malaysia seperti Rashid, agaknya, sudal keterlaluan. Si bungsu dari lima Sidek bersaudara pemain bulu tangkis itu baru pcrtama kali ini bertanding dalam Kejuaraan Dunia. Lebih lagi, seperti kata Eddy Kurniawan sendln, "Kalau saya tak ada perslapan tak apa-apa. Ini saya sudah siap." Tak salah apa yang dikatakan Eddy. Untuk kejuaraan dunia kali ini, 18 pemain Indonesia - enam di antaranya putri turun ke gelanggang dengan bekal yang mestinya berkecukupan. Mereka sudah berlatih intensif sejak akhir tahun lalu, di Pelatnas. Di sana ada pula Tong Sin Fu, 44 tahun, bekas pemain ternama Cina, sebagai pelatih pemain utama putra, dan rekannya senegara, Liong Cu Shia, yang melatih tim putri. Setelah masuknya Suhu Tong Sin Fu itulah, pola latihan gaya baru diterapkan. Tak ada lagi pelatih yang menangani banyak pemain dengan cara keroyokan. Disiplin pun ditegakkan. Contohnya, pemain ganda Bobby Ertanto diskors tiga bulan karena melanggar disiplin. Setiap akan berlatih, para pemain harus berbaris dulu di hadapan sang suhu. "Tidak seperti sebelumnya, kita datang tepak-tepok, lantas terus main," kata Eddy. Latihan menjadi lebih keras: seperti bermain di kanvas pasir, atau rompi yang dipakai pemain diberati dengan lempcngan besi. Ditambah sikap pelatih itu, yang, seperti diungkapkan Eddy, "Tak kenal kompromi. Porsi latihan yang tak kita selesaikan hari ini besoknya harus diselesaikan." Hasilnya? Wartawan TEMPO, Toriq Hadad, yang meliput kejuaraan ini langsung dan Beijing, melapor dengan lesu, "Kiamat memang sudah datang di Beijing ini." Para pemain itu satu-satu berguguran. Di hari pertama saja, dua srikandi Indonesia sudah dijadikan tumbal keperkasaan putri tuan rumah. Elizabeth Latief kalah dari Shi Wen, dan Sarwendah dari Han Aiping. Setelah itu, hampir setiap hari, ada saja pemain Indonesia yang kalah. Baik putra maupun putri, dari tunggal, ganda, maupun ganda campuran. Pasangan ganda Liem Swie King/Rudy Heryanto di hari kelima takluk pada pasangan lemah Jean Peter Nierhoff/Michael Kjeldsen dari Denmark. "Sebelum masuk lapangan mereka sudah kalah duluan. Bola-bola gampang tak bisa dikembalikan, lalu gugup kalau menerima smes lawan," kata pelatih ganda Chritian Hadinata dengan kesal. Sempat ada pelipur lara, ketika pemain berumur 16 tahun, Susi Susanti mengalahkan pemain jangkung Kirsten Larsen. Putri Denmark itu adalah juara Taiwan Terbuka 1986,1987, dan All England tahun ini. Susi, gadis asal Tasikmalaya, Ja-Bar, yang kini bergabung dengan klub Jayaraya, Jakarta, di bawah asuhan bekas pemain Retno Kustiyah, sebenarnya sudah sempat diputuskan tak ikut kejuaraan ini karena usianya terlalu muda. Untunglah, pelatihnya mendesak. "Ia anak bandel, dan siap bertanding dengan siapa saja," kata Soekartono, pelatih tim putri. Modal Susi adalah smesnya yang keras. Itu membawanya menjadi kampiun tiga gelar - tunggal, ganda, dan ganda campuran - di kejuaraan yunior Belanda terbuka awal tahun ini. Tapi Susi pun cuma sampai di situ. Di perempat final, putri Cina, Gua Jiaming, terlalu kuat buat siswi kelas 1 SMA Ragunan itu . Kenapa taji pemain Indonesia tak kunjung tajam? Sulit menjawabnya. Pelatih pemain kelas dua - pemain utama dilatih Tong Sin Fu--Rudy Hartono, menjelang keberangkatan ke Beijing, mengungkapkan rendahnya Hb para pemain. Tapi para pengurus teras PBSI menganggap apa yang diungkapkan bekas maestro bulu tangkis itu kurang relevan. Namun, kekhawatiran Rudy terbukti misalnya pada penampilan pemain muda Alan Budi Kusuma, 19, ketika menjajal jago Cina, Yang Yang. Sempat kalah di set pertama di set berikutnya, Alan mengagetkan lima ribuan penonton tuan rumah yang selalu memberi semangat pada pemainnya dengan berteriak, "Yang Yang jia you . . . jia you ... jia you ...." (Yang Yang, tambah minyak - maksudnya memompa sang lagoan agar memngkatkan semangat). Tapi pelajar SMA Ragunan Jakarta yang di Pelatnas diasuh Rudy Hartono itu juga tak kalah semangat. Ada 19 kali smes keras dilepaskannya, 12 masuk, 4 sangkut di net, dan 3 keluar. Artinya, Alan Budi Kusuma berkerja ekstrakeras, dan set itu memang dimenangkannya. Namun, akibatnya, di set penentuan, Alan kehabisan tenaga. Rudy Hartono mengungkapkan bahwa dari pemeriksaan di PKO Senayan, Alan cuma punya Hb 14,5, terlalu rendah bila dibandingkan dengan jago tenis Jerman Barat, Boris Becker yang 18 (TEMPO, 16 Mei). Padahal, Hb (hemoglobin), pigmen merah di dalam sel darah merah, itu berfungsi menyebarkan oksigen dari paru ke seluruh jaringan tubuh. Maka, rendahnya kadar Hb menjadi salah satu petunjuk bahwa stamina seseorang jelek. Itulah tampaknya yang menimpa Alan Budi Kusuma. Setelah mengganas di set kedua, dia pun loyo di set penentuan, seakan obor kekurangan minyak: menyerah dengan 15-3. "Saya sudah khawatir akan kalah, tapi Kusuma menurun di set ketiga, maka saya terus menyerang," kata Yang Yang, pemain yang sudah enam kali mengalahkan Icuk Sugiarto itu. Pelatih Cina Wang Wenjiau turut menanggapi, "Orang boleh berbeda pendapat. Tapi menurut saya kekuatanlah yang utama. Teknis bagus, percuma, kalau stamina payah." Padahal, seperti dikatakan pelatih putri Cina Chen Yu Niang, metode latihan yang diterapkan pada pemain putri mereka sama dengan yang dilakukan Liong Ciu Shia, bekas pemain RRC, yang sudah beberapa tahun ini turut melatih tim putri Indonesia. "Cuma Ciu Shia mungkin belum pas menerapkannya karena ketika di sini dia itu tak pernah jadi pelatih," kata Yu Niang. Mudah-mudahan tuduhan itu cuma karena iri melihat bekas teman begitu dihargai di negeri orang. Amran Nasution

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus