KOLESTEROL tinggi, menurut para ahli, bisa menyebabkan penyakit jantung. Sebaliknya, jika tubuh kekurangan kolesterol, sejauh ini tak banyak dibicarakan. Padahal dampaknya juga serius. Belum lama ini ada hasil studi pendahuluan tim riset di Universitas California, San Diego, Amerika Serikat. Mereka mengungkapkan bahwa rendahnya kolesterol dalam darah menyebabkan depresi, sehingga jiwa penderitanya merasa tertekan. Kolesterol rendah itu, kata ketua tim riset Profesor Lawrence Palinkas, terutama diderita pasien yang harus melakukan diet karena suatu penyakit dan rutin minum obat. Tapi ia tidak menganjurkan pasien makan makanan yang mengandung kolesterol tinggi sebagai upaya menyeimbangkan kadar kolesterolnya. Sebab, salah-salah malah membuat kadar kolesterolnya melonjak, sehingga terserang penyakit jantung. Yang ganjil adalah, serangan depresi itu hanya diderita kaum lelaki, terutama yang berusia di atas 70 tahun. Itu tampak pada lebih dari 1.000 pasien pria yang menjadi objek penelitian Palinkas. Pengamatan yang sama terhadap 1.200 wanita ternyata tidak memberi efek apa-apa. Menurut Profesor Jose Roesma, ahli ginjal dan hipertensi dari FK-UI Jakarta, temuan Palinkas itu meski diakui kebenarannya oleh beberapa ahli, banyak pula yang menyanggahnya. ''Karena rendahnya kolesterol sebenarnya tidak ada hubungannya dengan depresi,'' ujarnya kepada Sri Pudyastuti dari TEMPO. Misalnya, berapa lama pengamatan tersebut dilakukan dan berapa persisnya titik kritis kolesterol rendah. Kadar kolesterol normal orang Amerika adalah 222-250 miligram per desiliter (mg/dl). Di Indonesia biasanya mengikuti patokan itu. Tetapi karena Palinkas tidak menyebutkan angka pasti, Roesma memperkirakan bahwa kadar kolesterol disebut rendah jika angkanya bergulir turun dari 222 mg/dl. Menurut Dr Graham Colditz, dari Fakultas Kedokteran Universitas Harvard, AS, terlalu dini untuk memberi rekomendasi bagi studi pendahuluan tim Palinkas itu. Walau demikian, hasil ini bisa jadi bahan berguna bagi penelitian selanjutnya. Hanya saja laporan ilmiah yang dimuat dalam jurnal kedokteran The Lancet yang terbit di Inggris dua pekan lalu itu memang tidak lengkap menguraikan hal itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini