Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu pagi, Made Mangku Pastika kaget bukan alang-kepalang. Di pelangkiran (tempat sesaji di bagian dalam rumah), Kepala Polda Bali itu menemukan goresan putih yang cukup mencolok mata. Goresan serupa ditemukan pula di bagian pelinggih (tempat persembahyangan di halaman rumah). Wajar Pastika kaget, bahkan setengah tak percaya. "Rumah saya dijaga 24 jam. Tak mungkin ada orang bisa masuk kamar tanpa ketahuan," ujarnya.
Kejadian di rumah Pastika itu seperti "puncak prestasi" aksi sang penoreh tanda. Bayangkan, sebuah kediaman yang dikawal 24 jam penuh oleh polisi andalan, ibarat nyamuk pun tak bakal lolos, dapat juga diterobosnya tanpa jejak. Bagaimana pula dengan tempat-tempat lain yang tak dijaga? Dan itulah memang yang terjadi di Pulau Dewata dalam sebulan terakhir.
Goresan putih berbentuk tanda plus (+) mirip tanda minus (-) itu sudah lebih dulu menandai pelinggih warga di sembilan kabupaten di Bali. Total jenderal, ada sekitar 60 persen pelinggih menjadi sasaran. Tempat umum pun kebagian jatah. Pura Linggarcana, yang hanya berjarak 10 meter dari pos penjagaan Polda Bali, tak luput dari torehan. Bahkan kantor majalah Hindu Raditya di Denpasar, yang tiap hari dipenuhi orang, juga kena torehan putih. Siapakah yang ada di balik semua ini?
Goresan itu oleh warga Bali dikenal sebagai colek pamor. Kapur sirih atau pamor biasa dicolekkan pada upacara adat sebagai bagian dari proses penyucian. Ia lambang dari Dewa Iswara. Masyarakat Bali yakin ini berkaitan dengan hal gaib. Namun, karena sebagian masyarakat resahantara percaya gaib dan tidakPolda Bali turun tangan, apalagi rumah Kepala Polda juga kena. Laboratorium Forensik Polda Bali mengambil sampel di empat kabupaten dan berkesimpulan coretan itu bukanlah kapur sirih, melainkan kapur mentah (limestone) yang biasa dipakai mengecat garis putih di jalan.
Berbagai isu pun merebak cepat. Di Jembrana, misalnya, bertiup kabar goresan itu merupakan tanda-tanda bakal terjadinya bencana gempa. Sebagian warga lalu berkemas-kemas dan tidur di luar rumah. Para pria berjaga semalam suntuk. Mereka khawatir ramalan yang mencuat dari mulut seorang remaja yang kerasukan itu menjadi kenyataan. Esok harinya, sebagian orang tua melarang anaknya bersekolah. Ternyata gempa bumi memang terjadi, tetapi bukan di Jembrana, melainkan di Karangasem, Bali Timur. Lalu bertiup isu Gunung Agung bakal meletus, padahal gempa dengan kekuatan 4,7 skala Richter itu pusatnya di laut.
Pemuka agama Hindu sudah menenangkan masyarakat bahwa colek pamor itu berarti positif karena penduduk Bali diminta waspada dan meningkatkan srada dan bhakti (iman dan takwa) kepada Tuhan. Tetapi bukan berarti kecemasan otomatis pupus, karena tidak semua pelinggih kena goresan putih.
Gubernur Bali, Dewa Made Berata, akhirnya mengeluarkan surat edaran setelah bertemu dengan para pendeta Hindu. Ia meminta masyarakat tak resah. Tanda itu, katanya, harus ditafsirkan sebagai bentuk peringatan dari Hyang Widhi Wasa. Umat Hindu kemudian diminta melakukan upacara yadnya (selamatan). Warga menurut. Kegiatan suci digelar mulai dari pura keluarga hingga secara kolosal di Pura Besakih, Kamis pekan lalu, mengawali rangkaian hari raya Galungan yang jatuh pekan ini bersamaan dengan hari raya Nyepi.
Polisi, yang "ketiban sampur", memperkuat hal itu. Irjen Polisi Made Pastika, yang sukses membongkar jaringan di balik kasus bom Bali, akhirnya juga mempercayai kegaiban itu. Katanya, tanda-tanda itu adalah peringatan Tuhan agar warga Bali yang berperilaku menyimpang segera kembali ke jalan benar. Sedangkan anak buahnya, Direktur Reskrim Polda Bali, Kombes Pol. Dewa Bagus Made Suharya, bersikap serupa. "Kami tidak mengesampingkan kalau pelakunya bukan manusia," katanya. Polisi memang sudah memeriksa sejumlah pelinggih, tetapi tak menemukan sidik jari apa pun.
Tafsir yang berbau spiritual dari kepolisian itu bukannya tanpa dasar. Apalagi kalangan pemuka agama pun tak menepis anggapan semacam itu. Salah satunya Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba, pimpinan pendeta di Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali. Menurut dia, colek pamor adalah tanda suci yang berfungsi menolak bala. "Kalau di rumah ada tanda itu, berarti pertanda baik," katanya. Dalam kepercayaan Hindu, tapak dara (goresan seperti plus) juga sering dicoretkan di punggung atau dada orang sakit untuk menolak bala. Sementara itu, Jero Mangku Pande Gotra yakin goresan misterius itu bukan ulah orang usil. Coretan itu adalah peringatan dari Tuhan bahwa kesakralan Bali mulai meluntur. "Mari kita kembalikan kesakralan Bali kepada konsep dasarnya, yaitu Tri Hita Karana," dia mengajak.
Tokoh spiritual penekun ilmu gaib, I Gusti Ngurah Harta, agak berbeda. Ia menengarai pelakunya adalah manusia yang memiliki ilmu peng-leak-an (ilmu hitam). Tetapi dia merasa pelakunya memiliki motivasi baik, yakni memberi peringatan dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan. Namun, bagaimana menjelaskan "ilmu" semacam itu bisa melakukan goresan putih dalam sekejap di ribuan tempat suci? Karena itu, orang Bali lebih yakin bahwa ini bukan perbuatan manusia.
AKA, Rofiqi Hasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo