BERMAIN di kandang sendiri, PSSI A Minggu lalu bisa sedikit menebus malu. Menang 2-1 atas Singapura. Dengan mayoritas pemain perserikatan - setelah lima pemain Pelita Jaya dicopot karena tuduhan suap - tim ini tampil mengandalkan semangat. "Singapura memang tidak terlalu istimewa," kata Sinyo Aliandoe, bekas pelatih nasional. Para pemain Indonesia sendiri pun tidak yahud. Stamina rata-rata pemain cuma untuk setengah pertandingan. Kerja sama antarlini mandek. Begitupun, bagi Berce Matulapelwa, kemenangan ini melegakan. "Tim ini 'kan baru mengalami kecelakaan suap. Tapi lihat saja, semangat juangnya tinggi," kata pelatih yang sudah dua tahun menangani tim nasional. Manajer tim A. Wahab Ab dy juga berbunga-bunga. "Sudah kelihatan, 'kan, kalau tidak karena suap, tim kita tak main jelek," katanya di rumahnya di Medan. Artinya, kekalahan di Singapura 2-0 dan di Tokyo 3-0 disebabkan kasus suap semata. Tapi Ketua TPPMS (Tim Penelitian dan Pemberantasan Masalah Suap), Acub Zainal, berpendapat lain. Sejauh pemeriksaan yang dilakukan tim, fakta yang ditemukan cuma: lima pemain menemui Sun Kie dan A Nyie di Hotel Jayakarta Tower dan kemudian di kawasan Cililitan, sebelum berangkat ke Singapura. Tentang kekalahan? "Terlepas dari masalah suap. Kekalahan kita di Singapura dan Jepang karena goblok saja," jawab Acub, Ketua III PSSI itu. Keputusan PSSI terhadap kelima tersangka itu ternyata tegas. "Mereka sudah masuk ke sarang suap dan menemui penyuap. Itu saja sudah salah," kata Acub. Melalui surat keputusan PSSI yang ditandatangani Ketua Umum Kardono, Kamis pekan lalu, kelima pemain dijatuhi skorsing 3 tahun tak boleh bermain bola di lingkungan PSSI, menjadi wasit, maupun pelatih. Bahkan tak boleh jadi ofisial. Sehari kemudian, Jumat, surat itu diterima Elly Idris, 25, di rumahnya di perumahan BTN Ciputat Baru, Tangerang, Ja-Bar. "Dia kira cuma dihukum 3 bulan," ujar Ida, 27, istrinya. Elly Idris, pemain tengah terbaik PSSI itu, mengaku, "Saya memang salah bertemu penyuap, tapi berani dihukum tembak kalau saya terima suap." Bersama Louis Mahodin dan Noah Maryen, dia mengaku menerima masing-masing Rp 100.000 dari Anyie dan Sun Kie, sebagai uang jajan. Sejak kasus pecah, bobot Elly, 55 kg, melorot jadi 53 kg. "Soalnya, kehidupan saya tergantung bola," kata ayah dua anak yang masih kecil-kecil itu. Selain biaya keluarga, setiap bulan Elly harus mencicil Rp 68.000 kepada BTN, untuk rumah tipe 70 yang diperolehnya sejak tahun lalu. Karena itu, lelaki kelahiran Maluku itu akan minta keringanan dari PSSI. "Kalau tak boleh main di PSSI, beri kesempatan saya bermain di Galakarya, sehingga bisa bekerja di suatu perusahaan," harap Elly, tamatan STM itu. Gajinya yang Rp 31 0.000/bulan belum termasuk bonus dari klub Pelita Jaya sudah diputus. Maka, harapannya kini adalah menjual mobil Suzuki Super Jimny, miliknya, berwarna putih yang tampak masih mulus. Pemain penyerang Bambang Nurdiansyah, 26, juga sedang menawarkan mobilnya, jip CJ-7 warna merah darah. Kontrak rumahnya yang sederhana dan berukuran 5 X 10 meter, tersuruk di dalam gang di kawasan Cawang, Jakarta Timur, bulan depan berakhir. Tapi arek Malang itu mau jual mobil untuk modal buka usaha otomotif. "Dulu saya sering mengutak-atik mesin mobil," kata Bambang, yang tamatan SMA itu. Sejak menerima vonis PSSI, bekas pencetak gol terbanyak selama tiga musim kompetisi Galatama yang lalu ini sudah bertekad: putus arang dengan sepak bola. Semua foto pertandingannya di dinding rumah diturunkan. Sepatu bola dibagi-bagikan pada tetangga. Louis Mahodin, 28, dan istrinya, Ingrid, yang sedang mengandung anak kedua, masih menumpang di rumah pamlli dl kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Uang yang diterima Louis Rp 100.000. Tapi kata Ingrid, "Kayaknya sudah kena Rp 30 juta. Disiarin radio dan TV lagi, seperti penjahat kakap." Akibatnya, orangtua pemain tengah PSSI itu, yang tinggal di Ujungpandang, sibuk menyurati menanya kejadian. Louis, lahir di Sorong, Irian Jaya, bertubuh tinggi dengan kuht hitam, berencana akan pulang ke Ujungpandang. Bek kanan Robby Maruanaya, 28, juga akan pulang kampung. Hari-hari ini dia berusaha menemui Ketua PSSI, Kardono dan Acub Zainal. "Saya mau minta tiket ke Tayapura, buat apa lagi di Jakarta. Saya sudah putuskan main bola sampai di sini," kata Robby. Tamatan SPG, 1976, Robby sempat jadi guru SD di kampungnya, tapi dua tahun kemudian bakat main bola membawanya ke Bogor, bergabung dengan klub Perkesa 78. Dia tak akan jadi guru, dengan dalih, "Pekerjaan itu sudah lama saya tinggalkan, dan pula saya tak menyenanginya." Mau kerja apa? Dia masih bingung. Sebuah mobil Suzuki Carry, yang menurut dia kreditnya belum lunas, sedang dijajakannya. Bulan depan kontrak rumahnya habis. Semua pemain, sejak diskors PSSI, diberhentikan pula oleh klub Pelita Jaya. Yang diistimewakan hanya Noah Maryen. Uang kuliahnya di jurusan manajemen perbankan Perbanas masih ditanggung klub. "Kalau dia dihukum sama dengan yang lain, mana ada orang yang mau melaporkan suap?" kata Rahim Soekasah, manajer Pelita Jaya. Rahim sekaligus mengkritik PSSI yang menyamakan hukuman pemain. Noah dan Louis-lah yang melaporkan pertemuan di Jayakarta Tower kepada Berce Matulapelwa. Sebab itu, kata Berce, "Menurut saya, yang dua itu terjebak saja, jadi maunya mereka jangan disamakan." Noah Maryen, 22, anak kapten polisi asal Manokwari, Irian Jaya, berharap skorsingnya dicabut. Selama ini tingkah para pemain itu sebetulnya sudah diketahui pelatih. Katanya, "Kenapa Berce masih pakai pemain-pemain itu?" Akhirnya dia, yang belum tahu lekuk-liku permainan, merasa dikorbankan. Masih untung, meski sudah di-PHK-kan, Noah masih diizinkan tinggal di rumah yang disedikan Pelita Jaya, di Tebet. Amran Nasution, Laporan Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini