Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Saya hidup dari bola

Fandi ahmad, 25, sudah memutuskan untuk hidup dari bermain bola. kini akan dikontrak klub belanda, fc groningen. sebelumnya dikontrak tim sepak bola malaysia. wawancara tempo di kuala lumpur.

2 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FANDI Ahmad tetap hebat. Dalam pertandingan hari Minggu lalu di Senayan, meski timnya kalah, dia membuat dua gol - satu di antaranya tak diakui wasit. Setiap kali penyerang Singapura itu lolos dari Marzuki Nyakmad, pemain belakang Indonesia yang ditugasi khusus menjaganya, gawang Indonesia terancam. "Marzuki menjaga saya baik sekali, tapi dia kalah bola atas," kata Fandi. Sejak keluar dari FC Groningen, klub papan atas di belahan utara Belanda, 1985, Fandi dikontrak oleh Football Association of Federal Territory (biasa disingkat FT), tim sepak bola wilayah Kuala Lumpur, Malaysia. K. Prabakaran ahli kesehatan fisik di FT, mengutamakan peningkatan fisik Fandi lewat pengetatan menu. Setiap hari ia harus makan banyak daging, sayuran, karbohidrat, dan empat sampai lima gelas susu. Fandi juga berlatih mengangkat barbel dua kali seminggu. Hasilnya, setelah hampir dua tahun, tubuhnya menjadi kekar. Dadanya lebih bidang, dari 90 cm2 tahun lalu, menjadi 96 cm. Otot lengan atasnya menggelembung dari 25 cm ke 29 cm betisnya dari 34 cm menjadi 39 cm. Paha kanan dari 50 cm kini 58 cm, dan yang kiri 54 cm. "Kaki kanan saya lebih besar. Tapi tendangan kaki kiri saya lebih baik. Tak tahu apa sebabnya," kata Fandi. Latihan berat itu menyebabkan lemak di tubuhnya terkikis. Pinggangnya jadi lebih ramping. Dulu 85 cm, kini 81 cm. Dengan tinggi 1,73 m, beratnya cuma 70 kg, turun 2 kg. "Sekarang fisiknya sudah prima untuk kembali ke Belanda," kata Prabakaran. Fandi pernah menjadi bintang lapangan Niac Mitra Surabaya selama setahun, 1983. Namun, akhirnya Fandi terpaksa angkat kaki, karena PSSI melarang pemain asing. Dia lantas dikontrak oleh klub Belanda, FC Groningen. Namanya melejit ketika mampu membuat 10 gol dari 24 pertandingan. Sayang, dia cedera dan terpaksa beristirahat beberapa bulan. Setelah sembuh, ia didudukkan Pelatih Han Berger di bangku cadangan. Kontraknya selesai pada 1985, dan tak diperpanjang oleh Groningen. Tapi pelatih baru klub itu Robert Jacobs, berminat menarik Fandi. Kini negosiasi sudah selesai, dan mungkin Juli depan Fandi mulai bergabung lagi dengan Groningen. Berikut hasil wawancara TEMPO dengan Fandi Ahmad, 25, di Kuala Lumpur, menjelang keberangkatannya bersama tim nasional Singapura ke Jakarta: SAYA sudah memutuskan untuk hidup , dari bola. Kalau karena umur saya tak bisa lagi main, saya akan jadi pelatih. Oleh karena itulah saya merasa perlu ke Groningen. Tawaran sudah saya terima tinggal menunggu izin kerja dari pemerintah Belanda. Saya baru mengirimkan formulir permohonan izin kerja itu. Kalau jadi, saya dikontrak dua tahun. Mungkin berangkat bulan Juli nanti, saat kontrak saya di Kuala Lumpur berakhir. Di Groningen banyak tantangan. Kalau terus main di sini, saya tak bisa maju lagi. Untuk persiapan main di Eropa, menghadapi pemain yang fisiknya besar-besar, saya berlatih angkat besi. Terasa ada perubahan. Selain otot saya tambah keras dan tegap, juga saya bisa melompat lebih tinggi, sambil menendang bola lagi. Jika tak jadi ke Groningen, saya memilih tetap di FT. Terus terang, saya merasa berat meninggalkan FT, melebihi perasaan saya pada persatuan sepak bola Singapura, negeri saya sendiri. Kondisi di sana baik sekali mulai dari gaji sampai berbagai fasilitas lain. Datuk Elyas Omar, Wali Kota Bandaraya Kuala Lumpur, yang menjadi bos FT, amat baik pada saya. Dia keberatan saya pergi ke Groningen. Tapi setelah saya jelaskan apa sebab saya mau ke sana, dia bisa memahami. Setiap saat saya mau kembali ke sana, dia terima. Saya belum pernah dicoba disuap. Tapi saya tahu suap itu ada, dan itu sulit diatasi, selama masih ada cukong judi. Sindikatnya terlalu besar dan kuat. Kalau seorang pemain sudah pernah terima suap, untuk selanjutnya dia sulit melepaskan diri. Setiap kali si pemain menolak, cukong itu bisa mengancam akan membocorkan skandal sebelumnya. Saya dengar dari surat kabar pemain Indonesia kena suap. Tapi saya sendiri tak melihat keanehan pada mereka, selama perlawanan baik di Singapura maupun di Jepang. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda atau kesengajaan pemain PSSI melepaskan bola. Saya lihat malam itu mereka berjuang keras. Saya tak tahu pasti di mana kelemahan mereka sampai bisa kalah. Mungkin karena mereka tak bisa menjaringkan gol. Kalau terjadi gol, tentu mereka bangkit lebih bersemangat. Di Asian Games, saya tengok permainan Indonesia lebih bagus lagi. Dengan penduduk yang begitu banyak, tentu tidak akan ada masalah bagi Indonesia untuk mendapatkan benih pemain yang baik dan berbakat, mulai dari peringkat yunior.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus