Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zaenal, sebut saja begitu, dirundung penasaran. Sebab, di usianya yang sudah 35 tahun, bulu-bulu di tubuhnya sebagai penanda pubertas masih absen. Wajah pegawai negeri di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, ini terlihat klimis. Tak ada kumis yang menggaris di atas bibir. Ketiaknya bersih seperti milik bayi. Rambut di sekitar kemaluan pun hanya beberapa helai, nyaris tak bermakna. Di luar urusan bulu, yang lebih membuat Zaenal miris: ukuran penisnya tergolong kecil, laiknya milik bocah. Persoalan lain, indra penciumannya terganggu, sehingga wangi kembang atau busuknya bau kentut tak bisa ia bedakan dengan mudah.
Setelah mencari informasi ke sana-sini, Zaenal mendapatkan jawaban saat bertemu dengan dokter Naek L. Tobing, seksolog, pemilik klinik Center For Sex & Marital Studies, Jakarta, pada 1997. Ia dinyatakan sebagai pengidap sindrom Kallmann dan menjalani pengobatan hormonal di klinik Naek. Hingga kini, Zaenal masih rutin berobat, setidaknya saban tiga bulan sekali.
Terapi hormon testosteron yang diberikan Naek telah membuatnya menjadi pria dewasa. Selain kumis, bulu ketiak, dan rambut kemaluan tumbuh, ukuran penisnya lebih besar dan panjang. Itu sebabnya, Zaenal berani memutuskan menikah.
Tinggal lemahnya fungsi penciuman, yang memang belum ada obat atau terapinya, yang masih menjadi hambatan. Walhasil, hingga sekarang, "Penciuman saya hanya sedikit berfungsi," kata Zaenal, kini 49 tahun, kepada Tempo, Ahad dua pekan lalu.
Zaenal, menurut Naek, merupakan satu di antara 30-an pasien sindrom Kallmann yang pernah ia tangani sejak 1996. Penanda khas pengidap sindrom ini, selain tertundanya pubertas, adalah penis kecil—ada pasien dewasa yang penisnya cuma dua sentimeter—dan indra penciuman hanya sedikit berfungsi (hiposmik) atau malah tidak berfungsi sama sekali (anosmik). Bila ciri-ciri ini ada, hampir pasti ia mengidap sindrom Kallmann. Itulah cara gampang melakukan deteksi dini. "Saat Zaenal datang pertama kali, ukuran penisnya seperti milik bocah 10 tahun dengan 10 helai rambut di sekitarnya," kata Naek, "sedangkan fungsi penciumannya nyaris tak ada."
Sindrom Kallmann merupakan gangguan hormonal akibat mutasi genetik pada seseorang, sehingga ia tidak mengalami pubertas seperti orang kebanyakan. Dalam urusan ini, kelenjar hipotalamus di otak tak dapat memproduksi dan melepaskan gonadotropin releasing hormone alias hormon pemacu kelenjar kelamin, yang menstimulasi organ seks (testis pada pria dan indung telur pada wanita) membuat hormon seks. Buntutnya, pubertasnya tertunda, bahkan bisa tak muncul jika tak ditangani dengan benar secara medis. Gangguan fungsi penciuman terjadi karena, pada fase kehidupan embrio, sistem saraf penciuman (olfactory bulb) si jabang bayi tidak berkembang.
Menurut para ahli, pubertas pada anak laki-laki muncul pada usia 12-14 tahun, sedangkan pada perempuan 11-13 tahun. Karena itu, jika pada rentang usia ini seorang anak belum mengalami pubertas, orang tua perlu membawanya ke dokter agar diketahui penyebabnya.
Angka kejadian sindrom Kallmann diperkirakan 1 : 10.000 pada laki-laki dan 1 : 70.000 pada perempuan. Sindrom ini dinamai sesuai dengan nama psikiater Amerika Serikat kelahiran Jerman, yakni Franz J. Kallmann, yang pertama kali mempublikasikan masalah ini pada 1944. Saat itu ia menulis ihwal tiga keluarga yang semua anggotanya tidak mengalami pubertas dan indra penciumannya tak berfungsi. Salah satu tokoh tenar yang mengidap sindrom ini adalah Jimmy Scott, vokalis jazz asal Amerika Serikat.
Soal tidak berfungsinya indra penciuman, Naek menemukan kisah menarik dari salah satu pasiennya. Saat kongko bersama teman-teman, begitu si pasien mengisahkan, tiba-tiba mereka berdiri sambil memencet hidung dan mengumpat, "Siapa yang kentut nih, bau!" Nah, lantaran tak bisa membaui, si pasien ini tak beranjak dari duduknya. Walhasil, ia dituduh sebagai orang yang buang angin sembarangan. "Padahal bukan ia yang kentut," kata Naek, sembari ketawa.
Ciri lain pengidap sindrom Kallmann, menurut dokter kelahiran Pulau Samosir, Tapanuli, ini, adalah memiliki kaki dan tangan yang lebih panjang dibanding orang kebanyakan. Itu sebabnya, tingginya juga di atas rata-rata. Ketiadaan hormon seks yang dibutuhkan dalam pubertas dituding menjadi penyebab "kelainan" pertumbuhan tangan dan kaki ini. Wajah pasien pun kurang berkembang, sehingga terlihat lebih kecil, bahkan masih seperti anak berusia 10 tahun, meski umur biologisnya sudah 25 atau 30 tahun.
Dengan ciri-ciri seperti itu, bila ada pasien yang datang kepadanya, Naek langsung bisa mengenalinya, "Saya tahu sekali pandang, ia penderita sindrom Kallmann."
Kepada para pasiennya, Naek selalu menawarkan dua pilihan terapi. Pertama, pemberian hormon human chorionic gonadotropin untuk memperÂbaiki kesuburan agar pasien bisa membuahi sel telur, sekaligus memperbaiki produksi testosteron. Tingkat keberhasilan terapi selama tiga bulan dengan 10 kali suntik berbiaya total Rp 4 jutaan ini relatif kecil, sehingga jarang dipilih, meski dalam literatur ada juga yang berhasil.
Kedua, terapi yang hampir dipilih semua pasien, adalah pemberian hormon testosteron saja untuk mendongkrak ukuran penis, sehingga bisa berfungsi bila berhubungan seksual. Manfaat lain, bulu-bulu di tubuh sebagai penanda pubertas bakal muncul. Kelemahannya, si pasien tak bisa membuahi karena spermanya nol. "Angka keberhasilan terapi kedua untuk fungsi seks bisa 100 persen, bahkan 1-2 kali terapi sudah terasa manfaatnya. Kalau soal anak, kan bisa adopsi," kata Naek, yang juga seorang psikiater.
Pemberian testosteron dilakukan lewat suntikan untuk durasi sebulan, lalu disambung dengan kapsul untuk diminum selama dua bulan. Berdasarkan pengalaman Naek, pemberian kapsul minum lebih dari dua bulan berisiko menimbulkan gangguan pada lever pasien, sehingga diselang-seling dengan suntikan. Untuk sekali suntik, biayanya sekitar sejuta rupiah, sedangkan kapsul untuk sebulan butuh fulus sekitar Rp 400 ribu. Jika obat habis, gairah seks akan menurun, juga fungsi penis. Itu sebabnya, pengobatan dilakukan seumur hidup.
Pemberian hormon testosteron juga dilakukan dokter Nur Rasyid, urolog senior dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, buat pasien sindrom Kallmann yang ditanganinya. Berbeda dengan Naek, ia memilih pemberian suntik testosteron undekanoat karena efektivitasnya bisa mencapai tiga bulan sekali suntik. Apalagi, menurut penelitian, selain efek sampingnya minimal, ada sejumlah manfaat lain yang dipetik, seperti menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida. Selain suntik, ada pasien yang memilih testosteron patch berbentuk koyo dan oles. "Tergantung pasien pilih yang mana," kata Nur.
Salah satu pengguna testosteron suntik itu adalah Ferdinand—juga bukan nama sebenarnya. Pria 30 tahun ini menemui Nur setelah hampir dua tahun menikah dan tak kunjung punya anak. Setelah diperiksa, ketahuan Ferdinand mengidap sindrom Kallmann. Selain indra penciumannya hanya sedikit berfungsi, penis dan testis kecil, Ferdinand infertil alias tidak subur.
Seperti Zaenal, Ferdinand tidak memilih terapi kesuburan karena angka keberhasilannya kecil. Ia lebih sreg dengan terapi hormon testosteron untuk mendongkrak ukuran penisnya agar fungsi seksualnya membaik. "Hasilnya bagus," kata Nur, sembari tersenyum, saat menirukan ungkapan istri Ferdinand.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo