BUTIRAN keringatnya masih jatuh di Cipayung. Bersama pemain bulu tangkis yang lain seperti Hendrawan dan Tony Gunawan, Taufik Hidayat masih menepok shuttlecock di pelatnas. Dia memilih bermain di lapangan yang kerap dipakai ganda campuran dan putri berlatih. Namun, Taufik, yang Jumat pagi pekan silam itu bermain ganda, bermain seperti kurang tenaga. Sesekali dia tersenyum dan memukulkan raketnya ke tirai besar yang terdapat di sisi lapangan.
Seminggu sejak keputusan pengunduran dirinya, 11 Oktober lalu, Taufik memang masih nongol di Pelatnas Cipayung, Jakarta Timur. Dia pun masih memiliki kamar di asrama perkampungan pelatnas itu. Cuma, kehadirannya di kamp atlet itu berbeda dengan pemain lainnya. Kehadirannya di lapangan tak lain hanya untuk memanaskan dan melenturkan tubuhnya. ”Saya ke sini kan cuma jaga badan,” kata Taufik kepada TEMPO. Baginya keputusannya mundur sudah final, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bahkan, katanya, sekalipun jika terus dibujuk.
Keputusan ini jelas mengejutkan. Pasalnya, dalam usianya yang baru 20 tahun, sesungguhnya Taufik masih memiliki jalan yang panjang untuk menuntaskan karirnya. ”Untuk saat ini, dia satu-satunya pemain yang mempunyai prospek untuk bertahan lama. Masih muda, skill-nya baik, dan memenuhi segala standar tersebut,” tutur Joko Supriyanto, bekas pemain yang kini menjadi pelatih pelatnas. Setidaknya, Taufik masih bisa berkiprah lima tahun ke depan.
Pengunduran diri pemain asal Pangalengan ini dipicu keputusan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI), yang mencoret namanya dari daftar pemain yang semula akan diberangkatkan ke kejuaraan Denmark Terbuka. Melihat latihan yang dijalaninya, PBSI menganggap Taufik tidak siap diturunkan dalam turnamen itu.
Mengetahui namanya dicoret, Taufik jelas kecewa. Pasalnya, untuk menghadapi turnamen ini, ia merasa sudah habis-habisan, termasuk dengan menerima Agus Dwi Santosa, pelatih yang sebelumnya ditolaknya. Lagi pula ia merasa motivasinya telah bangkit lagi. ”Masa, hanya sekali absen latihan saya dianggap tidak disiplin,” katanya.
Namun, sesungguhnya pengundurannya ini merupakan puncak ketegangan antara Taufik dan PBSI. Mula pertama terjadi tahun lalu, saat ia mengkritik pengurus. Malah, ia meminta Ketua Umum Subagyo Hadisiswoyo untuk mundur. Akibatnya, ia diberi sanksi tidak dikirim ke beberapa turnamen yang sudah dijadwalkan, termasuk kejuaraan Grand Prix beberapa waktu di Brunei. Jelas hal ini membuat Taufik merasa tidak lagi memiliki masa depan. ”Di SEA Games kemarin tiba-tiba saya di-bilang cedera, padahal saya baru saja bermain di Singapura,” katanya.
Mungkin skorsing ini diberikan dengan maksud mendidik kedisiplinannya. Namun, hasilnya adalah prestasinya lantas menukik turun. Dalam beberapa turnamen yang diikutinya, kemampuannya melempem. Belakangan PBSI memang melunak. Mereka menuruti permintaan Taufik, yang menginginkan agar Mulyo Handoyo kembali melatihnya. Tapi, setelah dipenuhi, ternyata prestasi Taufik tidak juga berkilau. Akhirnya kontrak dengan Mulyo dihentikan.
Keputusan skorsing itu disesalkan Joko Supriyanto, seniornya di Pelatnas Cipayung. Menurut pria yang kini menjadi pelatih itu, semestinya pembinaan terhadap pemain seperti Taufik menggunakan pendekatan yang lain. ”Dia itu tidak bisa langsung dikerasi, tapi harus dibentuk agar bisa diarahkan menjadi olahragawan dunia,” tutur Joko Supriyanto. Di pihak lain, PBSI punya dalih sendiri. Menurut Christian Hadinata, Direktur Pelatnas PBSI, pemain ini memiliki masalah dengan ke-disiplinan. ”Kan sulit kalau atlet mau mengatur dirinya sendiri terus,” katanya.
Bila itu masalahnya, apakah berarti atlet di pelatnas umumnya memiliki masalah dengan soal kedisiplinan? Pasalnya, dalam tahun ini saja sekitar delapan pemain telah menyatakan mundur dari pelatnas dengan alasan yang mirip Taufik. Hengkangnya beberapa pemain dari pelatnas dengan alasan tidak bisa lagi berkembang bila berkubang di Pelatnas di sisi lain menyiratkan terjadinya suasana yang kurang harmonis. ”Mungkin saja, setelah saya, ada anak-anak lain yang bakal mundur juga,” kata Taufik. Wah, gawat dong!
Sebelum itu terjadi, tampaknya kasus Taufik semestinya bisa menjadi pelajaran bagi pengurus baru yang bakal terpilih pasca-Munas PBSI, awal November kelak.
Irfan Budiman, Ardi Bramantyo, Gita W. Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini