BEBAN sebuah surat keputusan bagi atlet angkat besi Daryanto ternyata lebih berat ketimbang mengangkat barbel. Beratnya karena SK yang ditandatangani Ketua Umum PB PABBSI (Persatuan Angkat Besi, Binaraga, dan Angkat Berat Seluruh Indonesia) Soesilo Sudarman, yang diterbitkan Rabu pekan lalu, adalah larangan seumur hidup bagi Daryanto untuk memperkuat tim nasional ke pertandingan internasional dan tak boleh mengikuti pertandingan di dalam negeri selama empat tahun. Apa dosa Daryanto? Menurut Sekjen PABBSI Djoko Pramono, ia terlibat kasus doping di SEA Games XVI di Manila. "Kami malu. Nama Indonesia benar-benar tercoreng," katanya. Yang lebih celaka, kata Djoko, sudah dua kali Daryanto terbukti terlibat doping. Kejadian pertama tahun 1989. Pada PON XII di Jakarta, Daryanto yang kala itu meraih medali emas kepergok menelan Metadion. Daryanto pun kena sanksi, tak boleh mengikuti pertandingan nasional selama 1,5 tahun. Namun, baru enam bulan berjalan, PABBSI mencabut sanksi itu. Tahun lalu, kejadian itu berulang di SEA Games Manila. Dari hasil tes doping usai pertandingan di kelas 60 kg, peraih satu medali emas itu ketahuan menelan obat Lasec. Obat ini berkhasiat mengurangi berat badan. Termasuk golongan diuretic yang haram ditelan atlet. International Weightlifting Federation (IWF) kemudian menghukum Daryanto, 24 tahun, tak boleh mengikuti pertandingan internasional selama setahun. Dan medali emas yang diraihnya dicopot. Selain itu, PABBSI didenda US$ 1.000. Celakanya, PABBSI kemudian menjatuhkan hukuman yang lebih berat dibandingkan IWF. "Kami harus menunjukkan pada IWF bahwa kami serius menjatuhkan sanksi," kata Djoko. Daryanto membantah melakukan doping. Obat itu, katanya, diberikan oleh kedua pelatihnya, Madek Kasman dan Harry Wibowo. "Bagaimana mau ditolak, wong pelatih yang memberikan, kok?" kata atlet asal Magelang itu. Kala itu berat badannya masih 62 kg. Artinya masih ada 2 kg yang mesti dilenyapkan, agar bisa bertanding di kelas 60 kg. Betulkah pelatih terlibat? Madek Kasman membantah. "Mana mungkin saya melakukannya?" katanya. Daryanto memang atlet yang ulet, tambahnya, "tetapi tidak jujur." Contohnya itu tadi, tak mau mengakui perbuatannya. Kini, Daryanto tak bisa lagi hidup dari angkat besi. Padahal, pemuda yang pernah bercita-cita jadi petinju itu pernah dinobatkan sebagai lifter terbaik remaja tahun 1985 untuk kelas 56 kg. Prestasinya memang patut masuk hitungan. Di arena nasional ia selalu juara pada Kejuaraan Nasional Angkat Besi dari 1985 sampai 1991. Di gelanggang internasional, ia pernah menyabet medali perak di kejuaran dunia di Mesir tahun 1988. Kemudian tahun 1989, di SEA Games Kuala Lumpur, ia mempersembahkan satu emas dan dua perak untuk Indonesia. Tak heran jika hukuman itu membuat pemuda itu limbung. "Kenapa cuma atlet yang dihukum? Mestinya pelatih juga harus ditindak," ujarnya. Daryanto tetap mengakui obat itu dari pelatihnya. "Hukuman itu terlalu berat," komentar Sori Enda Nasution, pelatih P3OR (Proyek Pembinaan Prestasi Olah Raga) DKI Jaya, yang pernah menempa Daryanto menjelang SEA Games Manila. Sebab, ujar Sori lagi, pelari internasional Ben Johnson, yang juga pernah dituding menggunakan obat terlarang, cuma dihukum 2 tahun. Ada lagi yang kini dicemaskan Daryanto, atlet yatim piatu ini. Ia tak tahu apakah skors itu juga berarti bekunya beasiswa Supersemar dari KONI Jaya yang diterimanya Rp 50.000 sebulan dan Rp 75.000 sebulan dari Pelatda. Kalau dihentikan, satu-satunya pemasukan yang bisa diandalkan hanya honor Rp 85.000 sebulan dari P3OR, sebagai asisten pelatih Sori Enda Nasution. Hukuman itu dirasakan lebih berat lagi karena janji beroleh pekerjaan tak kunjung tiba. "Saya akan menghadap pengurus sehabis Lebaran," kata Daryanto dengan wajah kusut. Jika tak ada jalan keluar, ia bermaksud ke LBH dan KONI Pusat, karena ia yakin obat sial itu dari pelatihnya. Pengurus PABBSI tak menanggapi "ancaman" Daryanto tersebut. "Percayalah, hukuman itu bertujuan mendidik. Bukan mematikan," kata Djoko. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini