Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sasaran utamanya kan barcelona

Susi susanti dan ardy bernandus wiranata gagal di all england. indonesia hanya menyabet gelar juara ganda putra, eddy/rudy gunawan. pemain terlalu banyak bertanding. sasarannya: olimpiade.

21 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAGAL. Satu kata itu sudah cukup untuk menggambarkan perjuangan tim bulu tangkis Indonesia ke All England. Walau akhirnya mereka berhasil juga menggondol satu gelar di nomor ganda putra, Manajer Tim Leo C. Wiranata kecewa. "Saya tidak tahu bagaimana reaksi masyarakat atas kegagalan ini," kata Leo pasrah. Piala yang dipersembahkan ganda terkuat Indonesia, Eddy Hartono/Rudy Gunawan, rupanya tak cukup berarti untuk menghapus kegagalan itu. Soalnya, pemain-pemain yang diandalkan seperti Susi Susanti dan Ardy Bernardus Wiranata -- juara All England tahun lalu -- gugur di babak-babak awal. Di final Sabtu malam pekan lalu, pasangan Eddy/Rudy Gunawan mengalahkan ganda Denmark, Jan Paulsen/Henrik Svarrer, dengan 15-10, 15-12. "Ini kemenangan yang diberikan Tuhan untuk penampilan kami yang terakhir di All England," kata Gunawan. Eddy Hartono juga berniat menggantung raket setelah penampilannya di Thomas Cup dan di Olimpiade Barcelona nanti. Selain itu, kemenangan ini juga menjadi kado perkawinan Eddy dengan Yuliani, 19 April nanti. Eddy dan Gunawan berhak atas hadiah sekitar Rp 16 juta, dari total hadiah Rp 250 juta yang disediakan panitia. Sebagai tontonan, partai final ganda ini kurang memikat. Di situ kelihatan bahwa Eddy Hartono/Gunawan tak bisa melepaskan rasa tegangnya, meski pasangan Denmark itu sudah tiga kali dihadapinya dan selalu bisa dikalahkannya. Hal ini diakui Eddy. Tapi mohon dimaklumi, soalnya, "Kami berdua satu-satunya wakil dari Indonesia yang lolos ke final," kata Eddy Hartono. Perjuangan ganda ini mengalahkan pasangan Cina Chen Hongyong/Chen Kang, di semifinal, malah lebih menyuguhkan sebagai the real final. "Pasangan Cina itu paling berbahaya. Setelah menang melawan mereka, saya yakin pasti juara," kata Eddy Hartono. Tapi, patut juga dicatat bahwa All England kali ini tak diikuti ganda terkuat dunia dari Korea Selatan, Park Joo Bong/Kim Man Soo, dan ganda asal Malaysia Razif/Jaelani Sidek. Akan halnya kekalahan Susi atas pemain Cina, Ye Zhaoying, di babak tiga dengan 11-5, 5-11, dan 5-11, sebenarnya tak perlu terjadi. Soalnya, Susi, unggulan pertama itu, pernah membuat malu Zhaoying dengan skor 11-2, 11-0 di final Jepang Terbuka, Januari lalu. Celakanya, kali ini, udara Wembley yang sekitar 7-2 C itu telah membuat Susi flu. Badannya panas dingin akibat tenggorokan yang meradang. Penyakit itu membuat hidung Susi tersumbat. Gerakan kakinya pun lamban. "Ini yang membuat dia goyah," kata pelatih tunggal putri Indonesia, Liang Chiushia. Padahal, sebelum berangkat, kondisi Susi fit. Semangatnya juga menggebu. Juara All England 1990 dan 1991 itu bahkan ingin mencetak hattrick. Strategi pun sudah disusun, misalnya ia tak terjun di Kejuaraan Swedia Terbuka pekan sebelumnya. Ternyata, modal semangat saja tak cukup. Buntutnya, ia harus menelan kegetiran, dan hanya duduk di bangku penonton di malam final. "Ya, saya sudah gagal. Saya harus menerima kekalahan ini," katanya pasrah. Beban mental untuk mempertahankan juara memang ada, tapi Susi mengaku tak terlalu terpengaruh. "Mungkin, waktu itu karena saya sakit saja," kata gadis asal Tasikmalaya ini. Begitu Susi tumbang, beberapa saat kemudian giliran Ardy kena babat. Ia juga dijegal pemain Cina, Liu Jun, dengan straightset, 10-15 dan 8-15. Padahal, juara All England 1991 ini mengaku tak ada hambatan apa-apa. "Saya siap tempur," katanya menjelang ke Wembley. Lalu, ia berjanji akan bermain tenang, sambil tak melupakan berdoa. Repotnya, Ardy ketemu lawan yang pernah mengalahkannya di Kejuaraan Hong Kong Terbuka November lalu. Siapa lagi kalau bukan si jangkung asal Cina, Liu Jun. Maka, ia seperti tersandung sebelum berjalan. Seakan mentalnya melorot duluan. "Mental memang titik tolak bagi seorang pemain untuk bisa menjalankan strategi permainan yang normal," kata pelatih tunggal putra Rudy Hartono. Dan Ardy dianggap belum mampu mengombinasikan strategi bertanding agar tidak sampai ditekan lawan. Berbeda dengan Leo, bagi Rudy Hartono, prestasi menyabet gelar juara pada satu nomor di ganda putra boleh dibilang tidak buruk. Namun, agaknya yang penting pula dikaji adalah hikmah rontoknya tunggal putra dan putri Indonesia. Apa, misalnya? "Jangan terlalu banyak bertanding. Dan buat Ardy maupun Susi, mereka harus mewaspadai lapisan bawah, kalau mau menjadi the real champions," kata Ketua Bidang Pembinaan PB PBSI, M.F. Siregar. Siregar tak mau menjadikan alasan ketatnya jadwal pertandingan di All England kali ini, dan tidak fitnya anak asuhnya, sebagai kambing hitam. "Jadi juara itu risikonya ya begitu. Jangan cengeng. Saya tak mau itu. Harus kita akui bahwa kita tak cermat mengatur kapan seorang pemain harus dikeluarkan (untuk bertanding) dan kapan harus disimpan. Kami juga tak mau kekalahan ini dijadikan hari kiamat," katanya. Memang, pemain-pemain bulu tangkis Indonesia belakangan ini sangat padat bertanding. Baru saja mereka mengikuti kejuaraan Jepang Terbuka, lalu Hong Kong Terbuka, kemudian ada pula penyisihan Piala Thomas dan Uber. Jadi, ibarat mobil seharusnya dioverhaulkan. "Tapi inilah enaknya olahraga, kekalahan ini harus kita akui sportif. Sementara itu, harus pula diakui pemain Cina lebih baik," kata Siregar. Siregar betul, Cina memang lebih baik. Ia menyabet juara tunggal putra dan putri, serta ganda putri. Adapun ganda campuran didominasi Denmark. Tapi, pada partai final tunggal putra terjadi "sandiwara". Unggulan pertama Zhao Jianhua dikalahkan rekan senegaranya, Liu Jun, dengan 13-15, 13-15. "Hadiah" ini konon untuk mengatrol peringkat Liu Jun dari 11 ke 8 besar. Sebab, jika Liu Jun masuk peringkat delapan, Cina akan mendapat jatah tiga tunggal putra ke Olimpiade Barcelona: Jianhua, Wu Wen Kai, dan Liu Jun. Apa betul begitu? Pelatih Cina Hou Jia Chang tak menjawab tegas. Ia hanya mengatakan tidak menginstruksikan strategi khusus. "Tapi saya sangat puas dengan hasil tunggal putra dan putri ini," kata Hou Jia Chang. Menurut Chang, kemenangan itu bukan ditentukan oleh peringkat IBF, tapi oleh fit dan tidaknya seseorang. "Seperti Ardy, misalnya, kalau pas fit, ya bagus. Tapi kali ini ia tak bagus. Liu Jun kali ini bagus, tapi Januari lalu kurang bagus. Jadi, nggak tentu," katanya. Pelatih kelahiran Semarang ini mengaku sedang mengonsentrasikan anak asuhnya ke kejuaraan Thomas, Uber, dan setelah itu baru Olimpiade Barcelona. Selama ini dirasakan waktu latihan terlalu pendek lantaran terlalu banyak bertanding. "Persiapan menjelang dua event itu perlu lebih matang dari sebelumnya," kata Jia Chang. Barcelona memang sasaran utama banyak negara. Tim bulu tangkis Cina, Korea Selatan, Malaysia, Denmark, dan juga Indonesia masing-masing berharap mendapat emas di sana. Tim Indonesia, yang baru menggenjot 70-80 persen kekuatan, akan menambah porsinya menjadi 80-90 persen di Kejuaraan Thomas dan Uber. Lalu mencapai puncaknya pada Olimpiade Barcelona. Begitu skenario PB PBSI. Tiga tunggal putra -- Ardy, Hermawan, dan Alan -- sudah dipastikan ke Barcelona. Di tunggal putri berangkat Susi Susanti dan Sarwendah. Ada pula ganda Eddy Hartono/Rudy Gunawan dan Rizky/Rexy Mainaky. Bagaimana kans mereka? Susah menjawabnya. Menurut Siregar, materi pemain merata. Sekarang tergantung mental, kelihaian, kecermatan, dan kecepatan pemain mengembalikan kekuatannya (recovery). Angan-angan yang terlampau besar sering tak sesuai dengan kenyataan. Optimisme malah bisa jadi bumerang. Target pun akan terasa menjadi beban yang mengganduli. Maka, ujar Siregar lagi, "Janganlah membuai atau meninabobokkan mereka." Tampaknya, PBSI perlu bekerja lebih keras. Lebih-lebih setelah jago-jago kita terpuruk. Selain itu, kata Siregar, semangat perlu dibangkitkan kembali, kekurangan dievaluasi, suasana berlatih diubah hingga tampak menyenangkan, dan kalau perlu gizi ditingkatkan. "Pokoknya, dirawat lah. Ya, kayak merawat ayam jago saja," kata M.F. Siregar, yang kali ini tak ikut ke London tapi mengaku stres. Widi Yarmanto dan Mudrajad Kuncoro (London)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus