Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMEJA itu sudah basah ketika Suharsono melepas dua kancing baju dari kaitnya. Tapi rasa gerah tetap menyergap. Tak tahan lagi, ia meraih map di depannya dan mulai mengipas-ngipas.
Sebenarnya ruang kerja anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Solo itu dilengkapi mesin penyejuk udara. Tapi sudah beberapa hari AC sengaja dimatikan untuk pengiritan. Sudah dua kali Suharsono meminta agar PLN tak memutus aliran listrik. "Enggak ada duit," kata Suharsono, Ketua KPUD di sana. Beruntung, PLN bisa mengerti.
Penderitaan itu bukanlah satu-satunya. Tiga bulan ini PT Telkom juga memblokir telepon mereka. Tinggal satu telepon yang berfungsi, itu pun hanya bisa menerima panggilan. Dua saluran lainnya malah sudah dicabut. Semuanya itu karena kocek KPU Solo lagi cekak. Terhitung awal tahun 2005, mereka benar-benar tongpes. Tak ada lagi dana operasional mengalir seperti yang selama ini mereka dapatkan dari APBN dan APBD.
Sebenarnya, pada Pemilu 2004 lalu, KPU Solo menyisakan dana Rp 115 juta. Tapi, menurut ketentuan, sisa dana anggaran itu wajib dikembalikan ke kas negara dan kas daerah. "Kami menyetorkan kembali sisa anggaran itu. Lebih baik begini, daripada dituduh korupsi," kata Bendahara KPU Solo, L. Paryono.
Gara-gara itu pula, gaji lima anggota KPU Solo berikut enam staf sekretariat, sopir, dan satpam itu tiga bulan belum dibayarkan. Semenjak itu, mereka hidup prihatin. Tak ada lagi segelas teh manis terhidang tiap pagi. Lenyap pula jatah makan siang, kebiasaan semasa pemilu legislatif dan pemilu presiden dulu.
Kadang-kadang saja muncul sepiring blanggreng (singkong goreng) disajikan bersama kopi saat rapat pleno tiba. Tapi camilan dan kopi itu sering tandas jauh sebelum rapat berakhir. Sebungkus sega kucing?nasi bungkus yang berisi dua kepal nasi, sambal, dan ikan asin?hanya bisa ditemui jika masa lembur tiba. Itu pun hasil saweran lima anggota KPU.
Memang, semenjak Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 mengenai Pemilihan Kepala Daerah terbit, anggota KPUD harus sering lembur. Tugas menggelar pemilihan langsung sebagaimana diamanatkan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memburu mereka. Soalnya, pekerjaan berat itu harus siap pada 27 Juni nanti. Dalam tempo 100 hari mereka harus bekerja keras menyeleksi calon, mendata pemilih, menyosialkan peraturan dan teknik pemilihan, membentuk infrastruktur pemilihan, menyusun regulasi, hingga belanja logistik pemilu. Sesuatu yang selama ini menjadi tanggung jawab KPU Pusat.
Repotnya, pekerjaan besar itu harus dilakukan dengan kondisi kantong cekak. Praktis, banyak pekerjaan KPUD yang terhambat. KPU Solo, misalnya, hanya mampu melakukan kegiatan internal yang tak butuh ongkos, seperti penyusunan regulasi. Kegiatan lapangan lainnya, seperti sosialisasi peraturan, mereka titipkan ke sejumlah LSM atau mendompleng instansi lain.
Namun kondisi begitu tak bisa berlangsung lama. Soalnya, KPUD diberi waktu 21 hari agar menuntaskan pendataan pemilih dan membentuk panitia pemilihan kecamatan (PPK) serta panitia pemungutan suara (PPS). Dan semua urusan itu hanya bisa dituntaskan begitu anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)?satu-satunya sumber dana yang diamanatkan undang-undang?bisa dicairkan.
Sayangnya, banyak daerah yang telat memasukkan anggaran pemilihan kepala daerah ke APBD mereka. Kalaupun kemudian dimasukkan, hingga saat ini belum juga ada tanda bakal dibahas. Padahal tahap pemilihan sudah mulai berjalan. Pemerintah pusat sendiri berjanji membantu. Namun, lagi-lagi, masih harus menunggu karena proposal anggaran pemilihan kepala daerah Rp 1,2 triliun yang diusulkan Menteri Dalam Negeri Mochamad Ma'ruf baru dibahas di Panitia Anggaran DPR, pekan lalu.
Jika sudah begitu, mau tak mau KPUD harus pintar-pintar memutar otak. Itu pula yang dilakukan Suharsono dan kawan-kawannya. Mau tak mau mereka melobi pemerintah kota agar mau menalangi Rp 150 juta sebagai dana operasional mereka. "Kami berharap, permintaan itu dipenuhi," ujar Suharsono. Jika tidak? "Kami terpaksa menggadaikan surat keputusan pengangkatan kami ke bank."
Sejumlah bank memang sudah didekati. Bank Pasar milik pemerintah Solo, misalnya, bersedia meminjami mereka uang. "Tapi itu alternatif terakhir jika pada 10 Maret ini permintaan dana kami belum juga dikabulkan," ujarnya.
Tak cuma Suharsono dan kawan-kawan yang menunggu, Zulfadli, Ketua KPU Depok, Jawa Barat, juga begitu. Malah Zulfadli merasa sudah mengeluarkan semua jurus melobi pemerintah Depok agar mengucurkan dana talangan itu. Tapi ditolak dan, "Mereka Enggak mau menjelaskan alasannya," ujar Zulfadli.
Padahal Zul sudah pusing memikirkan tunggakan utang dan keluhan anak buahnya yang tiga bulan tak bergaji. Tapi Zulfadli optimistis, dana bantuan itu bakal keluar. Karenanya ia merasa tak perlu meminjam uang ke bank.
KPU Sukoharjo, Jawa Tengah, malah punya ide lain. Jika dana talangan tak juga turun, Ketua KPU Sukoharjo Khomsun Nur Arif berencana membuka kotak sumbangan. "Atau juga mengikuti jejak KPU Solo meminjam uang. Bisa juga dua-duanya. Yang pasti, kami tidak mungkin menyerah," kata Khomsun.
Yang jelas-jelas sudah berutang ke bank adalah KPU Bantul, Yogyakarta. Begitu tahu kocek kantor kosong dan gaji anak buahnya belum terbayar, mereka langsung menyerahkan SK pengangkatannya sebagai jaminan. Tak banyak memang, hanya Rp 15 juta. Tapi cukuplah buat menomboki gaji pegawai. KPU Bantul optimistis, uang yang mereka pakai bisa dibayar jika anggaran APBD sudah dicairkan.
KPU Bantul memang relatif lebih antisipatif dibanding KPU lainnya. Mereka sudah memerinci jadwal kegiatan dan program, termasuk skenario jika Mahkamah Konstitusi menolak atau menerima judicial review KPU mengenai Undang-Undang Pemerintahan Daerah. "Diterima atau ditolak. Semua sudah diantisipasi," ujar Ketua KPU Bantul, Soewandi D. Soebrata.
Mereka juga siap melakukan efisiensi jika dana tak juga cukup. Misalnya mengurangi jumlah TPS dari sekitar 2.000 menjadi 1.400 saja. Bilik suara, kotak suara, dan perangkat mencoblos pada pemilu lalu juga bakal dipakai lagi. Hal yang sama juga akan dilakukan KPU Sleman.
KPU Semarang bernasib lebih baik. Meski juga belum menerima gaji, pemerintah Semarang sudah menyetujui pencairan anggaran pemilihan Rp 6,3 miliar. "Pertengahan bulan ini akan cair," kata Hakim Djunaidi, Ketua KPU Semarang.
Carut-marut kerja KPU daerah dalam menyiapkan pemilihan kepala daerah itu tak membuat KPU Pusat ikut pusing. Menurut Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin, pihaknya tak bisa lagi cawe-cawe dalam urusan pemilihan kepala daerah kali ini. Sebab, UU Pemda menyebutkan, "KPU Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, jadi bukan KPU," kata Nazaruddin.
Kondisi daerah yang semrawut itu membuat mantan Menteri Otonomi Daerah yang kini juga anggota DPR, Ryaas Rasyid, geleng-geleng kepala. Menurut dia, persoalan ini karena pemerintah tidak melakukan persiapan penuh terhadap sosialisasi pemilihan kepala daerah. Akibatnya, KPUD tersengal-sengal. Di satu sisi mereka harus bekerja keras menguber tenggat, tapi di sisi lain juga harus membereskan kantong mereka sendiri. Padahal seharusnya pemerintah daerah menyokong penuh kerja KPUD dengan menalangi mereka dulu dana operasional. "Kalau toh mereka harus berutang ke bank, secara formal administratif harus dilakukan pemerintah daerah, bukan KPUD," ujarnya. Ryaas mengingatkan, pemilihan kepala daerah yang mepet dan tidak matang berpotensi menimbulkan konflik horizontal.
Menteri Mochamad Ma'ruf berjanji menuntaskan masalah ini. Ia berharap, pembahasan anggaran pemilihan kepala daerah ini bisa disetujui DPR dalam pekan ini, sehingga duit bisa cair pada akhir Maret mendatang. "Saya optimistis, tak akan ada daerah yang mengalami kendala dana," katanya.
Widiarsi Agustina, Imron Rosyid (Solo), Syaiful Amin (Yogyakarta), Sohirin (Semarang), dan Sita Planasari (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo