Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Husein Ja’far al-Hadar*
Siapakah penjajah? Dalam bahasa Arab, penjajah disebut dengan istilah isti’mar, yang berasal dari asal kata amara-ya’muru, yang berarti membangun. Jika dikembalikan pada arti kata asalnya itu, isti’mar seharusnya berarti pembangun atau orang yang membangun. Al-Quran pun dalam Surat Hud ayat 61 menggunakan kata itu untuk menyebut orang-orang yang membangun atau yang memakmurkan. Namun, entah kenapa kemudian kata itu tersulap menjadi bermakna penjajah. Tidak kurang dari Imam Khomeini (pemimpin Revolusi Islam Iran 1979) dan Ali Syari’ati (filsuf sekaligus sosiolog besar Iran) yang mengkritik penggunaan kata isti’mar untuk menyebut penjajah. Terlebih jika kata isti’mar digunakan untuk menyebut rezim imperialis Israel. Kata itu bukan hanya tidak tepat, tapi juga menyisakan kesan yang paradoks: kata yang sangat positif dipakai untuk memaknai pelaku tindakan yang sangat negatif.
Menurut Khomeini, penyelewengan tersebut bermotif politis. Artinya, penyelewengan dilakukan oleh sebagian pihak yang berada di bawah tekanan atau memiliki kedekatan dan kepentingan dengan penguasa yang berkuasa pada zamannya. Mereka dituntut atau dengan sendirinya memilih kata yang sebenarnya berkonotasi sangat positif itu untuk menyebut pelaku penjajahan, penindasan, dan kediktatoran, yang konotasinya justru sangat negatif.
Praktek penyelewengan semacam ini memang sering terjadi dalam sejarah. Adapun bahasa Indonesia sebenarnya memiliki istilah yang sangat tepat, yaitu penjajah atau imperialis, yang bermakna subyek (pelaku) dari penjajahan atau imperialisme. Imperialisme diartikan secara tepat, yaitu sistem (kekuatan) politik yang bertujuan menguasai dan menjajah negara lain baik secara politik maupun ekonomi (Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia, 2008). Namun, walaupun dalam kebahasaan kita telah berada di titik yang tepat, secara paradigmatik kita masih sering terjebak dalam paradigma yang cenderung melihat penjajah sebagai pembangun. Misalnya, sebagaimana disindir oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam karyanya yang berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Mizan, 2009), sulit untuk membayangkan Indonesia tanpa didahului oleh sistem penjajahan. Sebab, sistem pendidikan Baratlah (ala penjajah Belanda) yang secara tidak langsung telah "berjasa" bagi Nusantara. Terkait dengan hal ini, misalnya, fakta sejarah mencatat bahwa Presiden Sukarno pun menempuh pendidikannya dari sekolah yang dibangun oleh penjajah Belanda, yaitu Technische Hoogeschool. Karena itu, demikian tulis Syafi’i Ma’arif, hasil pendidikan Barat bagi sistem kolonial tak ubahnya seperti memelihara anak harimau, setelah besar tuannya dilawan dan bahkan diterkam. Ada juga Christian de Jonge (ahli sejarah gereja asal Belanda), yang menggugat dengan menyatakan bahwa tanpa penjajahan Belanda, gereja dan Injil sama sekali tidak akan hadir dan tersebar di Indonesia (Politik Kristen di Indonesia, cet II: 2006, hlm 187). Selain dua "jasa" suprastruktur itu, pembangunan infrastruktur oleh Belanda di Indonesia (rel Anyer-Panarukan, contohnya) sering dipahami sebagai jasa pembangunan Belanda yang berharga bagi kita. Dalam konteks global, paradigma salah kaprah semacam itu juga sering muncul, misalnya bernada gugatan atas Mahatma Gandhi (pejuang pembebasan India dari jajahan Inggris): "Bukankah Gandhi pun pernah mengenyam pendidikan di Inggris?" Lalu, apakah itu berarti para penjajah itu "berjasa" dan layak kita sebut pembangun?
Sebenarnya, kesalahan paradigmatik semacam itu bisa ditelusuri jejak sejarahnya hingga zaman Nabi Musa. Al-Quran memuat dialog antara Musa dan Firaun dalam Surat As-Syu’ara’ ayat 16-22 yang berisi gugatan Firaun kepada Musa yang kala itu datang atas perintah Tuhan ke istana dan meminta Firaun membebaskan kaumnya, yakni Bani Israil. Firaun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu… dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak tahu berterima kasih…." Namun Musa menjawab: "Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil." Seperti sikap Musa terhadap Firaun itulah sikap yang harus kita bangun menanggapi "jasa pembangunan" para penjajah. Kita harus mengutuk mereka dan segala bentuk penjajahan di atas bumi ini, sebagaimana amanat Pembukaan UUD ’45, tanpa berterima kasih sedikit pun atas "jasa pembangunan" mereka. Sebab, pada dasarnya pembangunan yang mereka lakukan bukan diorientasikan bagi kesejahteraan kita, namun sebuah siasat untuk mendukung dan mengabadikan praktek penjajahan mereka, sebagaimana "jasa" Firaun atas Musa yang sebenarnya justru triknya untuk memperbudak kaum Nabi Musa, yaitu Bani Israil.
Bertolak dari situ, paradigma salah kaprah semacam itu harus segera direformasi, dalam segala aspeknya, termasuk pada aspek kebahasaan. Para pemimpin Indonesia saat ini pun harus melakukan pembangunan yang nyata dan benar-benar berorientasi kerakyatan, bukan demi kepentingan politik mereka dan golongannya saja. Jika mereka tidak mau disebut penjajah dan agar rakyat Indonesia tidak merasa masih berada dalam masa penjajahan.
Direktur Lembaga Study of Philosophy (Sophy) Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo