RAMALAN banyak orang terbukti: Michael Chang. Petenis ber- darah Asia kelahiran dan berwarga negara Amerika Serikat itu, Sabtu malam pekan lalu, membuktikan diri sebagai yang terbaik di Indonesian Men's Tennis Championship 1993, di Ja- karta. Dalam final, Chang menundukkan petenis Jerman, Carl Uwe Steeb, dengan skor 6-2, 2-6, 6-1. Tekad Steeb sebelum bertanding, ''Chang akan kalah lagi'', ternyata tak ter- bukti. Steeb memang pernah dua kali mengalahkan Chang. Pertama di Italia Terbuka 1991, dan kedua di lapangan tanah liat di Roma 1992. Kini, Chang peringkat 6 ATP, dan Steeb yang peringkat 29 ATP, kelasnya makin jauh. Soalnya, sebelum ini Steeb, yang pernah peringkat 14 ATP, cedera otot kaki dan istirahat enam bulan. Chang, petenis santun yang hobi memancing, memelihara ikan, dan makan ikan itu, tak meremehkan lawan. ''Peluangnya separuh-separuh,'' katanya sebelum bertanding. Chang memang dikenal sebagai petenis yang pantang menyerah. Ini dibukti- kan di Perancis Terbuka 1989. Ia tak mau bertekuk meski kakinya telah kram. Dan akhirnya ia juara. Sekarang, di Indonesia Terbuka, ia menerima piala bergilir Presiden Soeharto dan hadiah uang Rp 81 juta. Indonesia Terbuka yang pertama dan berhadiah total sekitar Rp 600 juta ini boleh dibilang semarak. Paling tidak, kehadiran 23 pemain berperingkat di bawah 100 ATP. Selain Chang dan Steeb, ada Paul Haarhuis, Fabrice Santoro, Tarango, dan lain-lain. Maka, tak berlebihan jika Indonesian Men's Tennis Championship ini dipuji Tim Mayotte, wakil presiden ATP (asosiasi tenis profesional dunia). ''Saya pikir ini turnamen luar biasa,'' katanya puas. Adanya stadion tenis megah yang berpermukaan rebound ace yang dibangun cuma tiga bulan juga dianggap fantastis. Pe- milihan waktu yang tepat, yaitu menjelang turnamen Australia Terbuka, tak luput dari sanjungannya. Maka, tanpa ragu lagi, Mayotte, yang bekas petenis dunia itu, menganggap kelanggenggan turnamen ini akan mengatrol perkembangan tenis di Indonesia. ''Ini merupakan awal yang bagus,'' katanya. Memang, ''Turnamen ini akan menjadi arena yang sangat menarik menjelang Australia Terbuka,'' kata Carl Uwe Steeb, 25 tahun. Petenis bertubuh tinggi dan kekar ini (180 cm/74 kg) merasa bisa beradaptasi sebelum berlaga di Melbourne, arena yang lebih akbar. Tak lain karena stadion tenis baru yang belum sempurna karena belum terpasangi atap dan pengatur udara ini menggunakan lapangan yang sama jenisnya dengan di grand slam Australia Terbuka. Tentang fasilitas, Michael Chang pun sependapat. ''Buat saya, pertandingan pertama ini adalah langkah terbaik untuk start di tahun 1993,'' kata Chang, 25 tahun. Sebagai juara Indonesia Terbuka, Chang belum bisa meramal apakah penampilannya di Australia Terbuka pekan ini juga sampai di puncak. ''Terus terang, sungguh berat. Soalnya, di sana pemain-pemainnya kuat sekali,'' katanya. Misalnya, ada petenis nomor satu Jim Courier. Namun, yang patut dicatat dari Chang, petenis dengan tinggi 173 sentimeter dan berat 65 kilogram, ia mengaku tak pernah punya hambatan dengan posturnya. ''Ini tergantung pribadi masing-masing,'' kata pemain yang memiliki kelebihan bola lob, passing shot, kekuatan kaki, pengembalian servis, kecepatan, dan ketenangan ini. Tentang turnamen itu sendiri, Benny Maililli, pengamat tenis yang juga manajer klub Mercu Buana, menganggapnya kurang promosi. Dan buntutnya adalah sepi penonton. Minimnya promosi ini membuat penonton hanya mengenal Chang. Mereka buta siapa Steeb, Fabrice Santoro (anggota tim Piala Davis Perancis), dan Jacco Eltingh (peringkat 78 ATP). Jadi, kalau Chang sedang berlaga, stadion terisi sekitar 1.000 penonton. Tapi, jika pemain lain bermain, sepi penonton. Eddy Katimansah, direktur penyelenggara ATP Tour, memang mengakui kerja panitia yang amatiran. ''Kan masih dalam proses pendidikan,'' katanya. Penjual tiket, misalnya, dicomot dari orang luar yang dididik secara kilat. Tapi, untuk penjaga garis dan pemungut bola, Eddy kurang setuju jika dibilang mereka tak becus. Pelti sudah menyaring dan mendidik mereka. Untuk penjaga garis dan pemungut bola, masing-masing direkrut 80 orang. Oleh Pelti, mereka dites dan yang lulus ternyata cuma separuh. Pada hari pertama, mereka memang masih kagok. Tapi, pada hari berikutnya, menurut Eddy, cukup bagus. Adapun tentang penonton sepi, dengan enteng Eddy menjawab, ''Itu suatu yang wajar dalam sebuah proses menikmati pertandingan.'' Patut juga dicatat, 1.300 tiket gratis untuk sponsor ternyata dibagikan kepada mereka yang bukan pecinta tenis. Jadi, sepinya penonton bukan tanggung jawab Pelti tapi promotor Spectrum. ''Selama ini, kita perang dengan promotor kan karena soal itu-itu juga,'' kata Eddy. Di balik kata ''perang'' itu memang ada unek-unek di pihak Pelti. Pada final Sabtu siang pekan lalu, misalnya, yang tertunda hingga sore karena hujan, sesungguhnya sesuai dengan harapan pihak Pelti. Hal-hal kecil lain yang mendongkolkan Pelti misalnya minimnya minuman yang disediakan sponsor kepada tamu kehormatan Pelti. Sponsor lebih meladeni orang asing. Cara seperti ini mengesankan merendahkan pihak Pelti. Tampaknya, percikan-percikan kecil ini bisa membuat kerja sama Pelti- Spectrum, yang akan berlanjut hingga lima tahun mendatang, retak. ''Saya terpaksa mikir dua kali untuk kerja sama dengan Spectrum. Hubungan diplomatik saja bisa diputus dalam sehari,'' kata Eddy dengan nada keras. Namun, terlepas dari kekurangan di atas, munculnya petenis top memang patut disyukuri. Paling tidak buat mencari penga- laman petenis tuan rumah. Tiga pemain tunggal Indonesia (Benny Wijaya, Suwandi, dan Dede Suhendar), yang mendapat kemudahan khusus wildcard di babak utama, tak bisa dinilai dengan uang. Mereka sebenarnya diharapkan memunculkan kejutan. Tapi ternyata tidak. Benny Wijaya, peringkat 274 ATP, dijegal Fabrice Santoro, peringkat 42 ATP dari Perancis, dengan skor 3-6, 3-6. Dede Suhendar, juara Indonesia Masters 1992, malah ketiban sial. Ia kecelakaan di Jalan Tol Jagorawi, saat menuju ke Jakarta untuk bertanding, Selasa pagi pekan lalu. Mobil Taft yang ditumpanginya menabrak truk. Dede pun dirawat di rumah sakit Bogor. Dan hadiah Rp 5,7 juta, yang sudah di kantong karena masuk babak pertama, terlepas. Yang lebih menyakitkan, ia tak bisa menjajal kehebatan petenis AS, Richey Reneberg (peringkat 69 ATP), yang menjuarai Malaysia Terbuka sepekan sebelumnya. Suwandi juga kalah di babak pertama. Tapi penampilan finalis Indonesia Masters 1992 ini patut diacungi jempol. Menghadapi Jeff Tarango (peringkat 61 ATP) dari AS yang menjadi unggulan kelima, Suwandi mampu mengimbangi. Bahkan pada sepuluh menit pertama Suwandi cukup merepotkan Tarango, dan membuatnya frustrasi. Pukulan Suwandi yang tajam menyusur garis, dan kemampuannya mematahkan servis Tarango yang ke- ras, memang memperlihatkan bakat besarnya. ''Servisnya bagus,'' kata Tarango, petenis kelahiran Cal- ifornia 24 tahun lalu itu. Bahkan Suwandi, menurut Tarango, mampu melakukan servis ace dua kali. Unggulan kelima ini seperti tak berhenti memuji Suwandi, petenis yang masih berusia 16 tahun itu. Suwandi akhirnya menyerah pada Tarango dengan rubber set, 3-6, 6-2, 6-4. ''Lawan memang lebih bagus dari saya,'' kata Suwandi, yang bermain tenis sejak usia 8 tahun. Kini Suwandi dilatih Tintus Arianto Wibowo dalam klub Super Nugra milik Martina Wijaya. Meski kalah, toh ada pengalaman yang tak ternilai. ''Sayang, dia kalah. Kalau tidak, tentu dia mendapat point yang lebih tinggi,'' kata Martina Wijaya, yang berniat memanggil pelatih sepak bola untuk mendandani kelincahan Suwandi. Dan setelah itu diharapkan pemuda kelahiran Bandung berperingkat 1092 dunia ini akan melejit prestasinya. Widi Yarmanto dan Andi Reza Rohadian (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini