Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Udang lobster bumbu saus tiram, ayam goreng renyah, dan daging panggang. Semua tersaji hangat di atas meja. Siap disantap. Pradnyamita dan suaminya bergeming, meneguhkan tekad agar tak tergoda. Jatah mereka cukup salad, buah, dan air putih. "Awal-awal menjadi vegetarian memang berat," kata warga Surabaya berusia 30 tahun ini.
Itu kisah lima tahun silam, saat Mita memulai jalan vegetarianisme, berpantang makan makanan dari makhluk hidup, misalnya daging, unggas, dan turunannya, seperti telur atau susu. Mita memulainya lebih dulu, disusul sang suami. Namun sebagian keluarga besarnya kurang mendukung. "Kami dinilai pucat dan kurang gizi," ujarnya.
Lambat-laun semua mendukung. Menu nondaging selalu tersedia di setiap acara keluarga besar. Keluarga Mita pun makin khusyuk menempuh jalan vegetarianisme. Anaknya dididik menjadi vegetarian sejak dini. "Ketika masih dalam kandungan," katanya.
Selanjutnya, selain mendapat kesehatan lahir, Mita merasakan suasana rumah penuh hawa welas asih, saling mengerti antar-anggota keluarga. Ingin menularkan yang dirasakan itu, Mita pun rajin "berdakwah" tentang vegetarian, antara lain melalui blognya, www.bayivegetarian.com Dia berbagi informasi tentang keutamaan menjadi vegetarian, sampai resep masakan.
Vegetarian seperti Mita umumnya terdorong mengajak orang lain turut melakoni jalan hidup ini setelah mereka memperoleh manfaat pribadi. Caranya bisa dari mulut ke mulut atau lebih terbuka. Misalnya, pada Hari Vegetarian Internasional 1 Oktober nanti, para pegiat Indonesia Vegetarian Society mengadakan program menjadi vegetarian sehari bagi publik. Sedikitnya 50 ribu orang sudah berkomitmen berpuasa makanan dari hewan selama 24 jam. "Kalau sudah merasakan, harapannya berlanjut hari-hari berikutnya," kata Susianto, 44 tahun, ketua komunitas itu.
Susianto sendiri banyak menghabiskan waktu berkeliling mengkampanyekan vegetarianisme hingga ke luar negeri. Sepanjang tahun ini ia melawat ke Spanyol, Inggris, Uni Emirat Arab, Thailand, juga Taiwan, dan akan disusul ke Korea dan Amerika Serikat. Presentasinya selalu dibuka dengan makanan tempe. "Di slide pertama, saya kenalkan sebagai makanan pusaka Indonesia," kata konsultan gizi di berbagai rumah sakit itu. Tempe menjadi salah satu jawaban bagaimana memenuhi kebutuhan gizi seorang vegetarian.
"Dakwah" menjadi vegetarian bisa dikatakan berhasil. Tren pengikutnya terus meningkat. Anggota Indonesia Vegetarian Society, misalnya, saat awal berdiri pada 1998 hanya 5.000 orang, pada 2007 menjadi 60 ribu, dan tahun ini mencapai 100 ribu orang. Restoran vegetarian yang semula sulit berkembang kini sudah beranak-pinak di berbagai kota.
Menurut Susianto, penganut vegetarianisme makin banyak karena praktek ini relevan dengan kondisi kiwari, yaitu lebih peduli akan kelestarian lingkungan. Berpantang makan daging mengurangi kegiatan peternakan berlebihan, penghasil emisi karbon. Menjalani pola hidup vegetarian juga diyakini mencegah penyakit kronis pembuluh darah, seperti tekanan darah tinggi dan sakit jantung.
Yayasan Supreme Master, komunitas spiritual lintas agama, mewajibkan anggotanya menjadi vegetarian. "Minimal sudah dua bulan dan harus berkomitmen seumur hidup," kata Murniati Kamarga, 50 tahun, pembina Yayasan Supreme Indonesia. Pilihan komunitas ini juga vegetarian yang ketat, yakni vegan, yaitu pantang daging dan juga ikan laut atau produk olahan hewan lainnya. Selain makanan, pakaian atau tas berbahan hewan pun, misalnya, dilarang digunakan.
Vegetarian memang ada gradasinya. Selain vegan, ada yang lebih moderat: lacto-ovo-vegetarian. Penganut pola ini masih mengkonsumsi susu dan telur, juga makanan turunannya. Lacto vegetarian masih menerima susu, tapi menolak telur, sedangkan ovo vegetarian kebalikannya.
Menjadi vegan bagi pengikut SuÂpreme Master jadi salah satu jalan menuju Tuhan. Dalam keyakinan mereka, hewan-hewan yang akan dikonsumsi setidaknya sudah menjalani proses pembunuhan menyakitkan. "Kadang diperas, bahkan disiksa. Perut jadi seperti menampung sampah dan penyiksaan," ujar Murniati.
Tampaknya sulit, tapi ternyata yang tertarik menjadi vegan cukup banyak. Yayasan yang masuk Indonesia pada 1992 di Surabaya itu kini memiliki sekitar 5.000 anggota aktif. Mereka adalah vegan sejati. "Kalau ada yang melanggar, akan tersingkir dengan sendirinya," kata Murniati.
Yayasan Supreme intensif mempromosikan vegan. Di Jakarta, acara-acara publik, seperti hari bebas kendaraan bermotor, kerap dimanfaatkan untuk mengenalkan pola vegan. Mereka membagi-bagikan sampel makanan serta menebar brosur-brosur penyelamatan bumi dengan hidup vegan sebagai solusi. Demo masak berbagai menu sayuran pun dilakukan. Yayasan itu juga membuka restoran vegetarian di mal-mal. "Memberi pelajaran bahwa makan dengan pola vegetarian enak," ujar Murniati.
Cara penyebaran lain adalah melalui siaran televisi Supreme Master Television dari Los Angeles, Amerika Serikat, sejak 2006, yang menggunakan 14 satelit dan lebih dari 75 jaringan kabel. Kontennya menggunakan 60 bahasa dan lebih dari 40 teks terjemahan. "Isinya tentang perdamaian dan gaya hidup sehat dan hijau," kata Murniati, yang juga jurnalis di televisi itu.
Hingga kini, anggota baru terus bertambah, rata-rata sepuluh orang setiap bulan. Umumnya kemudian mengajak keluarganya turut serta—pasangan dan terutama anak-anaknya. "Ini hal normal, yaitu ingin memberikan yang terbaik untuk orang terdekat," ujarnya.
Pendidikan vegetarian relatif lebih mudah diberikan sejak dini, seperti yang dilakukan sebuah sekolah dasar yang dikelola Yayasan Sri Sathya Sai Baba di Denpasar. Setiap pagi siswa diajak bermeditasi dan makan pagi bersama. Bekal yang dibawa dari rumah harus menu makanan nabati atau menu vegetarian. Saat itu siswa diajak memahami kesulitan dan pengorbanan untuk mendapatkan sebutir nasi.
Hasilnya, seperti ditulis dalam dokumentasi Yayasan Supreme, "Anak-anak memiliki perangai istimewa. Mereka mengambil tanggung jawab di rumah, bahkan mengajarkan gaya hidup positif kepada orang tua mereka."
Vegetarian jelas bukan monopoli gaya hidup "modern" yang dianut orang-orang yang sadar tentang pemanasan global, spiritualitas, atau isu kesehatan terbaru. Komunitas Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu atau lebih dikenal sebagai Dayak Losarang, yang berbasis di Desa Krimun, Losarang, Indramayu, Jawa Barat, juga menjalankan vegetarianisme sejak 1970-an. Komunitas ini beranggotakan orang-orang Jawa Indramayu penganut aliran kepercayaan yang bersandar pada harmoni alam.
Sebagian dari total 7.000-an anggota komunitas itu menjalani hidup sebagai vegan. Yang paling total—ditandai dengan perilaku tidak mengenakan baju ke mana pun pergi—sekitar 100 orang. Yang lain, berpakaian hitam-hitam, atau berwarna, tidak semuanya vegan. "Bebas, tak ada pemaksaan atau penekanan dalam ajaran kami," ujar Naskim, 50 tahun, anggota komunitas itu.
Prinsip vegetarian Dayak Losarang pada umumnya sama, antimakanan dari hewan-hewan bernyawa. Landasannya sesuai dengan kepercayaan mereka, yang menghormati sesama penghuni alam. "Sejarah alam, sejarah ngadi rasa. Sama-sama ciptaan, sama-sama ingin hidup, jangan saling membunuh," kata Naskim. Mereka pun hanya makan dedaunan atau buah-buahan. "Perasaan kami nyaman, damai, dan tenteram."
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo