EDUARD Nabunome menang. Dan Bob Hasan, Ketua Umum PASI, berkomentar, "Ternyata kita bisa menang kalau ada tekad, serius, dan disiplin." Komentar Bob yang juga Ketua Federasi Atletik Asia itu diucapkan di Bandung, Ahad lalu, seusai kejuaraan Marathon Asia III. Tapi waktu tempuh Edu, panggilan Eduard Nabunome, tak mengejutkan. Ia mencatat waktu 2 jam 20 menit 23 detik. Sangat jauh dibandingkan dengan juara Marathon Asia I di Jepang tahun 1988, Masayuki Nishi dari Jepang (2:15.32), maupun prestasi Kim Won Tak dari Korea (2:11.38), yang diukir di Marathon Asia II di Korea tahun 1990. Sejak start di depan Gedung Sate, Edu sudah melesat. Ia mendapat suntikan semangat dari pacarnya, Marselina, yang ikut di mobil panitia. Marathon ini diikuti 13 pelari putra (tuan rumah diperkuat Edu, Naek Sagala, dan Syarifudin) dari 10 negara (RRC, Hong Kong, Malaysia, India, Singapura, Bangladesh, Jepang, Korea, Indonesia, dan Muangthai). Sampai pada kilometer tiga, Edu tetap meleset di depan. Larinya makin digenjot sampai melewati kilometer lima, saat menuruni Jalan Cihampelas. Tiba-tiba, pada kilometer 15, ia memegangi perutnya. Edu berhenti sebentar, mengambil napas panjang dengan mengangkat kedua tangannya, lalu lari lagi. "Perut saya kram. Saya berusaha senam sambil berdoa. Pada kilometer 36 saya merasa enak kembali," cerita Edu belakangan. Ia memang sengaja melejit hingga kilometer lima. Pertimbangannya, kalau ia ikut-ikutan lari lambat, pada kilometer akhir bisa "dimakan" pelari lain. "Stamina pelari Cina dan Korea kan bagus. Eh, betul saja. Pada kilometer 30 mereka genjot, tapi saya sudah jauh dan tak tersusul," kata Edu, 24 tahun. Pelari dari Jepang Ryoichi Enaidani (2:21.27) dan dari Korea, Yoo Young Hoon (2:23.27), menyusul di belakangnya. Di bagian putri, pelari India Sunita Anand Godara menjadi juara (2:53.12). Kegagalan para pelari asing itu, seperti yang dikeluhkan mereka, adalah soal rute. "Kesulitan saya, jalannya berbelok-belok. Kalau jalan turun naik, itu tak jadi masalah buat saya," kata pelari Jepang Ryoichi Enaidani. "Kondisi jalan tak menunjang," kata pelari Korea, Yoo Young-Hoon. Mahasiswa Universitas Kon Kuk jurusan pendidikan olah raga ini merasa terganggu dengan ber seliwerannya mobil di depan pelari. "Kami merasa kurang aman dan polusi," katanya. Keluhan pelari asing ini tentu saja juga dialami Edu. Dan karena itu, catatan waktunya belum spektakuler. Sangat berbeda dengan ketika ia pertama kali meng getarkan Stadion Madya Senayan, saat turun pada nomor 10.000 meter, awal September 1986. Waktu itu, tanpa dinyana, lelaki berambut keriting yang tingginya 158 sentimeter itu dielu-elukan. Rekor yang sudah bertahan 24 tahun atas nama atlet Medan, Gurnam Singh, ditumbangkannya. Edu adalah anak yatim piatu kelahiran Pane Utara, Nusa Tenggara Timur. Pada saat Edu berumur empat bulan dalam kandungan, ayahnya Hiler Edward Nabunome, yang juga seorang pelari, meninggal dunia. Kemudian, saat Edu berusia empat tahun, giliran ibunya yang berpulang. Ia pun diasuh oleh neneknya. Eduard baru masuk SD ketika usianya 12 tahun. "Langsung masuk kelas enam," kata Edu. Bakat Edu di atletik tampak ketika ia mengikuti lomba jalan cepat -- dan langsung jadi juara -- pada acara Atletik Masuk Desa, Agustus 1981, di Kupang. Ia kemudian ditangani serius oleh pelatihnya, Eddi Tunlie dan Agus Parera. Begitu dipoles, anak muda ini menjadi juara kedua lari 5.000 meter di Kejurnas 1983 dan juara kedua lari 10.000 meter di Kejurnas 1984. Melihat penampilannya itu, Ketua Umum PASI Bob Hasan kemudian memasukkannya ke Pelatnas Jakarta. Setahun kemudian ia tampil sebagai juara pada nomor 5.000 meter di kejuaraan atletik junior ASEAN di Singapura. Di SEA Games Bangkok, di tahun yang sama, ia juga menyabet medali emas. Dalam nomor lari 5.000 dan 10.000 meter itu, Edu sudah mempersembahkan tiga medali emas lewat SEA Games. Setelah itu, ia mencoba lari maraton. Tiga kali ikut maraton, ternyata baru yang ketiga kalinya ia memasuki finish. Lari maraton (42,195 kilometer) diakuinya berbeda dengan lari jarak menengah. "Lari 5-10 kilometer itu, kalau kita nekat masih bisa masuk finish. Tapi maraton, kalau kita nekat dan salah perhitungan malah bisa out," kata Edu. Persiapan yang dilakukan pelari Indonesia kali ini adalah di-TC-kan di Pangalengan, Jawa Barat, sejak Maret 1992. Di sela-sela perkebunan teh yang di dingin, di wilayah Bandung Selatan itu, mereka diprogram berlari sejauh 200-300 kilometer per minggu. Mereka juga dibawa berlatih di Salatiga dan Cepu, Jawa Tengah, untuk membunuh kejenuhan. Baru sebulan yang lalu mereka dikembalikan lagi ke Pangalengan untuk adaptasi. Selama pemusatan latihan itu, prestasi Edu memang yang terbaik. Dalam uji coba sejauh 30 kilometer dua bulan lalu, ia bisa mencapai 1 jam 38 menit. Sedangkan Naek Sagala mencatat waktu 1 jam 42 menit dan Syarifudin 1 jam 41 menit. Dan kerja keras itu pun tak meleset jauh dari sasaran. "Kami telah melihat dan memperhitungkan kemenangan Edu," kata Hery Setiyono, pelatih tim In donesia, dengan bangga. Widi Yarmanto dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini