Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Berita Tempo Plus

Setelah Kejayaan Berlalu

Kehidupan para bekas bintang sepak bola dunia tak lagi seindah dulu. Ada yang jadi tukang pos.

7 Maret 2005 | 00.00 WIB

Setelah Kejayaan Berlalu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua puluh dua lelaki separuh baya itu selalu dijaga ketat. Dengan menggenggam walkie talky, tiga pengawal berpakaian hitam menempelnya. Para wartawan yang berusaha mendekat untuk meminta wawancara harus gigit jari. Berkali-kali mencoba?mencegat mereka saat latihan, seusai jumpa pers, atau bahkan di hotel?para juru warta selalu saja gagal. Ketika para bekas bintang sepak bola dunia itu mau diwawancarai, si pengawal berkali-kali memberi isyarat dengan lima jari?percakapan hanya boleh berlangsung lima menit.

Untunglah, para penggemar sepak bola tidak mengusik mereka. Pemain legendaris asal Brasil seperti Carlos Dunga dan Careca, mantan pemain tim nasional Belanda Robert dan Richard Witschge, atau mantan bintang lainnya amat leluasa berlatih di Senayan. Tak ada kerumunan orang yang berebut mencegat, meminta foto bersama, atau meminta tanda tangan mereka. Bahkan saat mereka melakukan pertandingan amal bertajuk "Aceh Tetap Sekolah" di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa malam pekan lalu, tak banyak penonton yang hadir. Stadion yang berkapasitas 110 ribu itu hanya terisi sekitar 10 ribu penonton sehingga tampak lengang.

Para pemain yang sudah berusia 40 tahunan itu mampu menampilkan permainan menawan. Mereka berhasil mengalahkan Tim Indonesia Selection dengan skor 4-3. Tim Indonesia diperkuat pemain tim nasional PSSI, bekas pemain nasional, serta beberapa mantan bintang Asia Tenggara seperti Fandi Ahmad (Singapura) Piyapong Pue On (Thailand), dan Zainal Abidin (Malaysia). Meski hanya sekali berlatih bersama, para bekas bintang dunia mampu menunjukkan kerja sama apik. Dalam pertandingan ini Dunga dan rekan-rekannya bisa memamerkan operan yang akurat dan alur serangan cantik penuh variasi.

Hanya Careca, 45 tahun, mengakui dirinya tak lagi seperti dulu. Untuk tampil penuh selama 90 menit terasa berat. "Saya sudah tua. Badan terasa sakit-sakit kalau bermain terlalu lama," katanya sambil tersenyum. Di pertandingan itu Careca tampil sekitar 40 menit. Ketajamannya, seperti saat menyumbang lima gol dan membawa Brasil ke perempat final di Piala Dunia 1986, tak tampak lagi. Walau begitu, operannya masih akurat. Umpan tiktaknya mengantar Marco Antonio Etcheverry, bekas pemain tim nasional Bolivia, mencetak gol di menit ke-19.

Dunga tampak lebih bugar. Lelaki 42 tahun ini sanggup bermain selama 70 menit. Namun, mantan kapten tim Brasil pada Piala Dunia 1990, 1994, dan 1998 ini juga tak segarang dulu. Ia baru datang 24 jam sebelum pertandingan digelar. Dalam pertandingan amal tersebut, Dunga lebih banyak berperan sebagai pengatur tempo permainan di lini tengah.

Umumnya para bekas bintang sepak bola bisa menjaga fisiknya dengan baik sehingga masih mampu menunjukkan sisa kehebatan mereka. Inilah yang dipuji oleh Ricky Jacobi, bekas pemain nasional Indonesia yang juga tampil di pertandingan itu. "Saya tak menduga mereka masih mampu bermain bagus di usianya yang sudah tua. Ini bukti profesionalisme mereka," katanya.

Jangan heran pula jika mereka masih bisa "dijual". Hal ini diungkapkan oleh Eric Manasse, pemimpin Logo Sport yang menjadi agen Careca dan Dunga serta pemain Amerika Latin lainnya yang datang ke Jakarta. Dia menyebutkan, para bekas bintang itu masih sering melakukan pertandingan amal dan melayani berbagai permintaan lain seperti kursus singkat. "Beberapa bulan lalu saya juga baru membawa mereka mengikuti pertandingan amal di Jamaika serta melatih ratusan anak-anak selama dua minggu di Yunani," katanya.

Tak terlalu banyak duit yang diraup dari kegiatan seperti itu. "Karena itu, keduanya hidup sederhana di kampungnya. Mereka tak lagi bergaya glamor seperti saat masih jadi bintang," ujar Manasse.

Careca pun mengakuinya. "Saat ini saya hidup tenang dan jauh dari hiruk-pikuk masa lalu, bersama istri dan tiga anak saya," katanya. Setelah pensiun empat tahun lalu, pria bernama lengkap Antonio de Oliveira Filho ini memilih tinggal di kampung halamannya, Campina, Brasil. Dia sempat mencoba jadi agen penyalur pemain ke Eropa. Pada 2001, namanya sempat terseret kasus pemalsuan paspor.

Kini dia telah banting setir dengan mengelola klub Careca Center yang memberi berbagai keterampilan olahraga, termasuk sepak bola, kepada anak di bawah 17 tahun. Careca juga sering pergi ke pelosok-pelosok Brasil untuk mencari pemain muda berbakat. "Saya berharap bisa mencetak mereka menjadi pemain bintang," kata mantan bintang klub Napoli 1980-an ini.

Begitu pula Dunga. Setelah pensiun tahun 2000 lalu, sempat ditunjuk jadi pemandu bakat di Jepang. "Tapi waktu saya lebih banyak habis untuk lembaga sosial yang saya pimpin," kata bapak dua anak ini. Lembaga yang dipimpinnya, Dunga Institute of Citizensof Development, terletak di Porto Alegre, Brasil, yang juga jadi tempat tinggalnya kini. Dia membantu anak-anak muda miskin di daerah itu lewat pendidikan olahraga. "Saya merasa berkewajiban menyumbang sesuatu pada lingkungan saya," kata pria yang bernama lengkap Carlos Caetano Bledorn Verri itu.

Kehidupan Dunga dan Careca adalah contoh keseharian mantan bintang sepak bola yang pernah bersinar. Tak semua bekas pemain memiliki jalan hidup yang mulus. Dave Watson, agen yang membawa pemain Eropa ke pertandingan amal di Jakarta, menyebutkan, dari sekitar 500 mantan pemain yang diageninya, hanya 50 persen yang kini memiliki pekerjaan. Mereka yang menganggur kini hanya mengandalkan hidupnya dari tabungan.

Hal yang sama dibeberkan oleh Tony Cascarino, mantan pemain sepak bola dari Inggris yang kini jadi kolumnis Time Online. Ia pernah mengungkapkan, hanya 5 persen dari pemain sepak bola yang mampu bertahan di bidang ini setelah pensiun, entah sebagai pelatih atau staf di tim. Yang lain umumnya harus bersusah payah memulai hidup dari awal lagi. "Banyak yang akhirnya harus menjadi tukang pos atau sopir taksi," katanya.

Neil Webb, 42 tahun, bisa dijadikan contoh. Mantan pemain Manchester United (1992-1993) dan tim nasional Inggris (Piala Dunia 1990) ini kini menjadi seorang tukang pos di Reading, Inggris. Setelah pensiun pada 1997, dia sebenarnya sempat menjadi pelatih klub kecil Weymouth, tapi kemudian menganggur. Meski semula menikmati, terlalu lama menganggur membuatnya tertekan. Apalagi setelah dia menikah lagi dan memiliki seorang bayi. Pada 2002, dia pun memutuskan mencari kerja. Kebetulan, adik iparnya yang pegawai pos memberi tahu soal lowongan di kantornya. Dia segera melamar dan langsung diterima.

Langkah Webb ini kontan menjadi sensasi. Tabloid The Sun edisi 26 Desember 2002 pernah memajang wajahnya di halaman muka. Orang-orang juga terheran-heran: bukankah dia mendapat banyak uang saat bermain untuk Inggris? Webb tak terusik. Diakuinya, saat masih bermain dia mendapat gaji 5.000 pound (sekitar Rp 84 juta) per minggu. "Itu jumlah yang besar. Tapi saat itu gaya hidup saya juga tinggi," ujarnya. Kini ia tak mungkin mengandalkan tabungan tanpa bekerja lagi setelah berhenti pada usia 35 tahun. "Apalagi, saya juga harus membiayai keluarga baru saya," katanya.

Kesulitan semacam itu kini juga dirasakan Etcheverry yang ikut tampil di Jakarta. Sudah berusia 35 tahun, bekas pemain nasional Bolivia ini masih berkeinginan bermain sepak bola. Dia masih akan berusaha bermain setahun lagi sebelum mencoba jadi pelatih. "Tapi saya saat ini saya belum mendapat klub yang cocok," katanya.

Richard Witschge, 36 tahun, kini juga luntang-lantung. "Paling-paling mengikuti berbagai pertandingan amal seperti ini," kata bekas gelandang tim nasional Belanda ini. Dia mengaku ingin jadi pelatih, tapi masih harus mengikuti kursus untuk mendapat lisensi.

Jalan lain, mungkin mereka bisa mencoba mendirikan sekolah sepak bola seperti yang dilakukan Careca dan Dunga.

Nurdin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus