NYARIS tak dilihat, krisis utang yang membusuk di Amerika Latin pecah lagi. Manifestasi terakhirnya keputusan Brasil untuk tak jadi membayar bunga pinjaman komersialnya, sementara bank-bank yang memberi kredit telah menangguhkan segala bentuk piutang baru. Malangnya, dalam konflik antara Brasil dan AS, yang akan ada hanya orang-orang kalah. Jika ekonomi Brasil tumbuh terhambat, krisis dalam negerinya akan memburuk, dan kekuatan populis, yang menentang pasar bebas, dan anti-AS, akan mengancam, justru pada saat sebuah konstitusi demokratis sedang dirancang. Sebaliknya pihak bank akan menghadapi kesulitan besar bila Brasil mengingkari kewajibannya, terutama bila negara peminjam lain ikut-ikutan. Memang orang bisa mendebat bahwa krisis dengan Brasil akan seperti demam konfrontasi yang sebelumnya tercatat antara AS dan negeri pengutang seperti Meksiko dan Argentina: segala akibat yang dahsyat yang pernah diramalkan ternyata belum juga terjadi. Tapi waktu yang diulur itu juga menyebabkan soal utang itu kian ruwet. Utang Amerika Latin terus meningkat dari US$ 280 milyar di tahun 1982 menjadi hampir US$ 400 milyar di tahun ini. Dan kerangka pohtik buat menghadapi utang itu telah berantakan. Sungguh gegabah untuk mengatakan bahwa kelak bakal tak ada seorang pemimpin pun yang mau mendesakkan soal ini hingga jadi satu bentrokan, dan bahwa orang Amerika Latin tak akan bersatu bila hal itu terjadi. Ada memang ucapan bergagah-gagah, bahwa jika itu terjadi para kreditor akan memotong aset milik negeri yang kurang ajar itu dan membikin perdagangannya hanya jadi barter. Tapi tindakan itu secara politis tak bisa diterima, bila dilakukan terhadap sebuah negeri Amerika Latin yang besar. Sementara itu, aturan main yang diangggap ada ternyata tak jalan. Aturan No. 1 mengatakan, siapa berperi laku baik akan dapat hadiah, yakni kesempatan baru untuk dimasuki modal swasta secara sukarela. Ini tak terjadi dan tak ada tanda akan terjadi. Aturan No. 2 mengatakan, siapa yang membelot dari sistem - menolak syarat IMF atau menunggak membayar bunga - akan dapat sanksi, berupa perang ekonomi atau ditangguhkan kredit dagangnya. Tapi sanksi seperti itu belum dikenakan kepada Brasil. Maka, Brasil bisa saja jadi pemula yang menghalalkan penangguhan pembayaran bunga sebagai suatu taktik yang cukup sopan untuk menawar. Semua hal itu seharusnya menimbulkan desakan baru untuk bertindak lekas. Pembayaran bunga yang harus dilakukan Amerika Latin setiap tahunnya menyedot sampai 50 persen hasil ekspor mereka serta lebih dari 5% GNP mereka. Konsekuensi praktisnya adalah bahwa bunga dibayar bukan dari pertumbuhan ekonomi, tapi dari pinjaman baru dari para kreditor. Ini kemudian membuat beban jadi bertambah pula. Lebih celaka lagi, tingkat pertumbuhan di negara industri Barat merosot, dari angka 3% yang dianggap mesti dicapai guna menstabilkan perekonomian negeri berkembang, menjadi sekitar 2,5%. Bangsa-bangsa peminjam sementara itu sejak 1983 telah jadi pengekspor modal - suatu posisi aneh dan gila buat negeri berkembang. Harga bahan mentah merosot, sedang tindakan proteksionistis meningkat. Pada umumnya, bank-bank komersial telah bermurah hati bahkan berpandangan jauh. Tapi tanggung jawab mereka kepada para pcsero mereka mengharuskan mereka menunda hari pembalasan selama mungkin. Para kreditor memang tak punya banyak insentif buat memperoleh satu penyelesaian yang menyeluruh. Tapi pemerintah dapat, dan harus. Suatu rencana internasional sebab itu amat segera dibutuhkan. Di dalamnya harus ada tiga komponen. Pertama, adanya perbaikan prosedur yang memperpan)ang pendekatan jangka pendek yang sekarang berlaku, dengan komitmen kedua belah pihak untuk jangka panjang. Kedua, diciptakannya satu dana untuk menggerakkan ekonomi ke suatu target pertumbuhan, berdasarkan komitmen kuat itu. Ketiga, sebagai imbalan atas komitmen untuk perbaikan itu, ditegakkannya satu plafon bagi bunga yang harus dibayar, hingga kewajiban itu bisa diperhitungkan sebelumnya dan dapat dijalankan terus. Adanya komitmen politik itu lebih penting ketimbang adanya rencana yang terinci. Sekarang ini malah terlalu banyak usul tapi tak ada kemufakatan politik. Satu usul yang sangat menarik ialah ditemukannya satu plafon suku bunga bagi para peminjam, misalnya 6%.Selisih antara angka itu dan tingkat bunga di pasar akan dibayar dengan uang dari satu dana yang dibentuk oleh pemerintah, lembaga keuangan internasional dan bank swasta (perbandingan sumbangannya bisa dirundingkan). Bila tingkat bunga rendah - dan rencana ini bisa merangsang rendahnya suku bunga - dana itu dapat digunakan untuk pinjaman baru guna mempercepat pertumbuhan ekonomi. Tentu saja, penyelesaian yang radikal dan berorientasi pada pasar ialah dengan menghadapi langsung faktanya: sejumlah peminjam berutang lebih banyak ketimbang kemampuan mereka membayar. Keberanian ini akan mendorong kreditor untuk mengonversikan utang Amerika Latin ke dalam surat-surat berharga. Pasar mau tak mau akan menilai utang ini di bawah 100% (nilai yang dipakai buat jual beli pinjaman Amerika Latin sekarang sekitar 60%), bila bagian terbesar dari selisih yang terjadi ditanamkan kembali di negeri peminjam. Ini akan mengurangi jumlah kredit dan bunganya, dan memudahkan pembayaran kembali. Beban pihak bank dapat diringankan jika peraturan membolehkan mereka mengubah status piutang itu jadi piutang ragu-ragu selama satu jangka waktu, atau bila pemerintah negara industri ikut menanggung bebannya.. Bagaimana pun, kasus Brasil bukan suatu keganjilan. Ia adalah gejala suatu krisis, yang akan membawa negeri peminjam ke arah kelumpuhan politik, membawa pihak kreditor ke bencana keuangan dan hubungan Utara-Selatan jadi konfrontasi permanen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini