JIKA wartawan bikin geger, itu bukan berita. Tapi kalau wartawan yang dibikin geger, nah, itu baru berita. Apalagi bila persoalannya sudah menyangkut suap dan ancaman pembunuhan, seperti yang dialami para wartawan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Surakarta, akhir Mei lalu. Pada mulanya adalah pasar malam. Ini terjadi pertengahan Mei silam, di Taman Jurug Surakarta dan Lapangan Ngabeyan di Kecamatan Kartosuro, Kabupaten Sukoharjo. Izin pun telah diberikan Pemda. Namun, bukan sajian musik dangdut ataupun kuda lumping yang menarik perhatian pengunjung. "Ternyata, pasar malam itu hanya kedok. Yang banyak dikunjungi orang justru tempat perjudian gelap," tutur sebuah sumber di Yayasan Satwa Taru, pengelola Taman Jurug. Beberapa tenda hiburan memang telah disulap menjadi tempat bermain jackpot dan bola gelinding. Sementara itu, di Taman Jurug, bandar menggelar sedikitnya delapan meja judi. Segalanya telah direncanakan dengan matang, termasuk kiat untuk merahasiakan kegiatan mereka. "Setiap malam bandar judi menyediakan lima buah amplop, masing-masing berisi uang Rp 25 ribu untuk wartawan yang datang," begitu penjelasan sebuah sumber lain. Kabarnya, selalu saja ada dua atau tiga orang wartawan yang berkunjung ke sana. Sekalipun begitu, bandar judi tidak mau ambil risiko. Melalui seorang perantara, amplop diantar satu per satu ke rumah para wartawan. Dua puluh lima ribu perak memang tidak ada artinya bagi rumah judi kecil-kecilan, yang kabarnya berpenghasilan Rp 15 juta per malam itu. Kisah ini bisa saja berakhir dengan happy ending kalau bukan karena mulut usil. Seseorang rupanya telah melayangkan surat kepada PWI Surakarta. Isinya menggugat wartawan yang bungkam terhadap kegiatan judi gelap di pasar malam. Surat-surat senada menyusul. Salah satu di antaranya malah menuduh PWI Surakarta terlibat. Dengan sigap N. Sakdani Darmopamudjo, Ketua PWI cabang Surakarta, mengumpulkan pengurus inti PWI untuk rapat khusus. Dua orang anggota melapor perihal rekannya, yang diberi tugas oleh bandar untuk membagi-bagikan amplop. Kecurigaan memang sudah ada. Buktinya, bandar selalu saja tahu kalau ada wartawan yang hadir di tenda judinya. Mereka merasa, mestinya ada "orang dalam" yang bekerja sebagai pemandu. Rapat lantas mengeluarkan surat edaran yang dikirim ke semua anggota PWI Surakarta -- dengan tembusan antara lain pada PWI Pusat, Pemda Kodya Surakarta, Polres, dan Kodim setempat. Isinya peringatan sekaligus imbauan agar anggota PWI cabang Surakarta tetap setia pada kode etik jurnalistik. "Ini baru peringatan, belum penindakan," ujar Sakdani. "Saya rasa ini tindakan yang terbaik. Kami mengingatkan, seperti ayah mengingatkan anak-anaknya. Gejala amplop sebetulnya sudah berlangsung lama, tapi sulit untuk membuktikannya. Kami berusaha menjaga citra wartawan dari hal-hal yang tercela." Masalahnya, Sakdani sendiri mendapat peringatan. Seorang penelepon gelap mengancam akan membunuhnya. "Teror seperti itu kuno. Mereka hanya pengacau yang kebingungan," ujar Sakdani berang. "Saya tidak takut." Tapi Danrem Surakarta tetap menghendaki agar anak buahnya berjaga-jaga, demi keselamatan Ketua PWI cabang Surakarta ini. Menurut Sakdani, kini para wartawan yang tergugah telah mengembalikan "hadiah" mereka. Sementara itu, kegiatan judi gelap di pasar malam diam-diam sudah pindah ke tempat lain. Tapi itu bukan berita lagi. Kastoyo Ramelan dan Yudhi Suryoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini