Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kompromi itu sulit

Faksi-faksi mujahidin sulit didamaikan. gulbuddin hekmatyar tetap menuntut pasukan rasyid dostum diusir dari kabul. per- musuhan di afghanistan berakar dari permusuhan antarsuku.

5 September 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABUL kembali hidup, Ahad kemarin. Orang-orang mulai berani muncul di jalan-jalan, toko-toko yang masih utuh kembali buka, setelah sekitar tiga minggu ibu kota Afghanistan itu menjadi mirip kota mati. Hasil gencatan senjata yang diteken pada Sabtu siang pekan lalu, antara koalisi faksi mujahidin, yang memerintah, dan faksi Hezb-i-Islami, yang mengambil sikap beroposisi. Tapi, mungkin inilah gencatan senjata yang tak ada bedanya dengan gencatan senjata sebelumnya. Sejak mujahidin mengambil alih negara ini dari tangan rezim komunis, April lalu, dua pihak itu sudah tak akur, dan lebih suka berbicara dengan senapan dan meriam. Berkat upaya sekelompok orang yang dianggap netral, gencatan senjata selalu bisa diadakan, tapi hanya bertahan beberapa hari. Lalu, terdengar dentuman meriam dari bukit-bukit di timur Kabul, tempat persembunyian pasukan Gulbuddin Hekmatyar, pemimpin Hezbi Islami itu. Begitu Kabul jatuh segera muncul perbedaan sikap di antara 10 faksi mujahidin. Sembilan sepakat bersikap realistis. Pengikut rezim lama, termasuk birokrat dan tentara, yang mau bekerja sama dengan mujahidin diterima. Hekmatyar menolak kebijaksanaan itu. Ia minta agar pasukan Jenderal Rasyid Dostum, bekas pengikut rezim komunis, diusir dari Kabul. Kata Hekmatyar, pasukan ini bertindak biadab, suka memperkosa dan membunuh tawanan. Tampaknya para pemimpin pemerin~tahan sementara sulit menyetujui permintaan Hekmatyar. Sibghatullah Mojadidi, presiden sementara yang pertama misalnya, menganggap Jenderal Dostum bukan saja mau bekerja sama dengan mujahidin, tapi ikut berjasa membobol Kabul. Maka, Hekmatyar menarik pasukannya dari Kabul, lalu mereka bertahan di bukit-bukit di timur ibu kota. Burhanuddin Rabbani, penerus Mojadidi, pun tetap menjalankan kebijaksanaan pendahulunya. Bahkan, kini ia menegaskan bahwa yang dimaksudkan oleh Hekmatyar sudah tak ada lagi. Kini semua pasukan sudah di~gabungkan ke dalam tentara Af~ghanistan. Di balik itu, menurut para pengamat Afghanistan, sebenarnya ada alasan lain. Di~bandingkan secara militer, Hezb-i-Islami punya pasukan besar dan tangguh. Dikhawatirkan dalam masa damai, tiba-tiba Hekmatyar berubah sikap dan mencoba me~nguasai pemerintahan. Dipertahankannya pasukan Jenderal Dostum adalah untuk menandingi pasukan Hezb-i-Islami. Di luar itu ada pernyataan yang menarik. Sebuah buku yang terbit di pertengahan tahun ini, The Bear Trap, yang ditulis oleh Mohammad Yousaf, mengungkapkan hal yang selama ini tidak disinggung-singgung. Yousaf, yang pernah memimpin seksi Afghanistan di badan intelijen Pakistan, me~ngatakan bahwa setelah mujahidin merebut Kabul, Amerika, yang memasok senjata pada mereka, mulai cemas terhadap Hezb-i-Islami. Yakni, pada sikap keras para pemimpinnya (sikap "fundamentalis," tulis buku itu), yang dikhawatirkan oleh Amerika bisa menuju ke terben~tuknya negara Islam Afghanistan yang "radikal" seperti Iran. Bila itu benar, bukan mustahil intelijen Amerika memanfaatkan perbedaan di antara faksi-faksi mujahidin, untuk mengobarkan permusuhan yang memang sudah ada sebelumnya. Memang, permusuhan yang paling berakar di Afghanistan adalah permusuhan antarsuku. Dan sebenarnya, yang dianut oleh rakyat adalah perintah kepala suku. Pemerintah di Kabul dianggap hanya semacam simbol. Pada akhir tahun 1920-an, umpamanya, hampir 10 tahun setelah Afghanistan merdeka dari Inggris, pemimpin Afghanistan di pusat mencoba memperlonggar napas Islam. Di negeri yang, karena pengaruh dari Persia dan Pakistan, mayoritasnya Islam ini tiba-tiba diumumkan bahwa wanita Afghanistan boleh tak memakai jilbab, dan sebutan emir untuk pemimpin diganti raja. Kontan meledaklah pergolakan. Amanullah Khan, penguasa yang memutuskan perubahan itu, melarikan diri. Kabul dikuasai oleh Baccha-i-Saqqaw, pemimpin suku Tajik. Ini menyebabkan suku Pushtun, yang mayoritas, tak senang. Sekitar setahun kemudian suku Pushtun angkat senjata, dan sekali lagi kekuasan di Kabul jatuh. Sejak itu konflik di Afghanistan terbagi di dua lapisan. Di bawah, persaingan antarsuku terus berjalan. Di atas, di pemerintahan pusat, kudeta demi kudeta berlangsung. Bentuk pemerintahan pun diganti-ganti. Tahun 1964 misalnya, Afghanistan dinyatakan sebagai republik. Empat belas tahun kemudian, setelah terjadi sekian kali pergantian penguasa, rezim yang baru menyatakan Afghanistan sebagai republik demokrat, dan hubungan dengan Uni Soviet makin dekat. Pada akhir 1970-an itulah, atas permintaan salah seorang pe~nguasa, pasukan Soviet menyerbu Afghanistan. Berdirilah pemerintahan boneka Soviet. Ketika itulah mulai terjadi pengungsian ke Pakistan dan Iran. Ketika itulah mulai muncul kelompok mujahidin, yang meskipun mereka berkelompok berdasarkan suku, kerja sama bisa digalang. Tujuan mujahidin: menjatuhkan rezim komunis. Salah seorang presiden Afghanistan dukungan Soviet, Babrak Kamal, mencoba mengatasi gerakan itu dengan mendirikan loya jurgah, atau dewan kepala suku. Alasan populer berdirinya loya jurgah adalah untuk menyatukan suku-suku yang saling berkelahi. Di balik itu, Babrak Kamal tentunya ingin melakukan kontrol. Tapi, bisa jadi lewat dewan kepala suku itulah para pemimpin suku waktu itu membulatkan tekad bersama melawan rezim komunis. Akhirnya, setelah berjuang sekitar 12 tahun, mujahidin yang terdiri dari 10 faksi yang merupakan wadah perjuangan sekitar 20 suku di Afghanistan, memenangkan perjuangan. April lalu, rezim komunis di Kabul jatuh. Kemudian sejarah klasik pula yang terjadi: hilangnya musuh bersama juga berarti kembalinya permusuhan lama. Kerja sama selama 12 tahun tak membuat perbedaan di antara mereka lenyap. Lihat, suku Pushtun yang ma~yoritas itu. Rata-rata mereka tinggi kekar dengan rambut hitam pekat, dan kebanyakan memilih hidup sebagai petani dan penggembala. Mereka berwatak keras, agak susah berkompromi, konon, watak yang turun dari moyangnya di Persia. Contoh yang jelas adalah bagaimana Hekmatyar selama perang melawan rezim Kabul bergerak. Ia disebut-sebut hantam sana, hantam sini, tak mempedulikan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Kemenangannya adalah benar-benar kemenangan militer. Itu berbeda dengan sepak terjang Ahmad Syah Massoud, panglima dari suku Tajik. Karena perang, dua wajah pemimpin ini memang sama-sama keras. Tapi, di wajah Massoud masih ditemukan garis-garis yang ramah. Dan itu terlihat juga dari tindakannya: Massoud tak cuma memikirkan perang, tapi juga membangun desa. Di setiap wilayah yang ia rebut, Massoud mendirikan sekolah dan rumah sakit. Mungkin karena mayoritas, Pushtun adalah suku yang merasa sebagai pribumi asli Afghanistan. Sekitar delapan juta orang Pushtun berdiam menyebar di separuh Afghanistan bagian selatan. Sedangkan empat juta orang Tajik, yang cenderung menjadi pedagang, karena itu lebih mudah bergaul, tersebar di Provinsi Herat dan sebelah utara Kabul. Lalu, ada suku Hazara, yang keturunan Mongolia. Mereka rata-rata bertani di sekitar pegunungan Hindukush dan Hazarajat. Jumlah mereka kini sekitar 1,5 juta. Hampir sama banyaknya dengan Hazara adalah suku Uzbek, yang juga keturunan Mongolia. Yang kemudian membedakan watak kedua suku itu, orang Uzbek lebih menyukai kehidupan nomad. Ini sukunya Jenderal Dostum yang dibenci oleh Hekmatyar itu. Sisa warga Afghanistan yang kini diduga 15,5 juta itu adalah suku Turkoman, Kirghiz, Baluchi, dan beberapa etnis kecil lain. Melihat semua faktor itu, kendala damai di Afghanistan tampaknya bukan semata karena Jenderal Dostum. Di bawahnya terkait sebuah sejarah yang panjang. Sri Indrayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus