MENUNGGU itu membosankan, terutama bagi Robert Ardjuna. Kini ia menanti penilaian IDI (Ikatan Dokter Indonesia), yang mengancam izin prakteknya dicabut. Dokter Umum di Medan ini dicurigai menyalahgunakan narkotika lewat resep yang dibuatnya. Ia malah dituduh memalsukan resep. Sanksi juga telah dijatuhkan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan (Kakanwil Depkes) Sumatera Utara. Sejak beberapa bulan lalu instansi ini mengeluarkan edaran ke semua apotek dan toko obat di Medan. Isinya, meminta toko obat dan apotek tidak meladeni resep yang berisi morfin, Pethidin dan garam-garamnya dari Robert Ardjuna. "Ini langkah preventif sebelum diambil tindakan. Kami sudah minta IDI Medan untuk memeriksa Robert," kata Raja Napitupulu, Kepala Humas Kanwil Depkes Sumatera Utara. Tuduhan terhadap Robert itu bermula dari pemilik Apotek Paten di Medan. Mei lalu, Susi, pemilik apotek, mengaku menerima resep yang dikeluarkan Dokter Mirsal Yatim dari RS Materna, Medan. Resep itu memesan empat ampul Pethidin. Karena obat itu mengandung narkotika, seperti biasanya, pihak apotek mengecek lagi ke dokter yang mengeluarkan resep. Melalui telepon, Susi mendapat jawaban bahwa Mirsal tak pernah mengeluarkan resep itu. Kemudian dari si pembawa resep meluncur pengakuan: resep itu dikeluarkan Robert Ardjuna. Setelah itu Susi melapor ke Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Depkes, Medan. Rupanya Susi sudah lama menyimpan kecurigaan terhadap Robert Arjuna. Ia ini dinilainya rajin menulis resep obat injeksi Pethidin, dan bahkan sering mengambil sendiri ke apotek. "Bagi kami, Robert sudah tak asing lagi. Sebelumnya ia sering memesan Pethidin yang meski tidak banyak, tetapi hampir tiap hari," katanya. Sementara itu, pengusutan Balai POM mencurigai Robert menggunakan narkotika, antara lain jenis Pethidin dan morfin yang tak hanya untuk pasien, tapi juga untuk dirinya sendiri dan orang yang ketagihan. Robert menyangkal tuduhan itu. "Ini tak masuk akal. Ibarat bertinju, saya dipukul knock out. Masa saya dibilang pemakai dan pengedar narkotika," kata lulusan FK UISU (Universitas Islam Sumatera Utara) Medan itu. Pekan lalu, ketika diperiksa IDI Medan, Robert yang bertubuh gemuk itu memberi hasil tes pemeriksaan yang menunjukkan ia tak bergantung pada zat psikoaktif. Ia diperiksa di RS Fatmawati, Jakarta. "Menurut tes itu ia memang bersih. Tapi perlu dicek lagi kebenarannya ke RS Fatmawati," kata Ketua IDI Medan, Adli Lydia. Menurut Robert, kepada IDI, resepnya itu untuk 13 pasien yang menderita kanker. Sepuluh hari dalam perawatannya, mereka membutuhkan 40 ampul Pethidin. Obat itu dipakai untuk mengurangi rasa sakit pasiennya. Kalau sakit tidak tertahankan, ia bisa memberinya injeksi. Menurut seorang dokter, obat itu sering diberikan kepada pasien yang menjalani pembedahan atau untuk mengurangi rasa sakit. Tapi jika diberi berlebihan, pemakainya akan fly dan akhirnya kecanduan. Kalau digunakan terus-menerus malah merusak saraf pemakainya, dan membuatnya lamban bereaksi. Kebenaran cerita Robert diteliti IDI. "Supaya tahu persis penggunaan obat itu, kami sedang mencari pasiennya dan memeriksa medical recordnya," kata Adli. Pelacakan itu ternyata sulit. Sebab, 11 dari 13 pasien itu telah meninggal sedangkan IDI belum menemukan yang dua orang lagi. "Namun kami terus mencarinya agar ketahuan bahwa pasien itu benar ada orangnya atau fiktif. Karena itu kami belum bisa memutuskan apakah Robert bersalah atau tidak," kata Adli. Akan halnya pemalsuan resep atas nama Mirsal, IDI tak mengusut lagi seandainya Mirsal sendiri tidak keberatan. G. Sugrahetty Dyan K. dan Affan Bey Hutasuhut (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini