"SAYA tahu, golf itu mainan orang kaya. Tapi saya pengen anak saya jadi orang. Bukan seperti saya ini, yang nggak bisa baca, nggak bisa nulis, bisanya cuma nyangkul," kata Aming Miran, 45 tahun. Dialah ayah bocah Indra Hermawan, 10 tahun, pegolf junior dari Indonesia yang menggemparkan San Diego, AS, akhir Juli lalu. Pada kejuaraan dunia junior di sana Indra menduduki peringkat ke6 kelompok umur di bawah 12 tahun. Kini Indra mengikuti turnamen di Nagoya, Jepang. "Siapa tak bangga, anaknya bisa masuk teve? Saya pengen anak saya bisa jadi pemain pro, bisa keliling dunia," kata Aming lagi. Seharihari Aming tukang jual bola golf di padang golf Sawangan, Bogor. Turnamen di Jepang, yang diikuti Indra, belum ketahuan hasilnya. Tapi, jika prestasinya bagus, kejuaraan di Muangthai sudah menunggunya. Uniknya, Indra mulamula dibimbing langsung oleh ayahnya yang tak pernah bermain golf. "Tapi, saya tahu jika ada orang yang memukul secara salah," katanya. Bersama kakaknya, Nasin, 13 tahun, Indra digembleng agar mencintai golf. Itu dimulai dua tahun lalu. Indra yang kini kelas VI SD Negeri Bojongsari, Sawangan, selesai sekolah harus memegang stik golf di padang golf Sawangan. Latihan dilakukan dengan gratis karena mencuricuri lapangan di waktu kosong. Indra dibelikan stik bekas oleh Aming dari seorang kedi seharga Rp 30 ribu (12 batang). Ukurannya terlalu panjang karena untuk orang dewasa. Akibatnya, selagi dipakai sering nyodok ke perut Indra. Tak apaapa, yang penting bisa memukul bola. Dalam berlatih, Indra pun tak memakai sepatu, topi, atau sarung tangan. Ah, semua itu tak bisa mereka beli. Indra tak hanya berlatih di lapangan golf. Ia juga berlatih di belakang rumahnya, kebetulan ada halaman berumput. "Biar rumput itu rusak, nggak apaapa," kata Aming. Rumput itu adalah barang dagangan Aming. Belum lama ini kebun rumput seluas 500 m2 itu dijualnya sebagian untuk mengongkosi kebutuhan Indra main golf. Selain latihan, gizi Indra pun diperhatikan orang tuanya. Tiap pagi, misalnya, Indra diharuskan minum segelas susu. Sekalisekali makan daging atau ikan. Tapi tahu dan tempe adalah menu seharihari. Tak usah heran jika tubuh Indra kecil. "Kalau difoto Indra kelihatan gede, itu cuma jaketnya yang kegedean," kata Aming, yang juga bertubuh kecil tapi liat. Meski begitu, anak kedua dari enam bersaudara ini tak pernah sakit berat. Aming betulbetul menyiapkan anaknya dengan caranya sendiri. Indra diikutkan dalam berbagai kejuaraan. Membayar Rp 40 ribu untuk green fee, tak termasuk bayaran kedi yang Rp 10 ribu, bukanlah keluhan. Demi anak, Aming rela berkorban apa saja. Ia berharap pengorbanannya tidak siasia nanti. Siapa tahu anaknya nanti bisa menjadi pelatih golf, yang kini pasarannya minimum Rp 40 ribu per jam. Kalau itu terjadi, "Kan tinggal memunguti uang saja," kata Aming. Sekarang Aming belum berani menghitung jumlah uang yang telah dikeluarkannya. Sebab, "Saya takut, kalau anak-anak tahu, dan prestasinya tak naiknaik, malah membuat patah semangat," katanya. Jadi ia ingin berjalan apa adanya. Selama ada duit, latihan atau pertandingan jalan terus. Selama ada buahbuahan atau tanaman yang bisa dijual, ya, dilego. Sebagai penjual bola golf, Aming bisa meraup untung Rp 100200 ribu per minggu. Sekadar gambaran kekayaannya: dulu tanahnya seluas 400 meter, kini membengkak menjadi 1.600 meter. Belakangan, demi Indra dan kakaknya, kekayaan Aming tak bertambahtambah. Aming tak mampu melebarkan luas tanahnya, malahan berkurang. Rumahnya yang terbuat dari bilik belum sempat diperbaiki kendati anak-anaknya telah berkalikali menyarankan agar menjual sebagian tanah untuk mengganti gubuknya jadi rumah tembok. "Biarlah, yang penting anak bisa main golf," katanya. Syukurlah, prestasi Indra bagus terus. Selama tiga bulan belakangan ini Indra menjuarai kejuaraan di Pondok Cabe Golf, di Ramawangun Golf, dan di Pondok Indah Golf. Sejak itu pula Indra dan Nasin (pernah ke Malaysia bermain golf) jadi anggota klub di sana dan mendapatkan pelatih yang memadai. Beban Aming pun jadi berkurang. "Pak Charlie yang melatih dan membimbingnya," kata Aming. Yang dimaksud adalah Charlie L. Pelupessy, general manager padang golf Pondok Cabe. Tak selamanya Indra hebat. Ia pernah gagal memasukkan bola ke hole dari jarak semeter. Sewaktu mencoba lapangan di Pondok Indah, Aming sempat menahan napas melihat penampilan Indra. "Pukulannya di bunker (kubangan pasir) nggak mau naik melewati tanggul. Dua kali ia gagal terus. Hati ini rasanya kecil juga," kata Aming. Untunglah, di hari kejuaraan, Indra tak mengalami kesulitan. Ke San Diego tempo hari Indra dibekali Rp 40 ribu. Lalu dibelikan celana panjang tiga potong. Selain itu disewakan stik dari seorang tukang servis. Di sana stik itu tak dipakai Indra karena ia dibelikan Charlie stik khusus junior yang tangkainya lebih pendek. Dan ke Jepang pekan lalu Indra dibekali Rp 70 ribu. Maksudnya agar di sana ia bisa membeli sepatu baru. Maklum, sepatu Indra adalah bekas, yang dibeli seharga Rp 10 ribu dari seorang kedi. "Itu sepatu bekas milik seorang wanita Jepang," kata Aming. Satusatunya yang baru untuk Indra adalah sarung tangan, dibeli Aming seharga Rp 7 ribu. Widi Yarmanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini