SEMUA orang boleh bilang berbeda, ta~pi yang merasakannya bilang masih sa~ma. Itulah soal Konperensi Damai Ti~mur Tengah yang dimulai Senin pekan la~lu di Washington, dan direncanakan akan ber~langsung sebulan. Ini bila dilihat dari sudut delegasi Palestina. Mereka tak lagi berhadapan dengan Partai Likud, partai berhaluan garis keras, melainkan Partai Buruh, yang disebut-sebut moderat. Tapi, kata Dr. Heidar Abdul Shafi, ketua delegasi Palestina, "Rasanya masih seperti berunding dengan Partai Likud." Itu dikatakannya Sabtu pekan lalu, setelah beberapa kali melakukan perundingan. Tampaknya kesan Abdul Shafi itu tak dicari-cari. Soalnya, 15 butir kerangka usulan yang disampaikan Kabinet Yitzhak Rabin tak ada yang baru. Malah banyak hal yang dihapuskan. Misalnya saja soal pemerintah~an otonomi bagi penduduk Palestina. Perjanjian Camp David jelas menyebutkan penarikan mundur pemerintahan militer Israel dari tanah pendudukan. Konsep Rabin tak menyebutkan soal ini. Gantinya, Rabin menawarkan pemerintahan administratif yang terbatas. Siapa pun dengan mudah melihat yang ditawarkan Rabin jauh berada di bawah status pemerintahan sendiri. Dengan demikian, logis pula bila usulan Rabin tak menyebut soal "pemindahan kekuasaan" seperti yang tersebut dalam kata pembukaan Perjanjian Camp David. Kata-kata itu berubah menjadi "ketentuan wewenang." Maksudnya, hak-hak bangsa Palestina masih harus dipertimbangkan oleh Israel. Hal yang membedakan antara usul Rabin dan Yitzhak Shamir sebelumnya adalah soal penyampaian saja. Pernyataan yang dikeluarkan para perunding Israel kini dinilai lebih objektif, lebih ada nada komprominya. Berbeda dengan delegasi Israel yang dulu. Jurus-jurus Likud langsung menohok pendapat Arab, sehingga lebih mengesankan tak ada kemauan kerja sama. Perbedaan lain yang menonjol adalah pola pendekatan yang dilakukan Rabin. Ia gampang menjanjikan sesuatu kepada Palestina. Soal kapan dilaksanakan, itu ter~serah Israel. Maksudnya, itu bisa bergantung pada kabinet, parlemen, atau juga rakyat Israel. Sebaliknya Shamir, sangat enggan berjanji, dan menegaskan bahwa kata terakhir ada di tangannya. Yang jelas, bagi Israel, cara Rabin lebih menguntungkan. Setidaknya dalam kaitannya dengan kredit lunak yang dijanjikan Amerika dan yang dibekukan Bush di masa Yitzhak Shamir. Kini, Bush sudah menjanjikan akan mencairkan tahap pertama kredit yang seluruhnya berjumlah US$ 10 milyar itu. Tapi kapan kredit itu cair, sebenarnya juga belum jelas. Beberapa pengamat politik memperkirakan, taktik seperti itu akan tetap dilakukan Rabin dalam perundingan selanjutnya. Cu~ma seberapa jauh delegasi Palestina dan dunia internasional lalu mempercayai Israel, bila terus-terusan hanya obral janji, itu soal lain. Bila hal itu terjadi, setidaknya Israel bakal membuka belangnya sendiri. Yaitu se~mata ingin memperoleh pencairan utang yang akan dipergunakan untuk membenahi per~ekonomian Israel. Tapi beranikah Rabin memainkan jurus itu? Bukankah dalam pembicaraan dengan Presiden Bush, ada perjanjian bahwa pencairan kredit itu akan dipertimbangkan seti~ap tahap? Bisa saja tahap kedua pencairan ter~nyata tak dilaksanakan. Mungkin itu soalnya bila konperensi kali ini dirancang selama sebulan, untuk me~nge~tes benarkah Israel berniat baik, atau cuma manis di bibir. Inilah tampaknya peluang yang dipunyai oleh delegasi Israel: me~man~faatkan waktu, juga "ancaman" Bush un~tuk mendesak Israel. Dja'far Bushiri (Kairo) & DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini