DARI luar, keluarga Poniem tampak wajar. Janda itu hidup bersama tiga putranya di Desa Perkebunan Serapuh, Kecamatan Gebang, Langkat, sekitar 70 km sebelah utara Medan. Tetapi dalam pandangan Yok Nurdin, 49, mereka kelihatan lain dari yang lain. Ketika mengkhitankan Yusuf, anak bungsu Poniem, Yok Nurdin, petugas puskesmas Gebang itu, merasa heran bukan alang kepalang. "Kok laki-laki penghuni rumah itu jalannya jongkok semua," demikian tutur Yok, tak habis pikir. Ia tak mengetahui penyakit apa yang diidap keempat anak Poniem, janda yang ditinggal mati suaminya pada 1977 itu. Setelah dilaporkan kepada dokter puskesmas Gebang, Darwin Dhalimunthe, barulah jelas persoalannya. Ternyata, anak-anak Poniem menderita penyakit Dystrophia Musculorum Progressive (DMP). Inilah jenis penyakit saraf -- termasuk langka -- yang menyerang otot dan membuat penderitanya menjadi susut perlahan-lahan tanpa dapat dicegah. Adalah Rusli, 33, anak keempat yang pertama kali dihinggapi DMP. Pada usia 9 tahun, ketika masih duduk di kelas tiga SD, Rusli mulai tak bisa berjalan cepat. "Saya tak bisa main bola seperti teman-teman," ujar pria ini, menceritakan riwayat penyakitnya. Kedua tungkainya terserang dan beberapa tahun kemudian ia mudah jatuh kalau berjalan. Rusli merasa tak bertenaga. Ia bahkan tidak sanggup mengangkat tumit hingga sejak itu mulailah kebiasaan berjalan jinjit. Kedua tangannya bertelekan menopang berat tubuhnya. Dan, ketika ujian SD, ia terpaksa digendong ke sekolah. Semakin lama lengan dan kakinya semakin menyusut, tenaganya lenyap entah kemana. Poniem harus membopong Rusli jika si anak ingin naik ke ranjang. Nasib Sukirno, 22, anak kesembilan, tidak lebih baik dari Rusli, abangnya. Dia mulai terserang DMP pada umur 12 tahun, sedang Yusuf -- si bungsu -- baru terkena tiga tahun lalu. Ketiga anak yang malang ini mengaku tidak merasa sakit, kendati otot-ototnya tak berfungsi lagi seperti biasa. Berpikir tak ada gangguan, badan panas pun tidak. "Cuma kaki rasanya lemas," tutur Rusli. Dua anak Poniem lainnya, Ngatimin dan Kasim, yang tinggal di Pakanbaru, juga terjangkit DMP. Tapi tiga anak lelaki yang sudah meninggal, tidak seorang pun menderita penyakit itu. Sumpeno adalah satu- satunya anak lelaki Poniem -- di antara yang masih hidup -- yang bebas dari cengkeraman DMP. Selain Sumpeno, empat putri Poniem juga selamat, sampai kini. Aneh, memang. Apakah penyakit ini menurun ? Tidak jelas benar. Menurut Poniem, bapak dan kakek dari keluarganya maupun keluarga suaminya tak ada yang mengidap penyakit seperti itu. Suaminya sendiri, Paimin, yang mencapai usia 65 tahun, "meninggal karena penyakit bengek. Menurut dr. Darwin Dhalimunthe, 41, penyakit langka DMP menghancurkan otot-otot tubuh, tapi tidak sampai merusakkan sarafnya. Dilihat dari gejalanya, DMP yang menyerang keluarga Poniem mungkin termasuk jenis Duchene. "Sebab, gejala berjalan jinjit," kata dokter puskesmas Gebang yang berpenduduk 30.485 jiwa itu. Ini diperkuat hasil pemeriksaan laboratorium. Kendati Darwin mengetahui jenis DMP yang diderita anak-anak Poniem. ia tidak bisa mengidentifikasikan penyebabnya. Ia sudah menanyakan soal ini kepada rekannya, seorang ahli saraf di Medan. Ternyata, rekan itu pun tidak bisa menemukan penyebabnya. Karena itu, tertutuplah jalan ke arah penyembuhan. Prof. Soemargo Sastrodiwiryo, ahli neurologi dan Kepala Bagian Penyakit Saraf RSCM, memastikan bahwa DMP yang ganas memang belum ada obatnya. Banyak ahli mengemukakan berbagai cara penyembuhan, tetapi belum ada yang ampuh. Seperti kata Soemargo, ada ahli yang berpendapat DMP itu berjangkit karena gangguan metabolisme. Akibatnya, penderita DMP mengeluarkan zat kreatin, dalam air kencing (urine). Ini berbeda dengan orang normal, yang mengeluarkan zat kreatinin -- yakni kreatin minus H20. Bertolak dari sini, penderita DMP coba ditolong dengan kreatin. Tapi tanpa hasil. Rupanya, kreatin memang dikeluarkan oleh penderita gangguan otot -- lewat urine -- tapi gejala ini bukan yang khas pada penderita DMP. Lalu ada pula yang mencoba memberi obat sejenis kreatin. "Ini pun tidak menolong," ujar Soemargo. Malah ada yang mengira DMP disebabkan kekurangan vitamin E. Karena itu, penderita coba disembuhkan dengan memberikan vitamin E bersama vitamin B6 . Hasilnya nihil. Dicoba lagi dengan hormon testosteron, tapi penyakit yang lebih banyak menyerang kaum adam ini tetap saja bandel. Kalau begitu, apa yang harus dilakukan dokter? Segalanya masih gelap, penuh misteri. "Sampai kini masih diselidiki di mana sebenarnya letak kesalahan metabolisme penderita DMP," tambah Soemargo. Ia sendiri, dalam dua tahun trakhir ini, baru menemui dua pasien DMP, sedangkan RSCM mencatat tiga kasus serupa. Apa mereka bisa disembuhkan? Tentu saja tidak, karena itu tadi, sumber penyebabnya belum diketahui. Jalan yang terpendek, menurut Soemargo, ialah memperkuat daya tahan tubuh si penderita agar gerak maju benih penyakit itu bisa diperlambat. Dengan begitu, tubuh akan lebih tahan terhadap infeksi. Adapun daya tahan penderita DMP lemah sekali hingga mudah kena infeksi. Kelima anak lelaki Poniem itu contohnya. Sang ibu sudah lama pasrah. "Selagi saya masih hidup, saya tetap akan mengurus mereka," tekad Poniem, 63, yang kini menjalani usia senja. Dokter puskesmas Gebang jua sudah membantu sebisanya. "Kita tinggal menunggu, entah sampai kapan, penderitaan mereka berakhir," kata Darwin Dhalimunthe yang terbilang dokter teladan di Sumatera Utara (1986). Suhardjo Hs., Laporan Muchsin Lubis (Biro Medan) & Agus Sigit (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini