Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pengakuan Rahardi Ramelan

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AFGANISTAN digempur Amerika. Golkar diserang karena Akbar Tandjung, ketuanya, dalam sebuah wawancara mengaku menerima dana nonbujeter dari Bulog sebesar Rp 40 miliar. Dua serangan di dua negara itu mungkin akibatnya sama-sama "mematikan": pemerintahan Taliban lenyap (seperti cita-cita Amerika), Golkar bubar! Walaupun tanpa korban berjatuhan, kasus dana Bulog ini adalah ancaman paling serius untuk partai bentukan Orde Baru itu. Inilah kasus yang paling dekat yang bisa membuat Golkar gulung tikar. Benar bahwa partai ini sebelumnya banyak dihujat, didemo, dan digugat ke pengadilan. Namun, di waktu lalu, partai berlambang beringin itu masih terlalu kukuh untuk digoyang. Akhir Juli silam, umpamanya, Golkar memenangi perkara di Mahkamah Agung me-lawan Pijar Keadilan dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang menuntut partai itu dibubarkan. Kali ini yang dihadapi Golkar bukan LSM tapi pemerintah—yang dipimpin presiden dari partai yang mengalahkannya dalam Pemilu 1999. Terlalu naif rasanya untuk percaya bahwa koalisi PDI Perjuangan-Poros Tengah (termasuk PPP)-Golkar—yang bersatu padu ketika menurunkan Abdurrahman Wahid—akan tetap kompak. Sulit membayangkan koalisi itu akan satu suara menolak setiap usaha untuk "menghukum" Golkar. Apalagi pemilu akan berlangsung tak sampai dua tahun lagi. Dan kalau Golkar menerima "hukuman", semua lawan politiknya akan menikmati hasil. Kalau partai itu terbukti melanggar UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang batas sumbangan dari badan hukum yang maksimum Rp 150 juta, bisa-bisa Golkar dilarang ikut Pemilu 2004. Atau malah divonis bubar. Kalau itu terjadi, PDI Perjuangan akan tampil sebagai satu calon pemenang mayoritas yang kuat. Partai Megawati yang kini punya 35 persen suara itu tinggal mengail 16 persen—dari 25 persen suara yang dimenangi Golkar dalam pemilu lalu—untuk meraih posisi 51 persen yang dalam pemilu lalu tak dapat dicapai partai mana pun. Bukankah posisi mayoritas itu sangat mereka perlukan untuk mengamankan kekuasaan sampai 2009? Untuk kepentingan itu, sangat masuk akal bila Golkar dan Akbar ditinggalkan para sekutunya tadi. Tanda-tanda ke arah pecah kongsi ini sudah kelihatan. Di DPR, gagasan untuk membuat panitia khusus dana nonbujeter—untuk menginvestigasi dana Rp 40 miliar dari Ketua Bulog Rahardi Ramelan ke Akbar Tandjung—dibicarakan lagi. Kejaksaan Agung juga bersiap-siap memeriksa lagi kasus yang dulu pernah diperiksa tapi tak cukup bukti itu. Surat izin untuk memeriksa Akbar kabarnya pekan depan akan diajukan kejaksaan ke meja kepala negara. Jika kedua instansi itu serius bekerja, pastilah Golkar berada dalam kesulitan yang sangat. Ironis. Dulu Golkar mengusung isu dana nonbujeter Bulog ini untuk menggalang koalisi yang membuat Abdurrahman Wahid jatuh, tapi kini bumerang tengah berputar balik dan siap memukul Partai Beringin itu. Sesungguhnya, isu Golkar mendapat fasilitas istimewa penguasa ini bukanlah isu baru. Bahkan sejak lahirnya Sekretariat Bersama Golongan Karya—cikal bakal Golkar yang dibentuk para jenderal Angkatan Darat pada 1964—fasilitas pemerintah sudah mengucur deras. Menteri Utama Hankam Jenderal Soeharto menginstruksikan agar keempat pemimpin angkatan memberikan dukungan dan fasilitas seluasnya kepada Sekber, baik di pusat maupun daerah. Alasan yang dipilih juga khas Orba, "demi menangkal bahaya laten PKI". Pada tahun 1971 Golkar menang mutlak. Alasan keharusan mendukung Golkar ini kemudian "dirumuskan" kembali oleh Soeharto. Golkar harus menang pemilu untuk menciptakan mayoritas tunggal, yang merupakan syarat mutlak kelangsungan pembangunan. Untuk itu, semua kekuatan digalang. Pengusaha dan BUMN tidak hanya "diharapkan" menyumbang, tapi juga menjadi kader Golkar. Guru, keluarga TNI, pegawai negeri, "disarankan" mencoblos Golkar. Sudah bukan rahasia bahwa Soeharto menggalang dana untuk Golkar melalui berbagai yayasan yang dikuasainya. Selain itu, Orde Baru juga menciptakan begitu banyak pos dana nonbujeter di Bulog, Departemen Kehutanan, dan instansi "basah" lainnya. Dana nonbujeter ini selalu saja tak tersentuh audit Badan Pemeriksa Keuangan—yang kemampuan auditnya juga dipangkas pemerintah masa lalu. Dari sanalah, diduga kuat, berderaknya roda organisasi Golkar. Ketika Soeharto lengser pada 1998, pemerintahan penggantinya masih mewarisi hobi mengisap dana Bulog ini. Pada masa Rahardi Ramelan memimpin Bulog, Agustus 1998 sampai Desember 1999, sebuah data di Bulog menunjukkan ada Rp 54,6 miliar dana nonbujeter ditarik. Bukti yang dipakai umumnya juga seadanya. Misalnya secarik surat dengan tulisan "dipakai untuk keperluan negara". Titik. Buat apa dana itu sebenarnya? Seorang menteri di zaman Habibie yang diwawancarai majalah ini terang-terangan mengakui bahwa dana Bulog itu lari ke Golkar. Tapi para petinggi negeri ini, menurut sang menteri, pandai sekali menghilangkan barang bukti. Dan sampai hari ini Partai Golkar masih tetap tak tersentuh hukuman. Kalau begitu, mungkin penyelesaian politik memang diperlukan. Seperti juga kasus Bulog yang melibatkan bekas presiden Abdurrahman, DPR seharusnya berdiri di depan untuk menuntaskan kasus ini. Dalam waktu dekat lembaga di Senayan itu se-harusnya membentuk panitia khusus kasus Golkar. Walaupun Akbar menjabat Ketua DPR, pembentukan ini seharusnya tidak terhalang, sepanjang ide pansus didukung suara terbanyak di sana. Bukankah Golkar cuma minoritas dengan 25 persen suara? Memang tidak gampang membongkar kasus ini. Sebab, sudah lama terdengar bahwa yang melanggar batas sumbangan ini tak cuma Golkar. Kalau Golkar dibongkar, dia pasti akan menyoal yang lain. Tapi, jika ingin urusan dana partai ini tak berlarut-larut kelak, semua partai harus siap bongkar-bongkaran. Caranya, pansus kasus Golkar, misalnya, bisa saja diketuai orang Partai Kebangkitan Bangsa, lawan politik Golkar dalam kasus Gus Dur. Bukan untuk balas dendam tentu saja, tapi supaya diperoleh penyelidikan yang sungguh-sungguh, fair, dan terbuka. Masyarakat—seperti juga ketika kasus Bulog dan Gus Dur—bisa mengikuti dan memberikan masukan, penilaian, kritik. Bila publik mengetahui partai mana yang tidak terbuka dalam soal dana pemilu, sebuah hukuman layak disiapkan: jangan coblos tanda gambarnya dalam pemilu mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus