Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Berita Tempo Plus

Membongkar Konspirasi

7 Maret 2005 | 00.00 WIB

Membongkar Konspirasi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKTI baru kasus pembunuhan Munir sesungguhnya menyangkut tokoh lama: Pollycarpus Budihari Priyanto. Disebut tokoh lama karena dialah yang paling banyak berhubungan dengan Munir sepanjang penerbangan GA 974 dari Jakarta ke Singapura. Polly, yang sudah dikenal Munir beberapa minggu sebelumnya, bahkan "berbaik hati" memberikan kursi kelas bisnis kepada Munir, yang sebenarnya membeli tiket kelas ekonomi. Di Singapura pesawat transit, keduanya berpisah. Munir diserang muntah dan diare hebat sebelum kemudian tewas di dalam kabin kelas bisnis, dalam perjalanan Singapura-Amsterdam, 7 September 2004. Sedangkan Polly berhenti di Singapura, dia mengaku menjalankan tugas perusahaan. Hasil otopsi atas jasad Munir di Belanda menunjukkan adanya racun arsen dalam jumlah dan kadar mematikan.

Mengetahui fakta ini, tidak salah jika tim pencari fakta kasus Munir?yang dibentuk dengan keputusan presiden?dan polisi mengarahkan teropong ke arah Polly. Ada banyak hal yang bisa ditanyakan kepada Polly. Pilot pesawat Airbus 330 dari Garuda itu bisa ditanya tentang hubungan teleponnya dengan Munir, sebelum aktivis itu berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi tingkat master bidang hukum. Suciwati, istri Munir, mengaku menerima telepon dari Pollycarpus, beberapa hari sebelum Munir terbang. Ada keterangan pihak polisi bahwa nomor telepon seluler Polly sempat masuk ke telepon seluler Munir beberapa saat sebelum aktivis itu boarding. Tapi Polly sampai sekarang membantah pernah menelepon Munir sebelum kejadian.

Fakta kedua yang diharapkan menjadi kunci pembuka kasus ini adalah kepergian Pollycarpus ke Singapura. Pada 6 September itu ada sepuluh kali penerbangan Garuda Indonesia dari Jakarta ke Singapura. Menjadi kecurigaan besar mengapa Pollycarpus justru memilih penerbangan kesembilan pada pukul 21.40, yang "kebetulan" juga ditumpangi Munir. Pilihan waktu terbang ini lebih mengandung misteri ketika tim yang memeriksa Polly menjelaskan bahwa lima jam sebelum lepas landas, dia baru mengubah jadwal terbang di kantor pusat Garuda di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Kata "mengubah jadwal" itu pun perlu dipertanyakan. Sebab, dalam dokumen pengubahan jadwal penerbang untuk Pollycarpus tak ada keterangan ke mana seharusnya Polly terbang hari itu alias jadwalnya kosong.

Status keberangkatan Pollycarpus ke Singapura juga menjadi tanda tanya. Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan, mengaku kepergian anak buahnya legal, untuk sebuah tugas dinas. Harus dijelaskan mengapa keterangan Indra "bertentangan" dengan beberapa anak buahnya yang berani mengatakan Pollycarpus terbang tanpa izin. Argumen mereka yang mengatakan Polly terbang tanpa izin: surat pengubahan jadwal terbangnya tidak ditandatangani kepala pilot Airbus 330, melainkan sekretaris yang tak berhak memberikan izin.

Tentang tugas yang dikerjakan Pollycarpus di Singapura juga bisa dicecar lebih jauh. Versi Indra Setiawan mengatakan, Polly ditugasi mencari tahu soal insiden sebuah Boeing 747 jurusan Singapura-Amsterdam beberapa waktu lalu. Pesawat berbadan besar itu mengalami masalah karena roda pendaratnya macet dan pesawat terpaksa membuang bahan bakar dalam jumlah besar, yang menyebabkan Garuda rugi.

Jika benar ini tugas resmi perusahaan, setidak-tidaknya ada tiga pertanyaan penting yang menghendaki jawaban pasti. Pertama, mengapa seorang pilot Airbus 330 yang dikirim, dan bukan pilot Boeing 747 yang tentu lebih menguasai pesawat jenis itu. Kedua, kalau urusannya roda pesawat yang macet, ini tentu wilayah kerja teknis, lalu mengapa bukan mekanik yang dikirim. Ketiga, ini yang terpenting. Untuk mengecek urusan roda pesawat, juga bahan bakar yang terpaksa dibuang, perlu waktu tak hanya sekejap. Yang benar-benar aneh, Pollycarpus tiba malam hari dan hanya berada empat atau lima jam di Singapura, untuk kemudian kembali dengan pesawat paling pagi ke Jakarta. Pertanyaannya: mungkinkah pengecekan dilakukan di tengah malam selagi otoritas Bandara Changi lelap tidur? Lalu, bisakah urusan tak sederhana itu dicek hanya dalam lima jam?

Pollycarpus telah bersumpah bahwa dia tak terlibat pembunuhan Munir. Tapi dia harus merelakan diri untuk diperiksa dan menjawab semua kecurigaan kepadanya dengan gamblang.

Direktur Utama Garuda, Indra Setiawan, juga perlu memperjelas kehadirannya di Badan Intelijen Negara sebelum Munir meninggal, seperti yang disampaikan anak buahnya. Bantahan Indra kepada majalah ini perlu dia sampaikan di depan tim pencari fakta, tentu dengan kesediaan untuk dicek silang dengan sumber-sumber yang melihatnya hadir di markas intelijen itu.

Indra masih perlu menjelaskan surat-menyurat sekitar penugasan untuk Pollycarpus, sampai sebuah surat diketahui dibuat sepekan setelah Munir meninggal dunia. "Kelalaian" administrasi begini gampang menimbulkan kesan Garuda Indonesia sengaja menutupi sesuatu.

Keping-keping puzzle baru dalam penyidikan kasus Munir memang ditemukan, namun masih terlalu dini menarik benang merah dari sejumlah kepingan itu. Ada titik terang di kejauhan, tapi pengungkapan harus dilakukan melalui sebuah labirin panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus