Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Superman dari belukar

Yulius uwe, atlet dasa lomba dari irian jaya, disanjung sebagai superman pada sea games xiv. anak-anak irian punya potensi menjadi atlet berbakat, khususnya untuk nomor lempar dan dasa lomba.

26 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SUPERMAN Indonesia!. Superman Indonesia!" Kata-kata itu ramai diteriakkan penonton Stadion Madya, Senayan, Sabtu lalu. Di pinggir track tartan arena atletik itu, Julius Uwe -- sang superman -- sedang dikerumuni puluhan wartawan berbagai negara. Manusia super bertelanjang dada, tubuh hitam legam seberat 85 kg dan tinggi 178 cm ini segera melakukan berbagai pose seperti atlet binaraga, memamerkan ototnya. Sore itu, ia merenggut emas nomor dasalomba dengan nilai 7.001. Saingannya, Thavorn Phanroeng dari Muangthai, hanya mampu mendapat nilai 6.099. Uwe mencatat rekor baru SEA Games. Dibandingkan rekor Asian Games atas nama Kang Qiang Wang (RRC) dengan 7431, Uwe memang masih tertinggal. Dalam Asian Games Seoul 1986 lalu, Ullis -- nama panggilan Julius Uwe -- hanya menempati urutan keempat. Apalagi di tingkat dunia. Torsten Voss dari Jerman Timur -- dalam Kejuaraan Atletik Dunia di Roma awal bulan ini -- menumbangkan Daley Thomson dari Amerika dan mencatat nilai 8.899. Namun, Ullis masih mampu meningkat mengingat usianya baru 22 tahun. Menurut Dr. Bodo Schmit, pelatih terkenal dan Presiden Federasi Atletik Jerman Barat, potensi anak-anak Irian sudah bisa mencapai tahap Asia khususnya untuk nomor lempar dan dasalomba. "Untuk mencapai kelas dunia, atlet Irian perlu tambahan latihan dan pengalaman bertanding. Masih butuh waktu agak lama," tutur Schmit dari rumahnya di Kiel, Jer-Bar, melalui telepon internasional pada Yudhi Soerjoatmodjo dari TEMPO. Schmit, 53 tahun, memang akrab dengan atlet Irian Jaya. Sejak 1970-an Schmit sering datang di Indonesia. Bahkan, pada 1976, Dekan Institute of Sports and Sport Sciences di Kiel, ini memberikan coaching clinic di Irian Jaya. "Ternyata, masih banyak yang berbakat di sana," ujar Schmit lagi. Misalnya ia menyebut Timotius Sokai Ndiken, pemegang rekor nasional lempar lembing. Schmit menyarankan agar atlet Irian Jaya sebaiknya dilatih di kampung halamannya. "Agar mereka tenang, tidak rindu kampung. Tapi pendidikan taraf tinggi juga harus diberikan," ujarnya. Schmit benar. Alam IrianJaya yang ganas, ternyata, membentuk ketangguhan fisik atlet daerah ujung timur itu. Julius Uwe, contohnya. Manusia terkuat Asia Tenggara ini dilahirkan di Kepi, Kabupaten Merauke. Sejak kecil, ia ikut ayahnya yang buruh tambang di Tembagapura. Sang ayah, Honoratus Uwe, mengajar Ullis berburu burung dengan panah kecil yang dibuat dari bambu. "Hutan tempat berburu itu berlumpur. Kalau seekor burung kena panah, ia tak langsung jatuhnya masih harus mengejar dengan kaki terbenam lumpur sampai betis. Terus mengejar sampai burung itu jatuh," kata Uwe mengenang. Anak keempat dari tujuh bersaudara ini punya banyak kegemaran. "Tiap pulang sekolah, di pantai Tembagapura, saya suka adu lari. Kalau menang, baru boleh pulang ke rumah. Pasirnya tebal sampai ke mata kaki, cukup berat karena badan saya ketika itu kecil," kata Ullis lagi. Jarang ia kalah di lomba lari tiap 17 Agustus. Di pantai itu, ia juga dikenal jagoan berenang dan mendayung. Julius Uwe berasal dari suku Awiyu. Setiap masa tertentu, ada upacara adat yang juga mengharuskan ia berlari. "Anak-anak wanita membawa senjata tajam untuk mengejar yang lelaki hitam harus lari. Ini upacara pergaulan muda-mudi," kata Ullis lagi. Berbagai macam adat dan tantangan alam itu akhirnya menghasilkan banyak atlet tangguh. Selain Uwe, dari Merauke masih ada Frans Mahuse (lempar lembing), Joseph Miagan (dasalomba), Yosephine Mahuse (tolak peluru), dan Geraldus Balagaise (tolak peluru). Dari Serui, gudang atlet Irian Jaya lainnya, ada Yacob Attaruri (maraton) dan Eliazer Watebosi (lari 400 meter) yang baru saja ikut Kejuaraan Dunia Atletik di Roma. Potensi Irian Jaya agaknya tak bisa diragukan. Masalahnya, bagaimana menggosok mutiara-mutiara hitam Ir-Ja itu agar mampu bersaing di Asia bahkan tingkat dunia. Menurut Ketua Bidang Teknik PB PASI J.E.W. Gosal, itu tergantung juga pelatih di Ir-Ja. "Mereka harus lebih jeli mengarahkan dan menggali bakat anak-anak Irian," kata Gosal. PB PASI selalu berusaha meningkatkan kemampuan pelatih itu dengan mengadakan penataran pelatih secara berkala. Antara lain dengan mendatangkan Schmit dan Bert Sumser dari Jer-Bar. Tapi, kesulitannya bukan tak ada. "Perlu proses panjang membina mereka karena pendidikannya masih rendah," tutur Gosal. Bakat atletik mereka lebih banyak dipupuk oleh alam. Misalnya Frans Mahuse, 25 tahun, asal suku Marind, dan peraih emas lempar lembing SEA Games. Berasal dari kota Kecamatan Munting, Kabupaten Merauke, ia harus jalan kaki sekitar tiga jam ke rumahnya di Kampung Waan. Kampung Frans dikelilingi hutan yang lebat. "Waktu kecil saya sering ikut kakak menombak di hutan. Pada umur sebelas tahun saya sudah berburu sendiri karena sudah kuat menombak babi. Kami berburu untuk mencari makan," ujar Frans serius. Ini agaknya modal besar bagi pemuda 172 cm dan berat 98 Kg ini. Pada kelas tiga SMP, Frans dikirim ke Pekan Olah Raga se-Kabupaten Merauke dan langsung juara dengan melempar lembing sejauh 51 meter. Di SEA Games lalu, ia melempar sejauh 75,38 meter. Rekor Asia dipegang atlet RRC, Chen Mao Mao, sejauh 89,14 meter. Anak suku Marind lainnya yang meraih emas adalah Yosephine Mahuse. Dengan tolakan 14,34 meter, gadis Merauke ini mencatat rekor baru SEA Games. Sejak kecil tinggal di asrama polisi, ia selalu ikut kakak-kakaknya berlatih atletik. Karena itu, badannya cepat tumbuh besar -- berat 65 kg dan tinggi 169 cm -- pas dengan tuntutan nomor tolak peluru. Di Irian sana, di antara lembah, gunung dan hutan belukar, tentu masih banyak lagi superman dan superwoman Indonesia. Kapan mereka terjamah tangan-tangan para pembina? Toriq Hadad (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus