Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sebuah Pesan Telah Terlaksana

Indonesia juara umum Sea Games XIV berkat persiapan yang matang dan dana Porkas. Peraih medali dapat bonus. Cabang yang dipertandingkan akan dikurangi pada Sea Games xv.

26 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENYUM bertebaran di mana-mana. Di Senayan. Di Jatiluhur. Di Bedugul, Bali. Juga di depan layar televisi. Senyum dari beratus atlet dan pembina. Dari berjuta hati para pemirsa. Para atlet Indonesia berjaya! Pesan Kepala Negara "Rebutlah kembali gelar yang pernah kita pegang" telah terlaksana. Gelar juara umum SEA Games telah direngkuh kembali. Maka, dengan wajah berbinar-binar, berkatalah Mohammad Sarengat, 47 tahun, Sekjen KONI Pusat, "Inilah rahmat Tuhan, dan inilah hasil Porkas." Rahmat Tuhan, ya. Berkat Porkas, mungkin juga. Yang jelas, para putra-putri terpilih Indonesia itu telah merebut kembali gelar impian itu dengan kerja keras, kegigihan, keringat, dan pengorbanan waktu dan keluarga. Tidak salah bila dikatakan bahwa kontingen Indonesia maju ke gelanggang SEA Games dengan amunisi yang berlebihan. Betapa tidak, Porkas memberikan dana Rp 5,3 milyar pada KONI untuk mempersiapkan pasukan Indonesia. Dengan dana sebesar itu -- kontingen ke SEA Games Bangkok cuma dibiayai Rp 3 milyaran -- KONI mampu mengumpulkan atletnya di perkampungan atlet Senayan mengikuti program Pelatnas jangka panjang sejak Desember tahun lalu. Di daerah-daerah, KONI setempat membuat pemusatan latihan daerah dengan dana Rp 1,5 milyar yang disisihkan KONI Pusat dari uang Porkas tadi. Banyak cabang olah raga seperti renang, atletik, tenis meja, dan tinju dikirim berlatih ke luar negeri. Sejumlah pelatih asing diimpor untuk menggenjot pasukan. Jalan panjang untuk merenggut medali emas pun dipersiapkan. Tim gulat, misalnya, dipelatnaskan di Jalan Mendayung, Senayan. Di situlah mereka berlatih sepanjang hari hampir tiada henti. Pukul 06.00 Yung Mo An, pelatih dari Korea Selatan, memerintahkan para pegulat menenggak air putih. Setelah itu latihan fisik dimulai: berlari minimal 6 km, dilanjutkan dengan bermacam latihan lain seperti sit up, push up, berlari sprint, dan diakhiri sekitar pukul 08.00 dengan melakukan latih tanding (sparring) sesama teman berlatih. Latihan dengan porsi yang lebih besar dilanjutkan pukul 15.00 sampai 18.00 dan pukul 20.00 hingga 21.30. Jadi, setiap hari mereka menghabiskan enam setengah jam untuk latihan. Disiplin keras juga ditegakkan. Sejak latihan dimulai, tak satu pun atlet yang boleh ngomong apalagi bercanda. Sampai SEA Games dimulai, latihan seperti itu sudah berlangsung hampir tujuh bulan. "Berat sekali, 'kan? Kalau tak tabah, bisa-bisa ambo lari pulang ke Padang," ujar Rusdi, 28 tahun, pegulat kelas 68 kg asal Padang, yang mengaku amat kangen pada istri dan dua anak yang menunggunya di kampung. Yang bisa dilakukannya ialah menyurati sang istri tiap dua minggu. Berkat latihan spartan itu Rusdi berpendapat, "Kondisi fisik atlet gulat adalah yang terbaik di dalam kontingen ini." Ditambahkannya dengan nada bangga, "Fisik prima, persiapan matang, dan sudah kepalang berkorban berpisah dengan keluarga begitu lama. Semangat juang kami jadi tinggi. Lihat saja. Tak ada lawan yang bisa bertahan lebih dari dua ronde." Rusdi mencatat sejarah, karena dari dialah medali emas pertama direbut tuan rumah. Bertanding di kelasnya untuk gaya Yunani-Romawi di hari pertama, 10 September, Rusdi cuma membutuhkan waktu 1,42 menit untuk menang jatuhan (mutlak) atas Juan Tauro, pegulat dari Filipina. Bahkan temannya, Sukarman, di kelas 57 kg, hanya dalam waktu 26 detik sudah meraih emas, setelah menjatuhkan pegulat Teng Bun (Kamboja). Lebih enak lagi Sudirman di kelas 100 kg. Emas diserahkan kepadanya, lagu Indonesia Raya dikumandangkan, padahal setetes keringat pun tidak dikeluarkannya. Pegulat lawan, Jose Mari Bereciarte (Filipina), dengan alasan sakit absen di gelanggang. Gulat, cabang olah raga yang baru dipertandingkan kali ini di SEA Games, memang milik Indonesia. Sekalipun olah raga rangkul-merangkul beradu kuat menjatuhkan punggung lawan mencecah matras itu sebenarnya merupakan cabang yang dipertandingkan di Olimpiade maupun Asian Games, entah mengapa di kawasan Asia Tenggara cabang olah raga yang terbilang tua itu tak seberapa diminati orang, kecuali di Indonesia. Tak aneh kalau sebagai tuan rumah Indonesia berjuang memasukkannya dalam cabang yang dipertandingkan di SEA Games. Dari 20 medali yang diperebutkan, Indonesia mengharapkan 12 emas. Nyatanya semua medali emas disapu bersih. Selain medali emas menggelantung di leher, Rusdi mengantungi duit ratusan ribu rupiah dari uang saku Rp 65.000 yang diberikan KONI -- dari dana Porkas setiap bulan. Sambil tersenyum, sembari berselonjor di atas kasur di flat atlet Senayan, Rusdi pun menghitung-hitung, "Dengar-dengar selain bonus dari Pak Gafur itu, ada lagi tambahan Rp 1 juta untuk saya dari Pak Surono." Pegawai LLAJR Padang itu merencanakan untuk membuka deposito di bank. Senyum juga mengembang di wajah si hitam manis Kusuma Wardani. Pemanah putri itu menganggap ada faktor lain yang lebih mendorong prestasi olahragawan Indonesia. "Pengurus sekarang lebih memperhatikan kesejahteraan pemain," kata putri berdarah Bugis yang pekan lalu meraih tiga medali emas itu. Pemanah tua Donald Pandiangan, 42 tahun, yang masih mampu menghasilkan sebuah medali emas di nomor 30 meter, juga merasa pengurus PB Perpani kini amat memperhatikan program, organisasi, maupun dana. "Kenapa kondisi ini tidak dari dulu terjadi?" katanya. Para pemanah Indonesia memang hebat: berhasil mengumpulkan 10 medali emas dari 12 yang diperebutkan. Padahal, targetnya cuma delapan emas. Maka, tiap pemanah mendapat amplop dari PB Perpani. "Semua pemain dapat amplop tapi saya tak tahu berapa jumlahnya. Kalau saya sendiri dapat Rp 2 juta," kata Kusuma Wardani polos. Hadiah memang muncrat dari berbagai penjuru. Tak cuma dari induk organisasi. Ada pula yang mengalir dari KONI Daerah. Atlet asal Sumatera Utara, misalnya, yang meraih emas dijanjikan Rp 100.000 dari pengurus KONI setempat. Semua itu belum terhitung hadiah yang dijanjikan Menpora Abdul Gafur menjelang SEA Games: Rp 1 juta untuk tiap atlet peraih medali emas. Tapi kepada wartawan TEMPO Rudy Novrianto, Menpora mengingatkan bahwa pemberian bonus itu jangan disalahtafsirkan. "Jangan kaitkan kemenangan kontingen Indonesia ini karena adanya embel-embel bonus tersebut," katanya. Bonus itu, menurut Menteri, hanya sebagai penghargaan terhadap hasil kerja keras para atlet dan dikaitkan dengan perhatian pemerintah pada nasib mereka di masa mendatang. Maka, bonus yang diberikan di kantor KONI Pusat, Senin pekan ini, sengaja dalam bentuk Tabanas. Pemerintan juga membantu para atlet yang masih pelajar agar bisa melanjutkan pendidikan perguruan tinggi. Untuk atlet yang belum mendapat pekerjaan, dia sudah membicarakannya dengan Menaker Sudomo. Bagaimana bentuk bantuan belajar dan pekerjaan itu belum jelas betul. Yang sudah nyata ya bonus itu. Untuk setiap atlet yang memperoleh emas pertama diberikan Tabanas Rp 1 juta, untuk medali kedua yang direbutnya diberikan Rp 500.000, dan medali ketiga dan keempat dapat Rp 250.000. Maka, atlet seperti Kusuma Wardani, perenang Elfira Rosa Nasution, dan banyak lainnya yang memperoleh tiga emas memperoleh Tabanas Rp 1.750.000. Yaitu Rp 1 juta untuk medali emas pertama, Rp 500.000 untuk medali emas kedua, dan ditambah Rp 250.000 untuk medali emas ketiga. Untuk medali emas beregu, sekali pun medalinya cuma satu, tiap anggota regu mendapat Rp 1 juta untuk medali emas pertama, dan seterusnya. Atlet yang akan berpesta agaknya pemanah Adang Adjidji, yang merebut empat mcdali emas untuk nomor 90 dan 70 meter, serta nomor total dan beregu. Berarti Rp 2 juta akan singgah di koceknya. Dana Tabanas para atlet pendulang emas itu diperoleh atas kerja sama Kantor Menpora dengan Yayasan Dana Bhakti Kcscjahteraan Sosial (YDBKS), atau yayasan yang mengelola Porkas Sepak Bola. Menteri Abdul Gafur pun berkata, "Saya harap dengan adanya bonus itu para atlet lebih giat berlatih sehingga pada SEA Games mendatang kita mampu lagi membuktikan sebagai juara umum sejati." Setelah diberi libur panjang, para pahlawan olah raga itu akan dipersiapkan memasuki Pelatnas jangka panjang, agar lebih mantap menghadapi SEA Games XV dua tahun yang akan datang di Kuala Lumpur. Tidak semua atlet akan masuk. Yang diprioritaskan adalah cabang-cabang yang akan dipertandingkan di Kuala Lumpur. Kata Gafur, "Menurut Menteri Pemuda dan Sukan Malaysia, cabang yang dipertandingkan di Kuala Lumpur tak lebih dari 20." Itu berarti pengurangan yang cukup berarti. SEA Games Jakarta tercatat dalam sejarah karena mempertandingkan cabang olah raga terbanyak, 27 cabang. Sembilan lebih banyak dibandingkan SEA Games sebelumnya di Bangkok, yaitu pencak silat, karate, taekwondo, gulat, anggar, golf, hoki, boling, dan bilyar. Lima cabang pertama, yang menjanjikan 72 medali emas, dipertandingkan berkat perjuangan Indonesia sebagai tuan rumah. Sebagai kompensasi, empat cabang tambahan diusulkan oleh negara lain, tapi cuma mempertandingkan 26 medali emas. Itu yang akhirnya menimbulkan ledekan dan gunjingan. Ada tudingan: Indonesia merebut gelar juara umum secara kurang fair, dengan mempertandingkan nomor-nomor yang pasti dikuasainya. Selain itu, cuma Indonesia yang punya dan memanfaatkan dana Porkas buat menggenjot olah raganya. Negara-negara lain kesulitan biaya untuk mengirimkan atletnya. Tim sepak bola Malaysia, misalnya, berangkat ke Jakarta dengan biaya sendiri. Kecuali tuan rumah, tak satu negara peserta pun yang mampu mengikuti semua cabang yang ditetapkan. Maka, dalam sidang executive committee SEA Games Federation di Jakarta, dua hari sebelum pesta olah raga ini dimulai, dibuat keputusan baru yang membatasi cabang yang dipertandingkan minimal 16 dan maksimal 24. Dua cabang olah raga wajib adalah atletik dan renang. Cabang lain baru bisa dipertandingkan bila diikuti minimal empat negara peserta untuk beregu dan tiga negara untuk nomor perorangan. Sebelumnya cukup tiga dan dua negara peserta. "Agar jangan ada atlet yang langsung dapat emas tanpa bertanding karena lawannya sakit seperti di cabang gulat itu," kata Hendarsin, Ketua Bidang Pembinaan KONI Pusat. Tapi Sarengat tak khawatir dengan berubahnya ketentuan itu. Katanya, "Meski cabang yang sekarang jadi tambang emas Indonesia dihapus, kita tetap juara, kok." Yang penting bagi Sarengat, "Setelah SEA Games ini, apa masyarakat jadi sadar akan pentingnya biaya besar untuk pembinaan olah raga?" Bob Hasan Ketua Umum PASI, misalnya, mengaku tiap tahun menghabiskan dana Rp 1 milyar untuk membina atletik, termasuk biaya mengirim atlet berlatih ke luar negeri. Hasilnya, atletik Indonesia memang kian mcnonjol beberapa tahun ini. Pendekatan secara ilmiah juga dilakukan. Sampai makan atletnya pun diperhatikan. "Kalau makan supermi dan ikan asin doang bagaimana bisa berprestasi?" katanya. Amran Nasution

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus