RUDI Voeller, penyerang andalan Jerman Barat, terjengkal di kotak penalti Argentina. Kakinya diganjal Sensini. Wasit Edgardo Codesal Mendez dari Meksiko meniup peluit. Prikik. Dan inilah awal malapetaka Argentina. Tendangan penalti. Andreas Brehme, yang menjadi algojo Jerman Barat, melaksanakan tugas dengan bagus. Gol. Bola tak bisa ditangkap Goycoechea walau kiper Argentina ini benar antisipasinya. Banyak yang menyebut hukuman penalti itu -- yang membuat Jerman Barat menjuarai Piala Dunia 1990 -- kontroversial. Maradona bahkan menyebutkan gol itu "diatur mafia". Memang menyakitkan sebuah tim kalah karena gol dari titik penalti. Dan sungguh lebih menyakitkan, jika kekalahan itu karena adu penalti, setelah sampai perpanjangan waktu hasilnya tetap seri. Inilah yang diderita Italia dan Inggris di babak semifinal. Brian Glenville, kolomnis beken majalah khusus sepak bola, World Soccer, kesal benar dengan diberlakukannya sistem adu penalti ini. "Bagaimana mungkin menentukan finalis Piala Dunia hanya lewat adu penalti. Tim yang baik harus menunggu empat tahun lagi untuk membuktikan mereka sebenarnya lebih baik dari lawannya," ujar Glenville, yang sudah delapan kali meliput Piala Dunia. Kekesalannya itu ditumpahkan dalam perjalanan pulang dari Stadion Delle Alvi Turino, setelah menyaksikan Inggris kalah 4-5 dari Jerman Barat, Kamis pekan lalu. Inggris adalah juara dunia tahun 1966. Sejak itu, prestasinya merosot, tak pernah sampai ke babak semifinal. Kini, ketika para pendukung Inggris menyaksikan timnya masuk semifinal, harapan untuk menjadi juara mulai diukir. Sayang, semuanya berantakan gara-gara adu penalti. Toh suporter Inggris tetap melambaikan bendera Union Jack dan menyanyikan Que sera... sera, whatever will be ... will be .... Sementara itu, pelatih Jerman Barat Franz Beckenbauer dengan jujur mengakui, "Menang penalti memang seperti menang lotere." Yang paling berduka adalah rakyat Italia, tuan rumah pesta bola sejagat ini. Itu terasa benar ketika timnya kandas menuju grand final lantaran kalah dalam adu penalti melawan Argentina di stadion San Paolo, Napoli, Rabu pekan lalu. Seluruh negeri tiba-tiba jadi murung. "Impian sudah berakhir," ujar Gianluca Vialli, penyerang tim Italia. Sampai Coppa Del Mondo Italia '90 berakhir, ada empat kali kemenangan dan kekalahan -- lewat adu penalti. Dua lainnya adalah sebelum babak semifinal, yakni Irlandia yang menang atas Rumania 5-4, dan Argentina yang menang atas Yugoslavia 3-2. Sistem adu penalti dalam Piala Dunia diberlakukan sejak Piala Dunia 1982 di Spanyol, bersamaan dengan bertambahnya peserta putaran final dari 16 menjadi 24 negara. Dengan jumlah yang membengkak itu, peserta dibagi enam grup. Babak pertama dan babak kedua tidak ada adu penalti, karena peringkat grup didasarkan nilai. Hasil seri masuk penilaian. Adu penalti baru terjadi di babak semifinal, perebutan juara ketiga, dan grand final tentunya karena sudah memasuki sistem gugur. Prancislah korban pertama sistem ini. Di semifinal, setelah imbang 3-3 melawan Jerman Barat, Prancis yang dimotori Platini kalah 4-5 lewat adu penalti. Empat tahun kemudian, di Meksiko, sistem adu penalti lebih "kejam" lagi, dimulai sejak babak kedua. Di perempat final, lagi-lagi Prancis jadi korban ditundukkan Brasil 3-4 setelah imbang 1-1. Tuan rumah Meksiko pun keok dibantai Jermat Barat 3-4, padahal sebelumnya imbang 0-0. Lalu Belgia menaklukkan Spanyol 5-4, sementara sebelum adu penalti seri 1-1. Di Piala Dunia 1990 Italia, aturan Meksiko ini dipertahankan. Ketika FIFA World Cup menggantikan Jules Rimet Cup pada 1974, adu penalti belum dikenal. Tim yang punya nilai sama atau bertanding seri di babak yang menentukan harus mengulang pertandingan sampai ada pemenang. Aturan seperti ini sampai sekarang masih berlaku di Inggns. Jika diharamkan adu penalti, risikonya adalah jadwal kejuaraan bisa molor kalau banyak hasil pertandingan imbang. Sekjen FIFA Joseph Blatter, Jumat pekan lalu di Roma, memberi angin adanya niat menghilangkan adu penalti ini. Untuk itu, ia mengusulkan agar yang ikut putaran final hanya 16 negara, bukan 24. Tapi Presiden FIFA Joao Havelange bersikap keras dengan peraturan sekarang. "Protes soal adu penalti biasanya datang dari negara yang kalah," kata Havelange. TH dan RN dari Roma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini