VONIS mati nyaring berdentang di meja hakim Pengadilan Negeri Batam, Riau, Sabtu dua pekan lalu. Inilah ganjaran yang diberikan majelis hakim yang diketuai Djoko Sarwoko terhadap Koh Kim Chea, 24 tahun. Adapun untuk Chua Eng Hua, 32 tahun, vonisnya adalah hukuman seumur hidup. Mendengar vonis tersebut, kedua warga negara Malaysia itu pucat. Seakan mereka lupa perbuatannya yang terbukti di persidangan: merampok Bank Dagang Negara (BDN) di Batam, dan menewaskan satpam yang bertugas di bank itu, Akhir Rusli, serta mencederai Sersan Dua Polisi Marthias. Kejahatan mereka lebih tak tepermanai, seperti mereka akui di persidangan, mereka tergiur merampok di Batam, karena hukuman di Indonesia mereka anggap ringan. Menurut Koh, ia dibisiki seseorang bahwa aparat penegak hukum di sini mudah disogok. "Jika tertangkap, hanya masuk tahanan dari depan, tapi keluar dari belakang," ujarnya. Dengan mengantongi info itulah berlima mereka langsung saja membidik Kantor BDN Batam, awal Juli tahun silam. Ketika itu kantor bank ini sedang sepi, karena sedang jam istirahat. Hanya ada tujuh karyawan yang bekerja di tempat itu. Melihat situasi empuk itu, mereka segera berbagi tugas. Dua di antaranya berlagak ingin menukar dolar dengan rupiah. Tapi, berhubung masih istirahat, kasir Misrianita belum bersedia melayani kedatangan mereka. Malah satpam Akhir Rusli baikbaik menyarankan agar mereka menukar uang ke money changer saja. Eh, Koh dan Chua malah mencekalnya dari belakang. Tak panjang cerita, bahkan mereka menggorok leher Akhir. Satpam malang tersebut tewas saat itu juga. Sedangkan Marthias, yang mau membantu Akhir, digumuli pula oleh Chua. Dan dalam waktu bersamaan ada yang bertindak untuk membongkar lemari uang. Di tengah kemelut itulah pistol Chua menyalak tiga kali. Timah panasnya bersarang di tubuh Marthias. Mendengar suara dor tiga kali itu, mereka panik sendiri. Koh mengomando agar segera angkat langkah seribu. Akan halnya Marthias, yang paru-paru dan ginjalnya disambar pelor, untung, ia dapat diselamatkan di rumah sakit. Mendengar ada kejadian itu, Kepolisian Resor (Polres) Batam segera memburu mereka. Jejaknya cepat diketahui. Mereka ternyata bersembunyi di rumah Gunawan di Tanjungpinang, sekitar 40 menit berlayar dari Batam. Dalam tempo 18 jam mereka pun dibekuk, hingga akhirnya kasus itu bergulir ke meja hijau. Kepada polisi mereka ceritakan perampokan itu direncanakan di sebuah karaoke di Johor, Malaysia. Sesuai dengan petunjuk Seng Yap -- warga Singapura -- kelima orang itu naik feri ke Batam. Otaknya adalah A Hui, warga Singapura, yang lalu mengontak Peter Ong, investor PT Printing Centre, di Batam. Peter Ong inilah yang menunjukkan BDN itu sebagai sasaran operasi mereka. Sebab, menurut info yang didapatnya, di bank itu sedang tersimpan uang Rp 5 milyar, berasal dari lima perusahaan besar di Batam. Peter Ong dan Seng Yap kemudian ditangguk polisi Singapura, sementara A Hui hingga kini masih buron. Dua bandit yang diringkus di Singapura itu diadili di sana. Ini sesuai dengan hukum setempat, yakni sekalipun warganya melakukan tindak pidana di luar negeri, Singapura berwenang mengadilinya sendiri. Maka, yang bisa dilakukan Mabes Polri untuk memperkuat penyidikan adalah mengutus petugas agar mengutip kesaksian mereka di pengadilan setempat. Dari cerita Seng Yap, terungkap bahwa A Hui hanya orang kedua dalam sindikat ini. Siapa otak yang sebenarnya? "Dia tinggal di Jakarta," kata A Hui, seperti ditirukan Seng Yap tanpa merinci identitas "Mr. X" ini. Bukan sekadar menggelapkan jati diri sang bos, Seng Yap bahkan melukiskannya lebih seram. "Bos memiliki tujuh senjata api dan punya cabang bisnis di 19 negara," katanya. Lebih jauh disebutnya pula jaminan yang diberikan si bos untuk mengurus mereka jika sampai tertangkap. Sentana apa yang dibeberkan Seng Yap itu bukan cerita busah alias karangan, niscaya tak sukar melacak siapa gerangan "Mr X" itu. Dalam pada itu, Kejaksaan Negeri Batam menyatakan banding -- khususnya atas vonis seumur hidup untuk Chua. "Layaknya, dia dihukum mati," kata Kepala Kejaksaan Negeri Batam, Sudibyo Saleh, kepada Affan Bey Hutasuhut dari TEMPO. Bukan cuma karena Chua memakai senjata api tanpa hak, tapi juga karena memandang enteng hukum di Indonesia. Namun, sebaliknya dengan pandangan pembela, Hanjoyo Putro. "Kedua klien saya bukanlah penjahat profesional," katanya kepada TEMPO. Koh, misalnya, belum pernah dihukum dan kerjanya selama ini hanyalah jadi tukang perabot di Johor. Begitu juga dengan Chua, bekas penjual kerupuk di Johor, selama persidangan ia tampil dengan sikap jujur dan sopan. "Mereka cuma kelinci percobaan dari otak sindikat itu," kata Hanjoyo. Ia lalu mengajukan banding. Boleh jadi, sang pembela benar. Namun, menurut sebuah sumber, sukar menyatakan mereka tak profesional, sebab seperti diakui dalam sidang, mereka melakukannya secara berencana. Sekarang tiga terdakwa lainnya masih dalam proses pengadilan di Batam. Diduga mereka akan dihukum berat juga. Sebab, mereka mulai main api dengan mencoba melakukan perampokan bank di wilayah Indonesia. Seperti ditegaskan Hakim Ketua Djoko, Batam, yang punya posisi strategis dalam pertumbuhan segi tiga Singapura-Johor-Riau, kalau keadaannya tidak aman, pembangunannya bisa tersendat. "Jika mereka itu dihukum ringan, bisa-bisa penjahat asing bakal tumplek merampok di sini," kata Djoko Sarwoko. Ed Zoelverdi dan Bersihar Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini