PROFESOR Sarjadi mengingatkan agar jangan jajan di sembarang tempat. "Sebab, sekarang banyak makanan dicampur zat pewarna dan tidak berserat yang bisa mengakibatkan kanker," kata ahli patologi anatomi itu dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di FK Universitas Diponegoro, Semarang, Sabtu pekan silam. Menilik perkembangan kanker yang lamban, penyakit ini baru menunjukkan gejala setelah seseorang terjangkit 6-8 tahun sebelumnya. Dan ini peringatan untuk mereka yang kini berusia 20-25 tahun, yang suka jajanan yang menerbitkan selera itu. Misalnya, mereka yang di kota tampaknya tambah akrab dengan fast food yang tidak berserat serta mudah menyebabkan kanker, tetapi baru menyadari terkena kanker setelah beberapa tahun kemudian. Sarjadi berkepentingan dengan kanker, terlebih pendataannya. Ia adalah satu-satunya orang Indonesia yang jadi anggota Asosiasi Internasional untuk Registrasi Kanker. Wajarlah bila dalam pidatonya yang berjudul "Registrasi Kanker dalam Konteks Penanggulangan Penyakit Kanker" itu banyak disumpali data. Menurut Sarjadi, data yang sudah diolah dapat dipakai sebagai penelitian epidemiologik, baik untuk studi deskriptif maupun analitik, yaitu studi intervensi dan studi kasus kontrol. Data juga berfaedah dalam perencanaan dan monitor kesehatan, seperti proyeksi incidencerate, beban, dan fasilitas perawatan yang diperlukan. Selama ia menggeluti pendataan kanker, sejak tahun 1986, yang didapatnya mengagetkan. Secara nasional, data penderita kanker meningkat. Contohnya, pada tahun 1983, yang tercatat baru 7.674 kasus. Dalam waktu lima tahun (1988) jumlah ini membengkak menjadi 17.606. Dari data yang ada, Sarjadi mempersentasekan jenis kanker yang berkembang di Indonesia. Urutan pertama yang mengganas adalah kanker leher rahim, kemudian kanker payudara, dan ketiga kanker kulit. Dan dibanding dengan pria, wanita lebih banyak kena penyakit ini, yakni jumlahnya 1,8 kali lebih besar. Secara lokal, di Semarang, Sarjadi juga mengumpulkan data. Ia menemukan wanita yang menderita kanker enam kali lebih besar jumlahnya dibanding dengan pria. Namun angka ini berbanding terbalik setelah dikaitkan dengan penderita kanker paru, yakni wanita lebih kecil kemungkinannya terkena kanker paru. Munculnya angka itu berkaitan dengan pola hidup dari kedua jenis kelamin tersebut. Pria, yang memiliki aktivitas di luar rumah, mudah terkena polusi -- baik yang dari knalpot, pabrik, maupun rokok. Akibatnya, mereka gampang diserang kanker paru, kulit, dan tenggorokan. Dari data tadi ternyata 35,75% pasien kanker ogah meneruskan berobat dengan alasan ketiadaan biaya. Setelah menunjuk setumpuk manfaat, menurut Sarjadi, data yang bisa diperoleh di Indonesia malah sulit didapat, terutama yang baru. Penyebabnya antara lain karena letak geografis, sarana kesehatan, kemampuan ekonomi, sikap, dan perilaku masyarakat. "Inilah tantangan yang harus kita dihadapi," katanya. Sekarang data kanker bertambah penting. "Kalau kita tidak punya data, bagaimana membikin program untuk mengatasi penyakit ini," kata Dokter Marwoto Partoatmodjojo, Ketua Badan Registrasi Kanker (BRK), kepada Idrawan dari TEMPO. BRK adalah salah satu unit yang dibentuk Ikatan Ahli Patologi Indonesia (IAPI). Tapi data registrasi kanker baru ada sejak tahun 1988. Kesulitan mendapatkannya, yakni dihadang pendanaan. Dana yang dibutuhkan Rp 42 juta setahun, termasuk untuk mengolah data. Kini BRK mengumpul data melalui 14 pusat pendidikan kedokteran di Indonesia, yang ahli patologi anatomi bergabung dalam IAPI. Menurut Marwoto, mendata langsung pada masyarakat, atau dari rumah ke rumah, bisa dilakukan. Tapi faktor wilayah Indonesia yang heterogen, maka hasilnya tak representatif. Biayanya juga mahal. Cara lain mengumpulkannya adalah dengan menggalinya dari rumah sakit. Mudah, namun hasilnya lemah. Sebab, hanya rumah sakit berkategori A dan B yang punya unit patologik anatomi bisa memberi data. Rumah sakit bertipe di bawahnya, juga puskesmas, tak punya data. Selain itu bisa muncul lubang lain. Misalnya, ada dokter yang mencatat data pasiennya kurang lengkap. Ada pula yang menahan catatan tentang pesiennya, atau meminjamkannya kepada dokter lain. Menurut Marwoto, paling efektif mengumpulkan data kanker itu melalui catatan medis ahli patologi anatomi. Faktor sosial budaya di Indonesia juga kendala menggali data kanker. Banyak yang mengabaikan registrasi. "Padahal, melalui inilah kita dapat membuat predeksi lebih jauh," kata Prof. Soeripto kepada Marcelino X. Magno dari TEMPO. Ada lagi yang dicatat ahli kanker yang dikukuhkan sebagai guru besar pada tahun 1989 ini, "Kita tidak pernah tuntas mencari sebab-sebab kematian." Seolah-olah, kalau orangnya sudah mati, habis urusannya. Padahal mayatnya perlu diautopsi. Cuma, banyak yang sulit menerima jika keluarganya harus diautopsi. Menurut pengajar patologi di FK Universitas Gadjah Mada ini, penanganan kanker bisa juga mengacu pada hasil survei. Namun masyarakat yang disurvei harus yang stabil (tak sering pindah), dan mencapai sekitar 3 juta jiwa. Daerah yang memenuhi kriteria ini adalah Bali dan Yogyakarta. Dari hasil survei ketahuan, misalnya, yang banyak kena kanker rahim itu dikenal di daerah penganut seks bebas. Atau di suatu wilayah yang warganya banyak diserang kanker usus. Setelah didata, pola makan di situ mengonsumsikan makanan jenis tertentu. Rustam F. Mandayun dan Bandelan Amarudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini