BAGI Gubernur Irianjaya J.P. Salossa, Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua merupakan pertaruhan terakhir. Sekarang rakyat di segala pelosok wilayah provinsi itu tengah menunggu hasil pembahasan RUU tersebut. Aksi menuntut kemerdekaan pun relatif mereda. Tapi, "Jika hasilnya kurang memuaskan, kami tak bisa menjamin masyarakat Irianjaya tidak bergolak lagi," kata Salossa.
Ucapan sang Gubernur jelas ditujukan kepada pemerintah dan DPR yang sekarang tengah membahas RUU itu di Senayan. Rancangan undang-undang ini semula merupakan usul Pemerintah Daerah (Pemda) Irianjaya, lalu diambil alih oleh DPR sebagai usul inisiatif. Pada dasarnya para wakil rakyat sudah menyetujui RUU yang terdiri atas 23 bab dan 80 pasal itu. Tinggal sikap pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri yang menentukan. Direncanakan pembahasannya selesai akhir Oktober ini.
Kalau saja rancangan itu tak mengalami perubahan berarti, Irianjaya akan berubah drastis. Provinsi itu akan resmi berganti nama menjadi Papua dan memiliki bendera sendiri, mendampingi bendera negara Merah Putih. Dijamin pula, gubernurnya akan selalu berasal dari orang asli Irianjaya dan mempunyai kewenangan cukup besar. Gubernur ikut memberikan persetujuan terhadap pengangkatan kepala kepolisian daerah. Dan ia juga bisa mencari pinjaman langsung dari luar negeri.
Dalam melaksanakan tugasnya, gubernur akan diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua. Yang terakhir ini semacam MPR di tingkat provinsi, beranggotakan para wakil adat, agamawan, dan tokoh masyarakat. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia dan hukum di kawasan itu, diatur juga soal pengadilan hak asasi manusia Papua.
Yang masih menjadi perdebatan alot adalah soal pembagian kue antara daerah dan pusat. RUU itu menyebutkan bahwa perusahaan da-erah dapat menyertakan modalnya pada BUMN atau perusahaan swasta yang beroperasi di Irianjaya. Artinya, pemda akan menggantikan pusat sebagai regulator dalam investasi.
Dalam soal pembagian pendapatan, disebutkan bahwa provinsi itu akan memperoleh 65 persen dari hasil sumber daya alam serta 50 persen dari pertambangan minyak dan gas, dan 80 persen dari seluruh pajak harus masuk ke pemda.
Lalu diatur juga soal 1,25 persen dari dana alokasi umum (DAU) nasional untuk pem-bangunan infrastruktur. Menurut Gubernur Salossa, DPR sudah menyetujui hal ini. Kalau dihitung dari porsi nasional yang Rp 60 triliun, Irianjaya akan mendapat sekitar Rp 900 miliar. Dana ini, kata Salossa, bisa untuk membantu kebutuhan dana pembangunan di Irianjaya, yang setiap tahunnya mencapai Rp 4 triliun.
Pekan lalu Panitia Khusus DPR mengenai RUU Otonomi Khusus Papua sudah menyetujui pola bagi hasil sumber daya alam 80 : 20 untuk Irianjaya dan pemerintah pusat. Kalau aturan ini disepakati pemerintah, provinsi ini akan mendapat tambahan pendapatan yang besar. Dari pertambangan umum saja, setahun provinsi ini akan kebagian lebih dari Rp 1 triliun. Belum lagi pendapatan dari minyak dan gas, kehutanan, serta kelautan, yang tak kalah besarnya. "Itu sudah adil. Kalau tidak setuju, ya, pemerintah silakan berhadapan dengan rakyat Papua," kata Peter Susanto, anggota tim panitia khusus.
Yang jadi soal, kalau sebagian besar keinginan rakyat Irianjaya dipenuhi, apakah gejolak di sana bakal padam? Tampaknya masih belum pasti. Sejauh ini masih ada kelompok yang menginginkan Papua merdeka. Menurut Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua, hasil kongres rakyat Papua tahun lalu sama sekali tidak merekomendasikan soal otonomi. "Mandat dari kongres bukan otonomi atau referendum, tapi merdeka," kata Theys.
Warga kebanyakan sebetulnya juga tidak terlalu peduli dengan urusan otonomi khusus. Niko, 45 tahun, pedagang di Pasar Ampera, Jayapura, misalnya, hanya mendengar bahwa Bumi Cenderawasih akan lebih makmur kalau otonomi khusus dilaksanakan. Tapi warga asli Irian itu tidak terlalu mengerti bagaimana undang-undang ini bisa mengubah nasib dirinya sebagai pedagang. "Apa kami mau diberi modal?" tanyanya kepada TEMPO. Rekannya, Hasma, agak paham tapi pesimistis. Ia tidak yakin otonomi khusus bisa mengubah kehidupannya. "Dulu katanya reformasi akan membuat baik, eh, harga-harga malah naik," ujarnya.
Kalau RUU Otonomi Khusus disahkan, akhirnya memang para petinggi daerah yang menentukan keberhasilannya. Merekalah yang bisa memastikan kue itu sampai ke tangan Hasma dan Niko, dan bukan cuma buat pesta mereka sendiri.
I G.G. Maha Adi, Purwani Diyah P., Syarifuddin (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini