APA yang Anda bayangkan jika lima komponis dan konduktor berada di satu panggung besar? Hebat? Kelima seniman musik itu memang akan mempersembahkan karya besar, Suita 92, sebuah pergelaran musik kontemporer Indonesia di Gedung Kesenian Jakarta, pekan depan. Mereka adalah Otto Sidharta, Marusya Nainggolan Abdullah, Trisutji Kamal, Slamet Abdul Sjukur, dan Tony Prabowo. Ide awal itu bermula dari Otto, yang pernah ikut pementasan Suite di Belanda. Kata suite, menurut dia, diambil dari bentuk musik yang terdiri dari berbagai bagian musik. Kata ini digunakan di Negeri Kincir Angin itu sebagai nama dari wadah musik kontemporer Belanda. "Di Indonesia, para komponis musik kontemporer selalu mementaskan karyanya sendiri-sendiri, dan saya merasa itu akan lemah sebagai satu kesatuan. Maka, saya menganggap kita harus membuka forum dengan mengadakan pertunjukan bersama," tutur Otto kepada TEMPO. Ide itu ternyata mendapat dukungan dari Majalah TEMPO dan harian Kompas. Lalu, Otto mulai memilih seniman-seniman yang "dianggap" sebagai komponis musik kontemporer Indonesia, untuk memperkuat pementasan Suita 92. "Kriterianya adalah mereka yang aktif memproduksi musik baru," katanya. Musik kontemporer, kata Franki Raden, etnomusikolog yang sedang mengambil program PhD di Universitas Wisconsin, sering disebut juga musik abad ke-20 atau musik modern. "Secara umum, musik kontemporer bisa saja berarti musik modern, di mana aliran musik jazz, dangdut, pop atau apa saja masuk ke dalamnya. Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, musik kontemporer biasa diartikan sebagai musik serius masa kini," ujarnya lebih lanjut. Komponis Marusya Nainggolan Abdullah menolak mendefinisikan musik kontemporer Indonesia karena terlalu sulit dan terlalu luas konotasinya. "Apa yang disebut kontemporer sekarang bisa berubah 10 tahun lagi," katanya. Sulitnya mendefinisikan terminologi musik kontemporer itu akan membuat pementasan Suita 92 jadi penting. Tapi tak berarti pergelaran tersebut akan mampu memberikan definisi tentang musik kontemporer Indonesia secara langsung. Paling tidak, penonton Indonesia akan menemukan beberapa elemen persamaan dari kelima komponis itu yang bisa mempersatukan mereka sebagai musikus kontemporer Indonesia. Persamaan kelima komponis tadi, menurut Franki, bisa dilihat dari beberapa sudut, seperti latar belakang pendidikan mereka yang rata-rata diawali dengan musik klasik Barat. Persamaan lain adalah kelima komponis itu mempunyai minat, dalam kadar yang berbeda, untuk memanfaatkan musik tradisional Indonesia dalam karya-karyanya. "Di masa lalu, komponis yang mempunyai latar belakang musik klasik Barat dan komponis yang berlatar belakang musik tradisional Jawa malah bertentangan. Jadi, kelima komponis tersebut sangat penting dalam menunjukkan musik kontemporer Indonesia," katanya. Franki adalah penasihat musik dalam pergelaran Suita 92 dengan pimpinan produksi Adila Suwarmo. Sementara itu, Slamet melihat pertunjukan ini sebagai sebuah pertemuan dua kubu komponis kontemporer. Ia bersama Otto dan Tony, menurut dia, mewakili kubu yang memandang bahwa musik tradisi sudah bersenyawa dalam musik mereka, sedangkan Trisutji dan Marusya dari kubu yang memandang bahwa musik kontemporer harus berangkat dari musik tradisi. Soal perkawinan musik Barat dengan tradisional Indonesia memang bukan sesuatu yang baru bagi Marusya. "Kini saya akan mempertunjukkan Conversation II, sebuah dialog antara piano dan enam instrumen gesek Betawi," katanya. Alasan Marusya memilih perpaduan itu karena musik Betawi sangat dinamis, kompleks, dan unik. "Dalam musik Betawi ada pengaruh musik Sunda, Bali, dan Cina. Saya merasa tertantang untuk mencampurkannya dengan elemen musik Barat dari piano," tambah pengajar musik pada Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tersebut. Sementara itu, Trisutji Kamal akan mementaskan Persembahan, yang diilhami sajak-sajak Emha Ainun Nadjib dalam kumpulan sajak 99 untuk Tuhanku. "Saya memasukkan irama kasidah dalam komposisi ini," kata komponis yang sudah menggelarkan karya-karyanya di berbagai negara di Eropa, Asia, dan Afrika itu. Yang menarik adalah menyaksikan bagaimana seorang guru (Slamet) dan murid (Tony) berpentas di panggung yang sama. Slamet, yang sudah meraih berbagai penghargaan inter nasional, akan mempersembahkan karyanya yang berjudul Svara, melalui piano yang akan dimainkan oleh Rukian. Karyanya yang berjudul Uwek-uwek akan dibawakan melalui suaranya sendiri, dibantu Rahmayani dan diiringi perkusi jembe dari Ghana. Adapun Tony, "sang murid" yang berguru pada Slamet semasa di IKJ, akan mementaskan komposisinya yang berjudul Musik untuk Mezzo Soprano dan 13 Instrumen. Karya ini, kata Tony, diilhami oleh sajak Goenawan Mohamad yang berjudul Dongeng sebelum Tidur. Meski nama Tonny tak asing lagi sebagai pembuat ilustrasi musik pementasan drama Rendra atau tari Sar dono, Suita 92 tetap membuatnya senewen karena ini adalah pementasan musiknya yang pertama. Sedangkan Otto akan mementaskan karyanya melalui musik komputer dengan memasukkan unsur saluang (suling Minang). "Tahun ini kami baru bisa menggelar karya komponis dari Jakarta. Mudah-mudahan kami bisa membuat acara Suita secara rutin dengan mengundang komponis dari daerah dan luar negeri," katanya. Leila S. Chudori (Jakarta), Faried Cahyono (Yogyakarta), dan Kelik M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini