Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya satu alasan ia menggeluti olahraga panjat dinding. "Mengalahkan diri sendiri," kata Muhammad Sabar "Gorky", 43 tahun. Ketika memanjat, menurut dia, seluruh otot dan pikiran harus bekerja maksimal. Ketakutan dan kecemasan tersingkirkan.
Dinding rumah tetangga menjadi tempat awal ia berlatih. Tingginya kurang dari tiga meter. Paku-paku ia tancapkan untuk menopang tangan dan kakinya ketika memanjat. Usianya waktu itu kurang dari 14 tahun.
Tidak ada obsesi apa pun di benaknya ketika itu. Sampai suatu kecelakaan merenggut satu kakinya 20 tahun lalu. Sabar terjatuh dari kereta api barang rute Jakarta-Solo. Kakinya pun terlindas roda kereta sehingga harus diamputasi sampai pangkal paha. "Kejadiannya saya masih ingat, di Karawang," katanya.
Sabar sempat depresi selama setahun. Ia bangkit kembali dengan pikiran bahwa selama badan masih bergerak, tidak ada yang tidak bisa. Kesenangan panjat tebing terus ia tekuni. Berbagai penghargaan ia peroleh, termasuk medali emas dalam Asian Wall Climbing Competition dua tahun lalu di Korea Selatan.
Hari kemerdekaan Indonesia tahun ini menjadi momen bersejarah baginya. Gunung tertinggi di Eropa, Elbrus, berhasil ia daki dengan berjalan kaki. Selembar bendera Merah Putih ia tancapkan di ketinggian 5.642 meter di atas permukaan laut, sebelum melakukan salat dua rakaat. "Saya tidak menakÂlukkan gunung itu," ujar pria asli Solo itu. "Saya hanya bersahabat dengannya."
Elbrus menjadi gunung tersulit yang pernah didaki Sabar. "Saya biasanya mendaki gunung di Indonesia saja," katanya. Medannya curam dan bersalju. Belum lagi jalur yang ia lalui terbilang baru. Para pendaki umumnya melewati jalur sebelah selatan. Beberapa kali terjadi serangan teroris, jalur itu terpaksa ditutup pada awal tahun.
Pemerintah Rusia membuka jalur utara Elbrus pada April lalu. Rutenya baru. Curam, dan jarang dilalui orang. Sabar memulai pendakian pada 13 Agustus 2011. Posko pertama yang harus ia capai adalah Emanuel Glade di ketinggian 2.500 meter.
Dengan mobil ia sampai posko tersebut. Kemudian, untuk beradaptasi dengan iklim setempat atau aklimatisasi, ia turun ke kaki gunung dan naik kembali dengan berjalan kaki. "Perjalanannya sekitar empat jam," katanya.
Hari berikutnya, aklimatisasi ia lakukan dengan mendaki ke ketinggian 3.800 meter. Rute perjalanan mulai bersalju dan suhu udara di bawah nol derajat Celsius. Setelah sampai tujuan, Sabar turun kembali di ketinggian 2.500 meter untuk bermalam.
Dari empat orang yang tergabung dalam Ekspedisi Merdeka, hanya dua yang melanjutkan perjalanan ke 4.800 meter keesokan harinya. Medan pendakian semakin sulit ketika terjadi hujan salju sehari sebelum 17 Agustus. Sabar berangkat menuju ketinggian sekitar 5.000 meter pada pukul 10.00 waktu setempat. Ia baru kembali ke titik 4.800 meter delapan jam kemudian. Barulah keesokan harinya ia sampai titik puncak pada pukul 16.45 waktu setempat.
Dari situs YouTube terlihat bagaimana detik-detik Sabar sampai ke salah satu dari tujuh puncak tertinggi di dunia itu. Ia sempat jatuh dua kali, tapi menolak dibantu tiga pemandu asal Rusia. "Saya kelelahan," katanya. Karena itu, ia tidak memanggul beban apa pun.
Tidak dapat dimungkiri, keterbatasan fisik membuat Sabar harus mendapat perlakuan khusus. Sebuah tali diikat dan dihubungkan ke tubuh sabar dengan dua pemandu. Satu pemandu selalu berjalan di depan. Satu orang lainnya berada di belakang Sabar. "Kalau saya jatuh, ada yang menopang dari belakang dan mengangkat dari depan," ujarnya.
Selain itu, dokter Agung Hadyono, 57 tahun, ikut pula dalam tim ekspedisi untuk selalu mengecek kondisi kesehatan Sabar. Sekitar 10 kali ia terjatuh dalam pendakiannya menuju puncak Elbrus. Tapi ia berusaha bangkit dengan bantuan dua tongkat penyangga. Kedua tongkat inilah yang sangat membantunya berjalan. Ia merancangnya khusus dengan cakram pada bagian ujung bawah supaya tidak melesak ke dalam salju.
Panjang kedua tongkat itu pun bisa disesuaikan dengan berbagai kondisi. Satu tongkat ada yang mencengkeram lengan. Tongkat yang lain menahan badan di bagian ketiak. "Jadi, kalau tangan saya lelah, bisa ganti jenis tongkat," ujar Sabar.
Sabar bukan orang difabel pertama yang mencoba menaklukkan puncak tertinggi dunia. Sebut saja Tom Whittaker (Inggris), yang berhasil mencapai puncak Everest dengan hanya satu kaki. Kemudian ada Erik Weihenmayer (Amerika Serikat), seorang buta yang berhasil mendaki tujuh puncak tertinggi dunia.
Tapi boleh dibilang Sabar tunadaksa pertama yang berhasil mencapai puncak Elbrus dengan rute jalur utara. Sebelumnya, pernah ada pendaki yang tidak memiliki kaki, tapi si pendaki ditarik dengan alat bantu oleh pemandu.
Sabar mengaku kekuatan kaki menjadi sangat penting dalam pendakiannya. Bersepeda sejauh 15 hingga 20 kilometer menjadi aktivitas rutinnya selama di Solo demi mempersiapkan pendakian Elbrus. Selain itu, stamina badan atas, seperti tangan, perut, dan punggung, ia latih dengan berolahraga badminton, renang, dan jalan kaki ke Gunung Lawu.
Tubuh pria setinggi 168 sentimeter ini terlihat kekar. Punggungnya tegap ketika berdiri meskipun harus memakai tongkat penyangga untuk berjalan. Kaki kiri dan kedua tangannya berotot karena ia masih rutin berolahraga panjat dinding.
Dalam kesehariannya, Sabar berprofesi sebagai tukang jahit. "Saya menjual jasa saja," katanya. "Yang sering saya perbaiki adalah ritsleting tas." Terkadang ia juga menjadi pembicara untuk acara motivasi. Seperti pada awal bulan ini, ia khusus ke Jakarta untuk memotivasi para agen penjual asuransi.
Jatuh-bangun di Elbrus menjadi gambarannya tentang perjuangan hidup. Karena itu, ia tidak melupakan cita-citanya mendaki puncak tertinggi di dunia, Everest. Namun, sebelum ke sana, ia akan mendaki Kilimanjaro di Afrika pada Oktober 2011. Pendakian ini akan lebih tinggi 200 meter dari sebelumnya.
Dar Edi Yoga, salah ketua tim Ekspedisi Merdeka, mengatakan sejak awal melihat Elbrus sudah yakin Sabar bisa mendakinya. "Semangat juangnya tinggi," kata Yoga, yang berprofesi sebagai wartawan Rakyat Merdeka. Ia juga melihat kondisi fisik dan mental Sabar mampu bertahan di kondisi apa pun.
Selaku promotor, Yoga sempat khawatir ketika melihat empat pendaki Rusia yang kembali dari Elbrus dan hanya satu yang mencapai puncak. Ia, yang mendaki hanya sampai ketinggian 2.850 meter, mengaku ketar-ketir melihat kondisi cuaca. "Saya dikabari cuaca buruk di atas sana," ujarnya. Tekanan juga datang dari Istana, yang berulang kali menelepon Yoga menanyakan lokasi Sabar.
Baru pada 18 Agustus, Sabar turun gunung dan melakukan telekonferensi dengan Presiden Susilo Bambang YuÂdhoyono. Angin kencang memang membuatnya hanya bisa lima menit berada di puncak. Tapi ia tidak pernah melupakan momen itu. Ketika sampai di puncak, tangan kanannya yang memegang tongkat secara spontan terangkat ke atas. Ia pun berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Tuhan dan teman-teman sependakian.
Keberhasilannya itu membuat Sabar memperoleh nama akhir Gorky dari diplomat Indonesia di Rusia, M. Aji Surya. "Artinya susah dalam bahasa Rusia," katanya. Nama itu mengikuti panggilan penulis terkenal asal Negeri Beruang Putih, Alexey Maximovich Peshkov alias Maxim Gorky.
Sorta Tobing
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo