Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Lusitania : siapa yang menang?

Indonesia berhasil menggagalkan misi para demonstran di kapal lusitania expresso. tanpa melakukan tindak kekerasan.

21 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPAL Lusitania Expresso segera memutar haluannya ketika diperintahkan meninggalkan perairan Indonesia oleh komandan KRI Yos Sudarso. Mereka ternyata takut. Dengan dibayangi oleh tiga kapal perang Indonesia, KRI Yos Sudarso, KRI Ki Hadjar Dewantara dan KRI Teluk Banten, kapal Portugal ini dihalau pulang ke Darwin. Siapa yang menang? Tentu saja kita. Musuh sudah keok dan kabur. Apa lagi? Tapi, pemikiran yang lebih mendalam menunjukkan bahwa masalahnya tidak sesederhana persangkaan kita. Kita harus berbicara tentang asumsi yang dipakai. Asumsi pertama, para demonstran yang ikut Lusitania memang benar-benar mau masuk ke Darwin untuk menebarkan bunga di pemakaman Santa Cruz. Bila ini tidak tercapai, misi ini gagal. Misi tidak mencapai sasaran. Jadi, Indonesia menang. Dua tambah dua sama dengan empat. Mudah, kan? Dengan cekatan, melalui pernyataan-pernyataan yang keras dari Pangab Jenderal Try Sutrisno sampai Pangkolakops Brigjen. Theo Sjafei, kita menyatakan bahwa segala usaha akan dipakai untuk mencegah mereka masuk ke Dili. Kita lalu menyiapkan beberapa kapal perang, dibantu dengan pesawat-pesawat pengintai, serta pasukan darat yang akan mencegah mereka mencapai tujuannya. Kata Pak Theo, kalaupun mereka bisa masuk Dili, ada kekuatan-kekuatan di darat yang tidak memungkinkan mereka sampai di Santa Cruz. Bahkan, kalau cara-cara damai tidak mempan, kita tidak akan segan-segan menggunakan kekerasan. Indonesia akan mempertahankan kedaulatan wilayahnya dengan cara apa pun. Pernyataan-pernyataan yang keras disertai dengan persiapan-persiapan militer yang sempurna ini membuat para demonstran di Lusitania menjadi kecut. Mereka merasa bahwa Indonesia benarbenar akan bertindak secara tegas kalau mereka memaksakan diri untuk masuk. Karena hati memang sudah ciut, mereka segera patuh ketika diperintahkan agar meninggalkan perairan Indonesia. Apalagi dikabarkan bahwa komandan KRI Yos Sudarso melanjutkan dengan perkataan: "Jika Anda tetap melanjutkan perjalanan, kami akan mengambil tindakan untuk memaksa Anda meninggalkan perairan." Tanpa kapal perang ini melepaskan satu tembakan pun, kapal Portugal itu segera hengkang. Sudah sepantasnya ABRI diberi ucapan selamat atas keberhasilannya melakukan perang urat saraf ini. Asumsi kedua, para demonstran di Lusitania Expresso tidak benar-benar mau pergi ke Dili. Pergi ke Dili cuma sasaran tipuan. Sasaran mereka yang sebenarnya adalah menarik perhatian internasional, supaya peristiwa 12 November 1991 di Dili bisa terus mendapat perhatian. Bagi mereka, kalau mereka sampai berhasil masuk ke Dili, ini hanya sebuah bonus besar yang patut disyukuri. Kalau asumsi kedua ini yang dipakai, pernyataan-pernyataan pemerintah Indonesia yang keras justru menolong mereka mencapai tujuannya. Juga persiapan kita yang menggunakan kapal perang dan perlengkapan-perlengkapan militer lainnya untuk menghadang mereka, tanpa sengaja telah membantu kampanye para demonstran Portugal ini. Semua ini merupakan makanan yang lezat bagi pers internasional. Mereka bisa menunjukkan kepada dunia, betapa kita panik menghadapi sebuah kapal yang cuma berisi seratus lebih pemuda dan wartawan yang tidak bersenjata. Kalau asumsi kedua ini yang dipakai, kita telah menembak sasaran yang salah. Kita terjebak dan tanpa sadar telah memakan umpan mereka. Kalau sasarannya adalah opini publik dunia, kita juga harus "berperang" di medan ini, bukan di lautan dengan mempersiapkan kapal perang. Kita harus mencuri opini dunia yang condong berpihak kepada mereka. Dengan segala perasaan nasionalisme yang kita miliki, mau tidak mau harus kita akui bahwa rencana mereka memang cemerlang. Kita ada dalam posisi yang sulit. Baik mencegah mereka masuk maupun memperbolehkannya, mereka akan tetap berhasil mencapai tujuan mereka, yakni mendapatkan perhatian dunia. Apa yang bisa kita lakukan hanyalah mengurangi "kemenangan" mereka. Untuk ini, ada dua skenario. Skenario pertama: Bila keadaan di Dili bisa dikendalikan dengan baik (artinya dapat ditangkal kemungkinan adanya huru-hara), tidak ada salahnya demonstran ini disilakan masuk dan dibiarkan menabur bunga di pekuburan Santa Cruz. Kita tunjukkan bahwa kita juga menyesal atas terjadinya peristiwa ini. Bahkan kita bisa bersama-sama mereka meletakkan karangan bunga. Kalau ini yang terjadi, mungkin dunia akan bersimpati kepada kita. Seperti dalam ilmu silat Aikido, pukulan mereka tidak kita hadapi secara keras, tapi kita kembalikan kepada mereka. Skenario kedua: Skenario ini dijalankan kalau memang keadaan di Dili kurang aman, sehingga bisa terjadi demonstrasi kalau para penumpang Lusitania Expresso diperbolehkan masuk. Dalam hal ini, kita sebenarnya tidak usah terlalu banyak bicara. Kita jaga saja daerah perairan kita secara normal, tak usah pakai banyak kapal perang. Kalau Lusitania datang, kita katakan dengan baik-baik bahwa mereka tidak bisa masuk, karena tak punya izin. Kita lakukan semua ini dengan dingin dan lugas. Kalau mereka mau menabur bunga di laut, silakan. Bahkan, tak ada salahnya kalau kita juga ikut serta. Tapi mereka tak boleh masuk, atas alasan yang sangat sederhana: tak ada izin. Titik, tanpa banyak omong. Kalau salah satu dari kedua skenario ini yang terjadi, saya kira mereka akan cukup bingung, karena show mereka telah kita curi. Tapi harus diakui bahwa apa yang terjadi telah membebaskan Indonesia dari kesulitan yang lebih besar. Bayangkan kalau para penumpang Lusitania Expresso nekat melakukan provokasi sehingga kapal-kapal RI terpaksa menembak dan beberapa korban jiwa jatuh. Hampir pasti kita akan dibuat sangat pusing melayani tekanan-tekanan opini internasional. Mengapa kapal yang hanya membawa pemuda-pemuda ingusan yang tidak bersenjata ditembak? Tidak adakah cara lain untuk menanganinya? Secara militer dalam upaya menjaga keamanan kawasan kita, kita memang menang. Secara yuridis formal mungkin kita bisa menangkis serangan-serangan ini. Tapi ini bukanlah masalah militer atau hukum, ini masalah politik. Dia harus ditangkal dengan permainan politik juga. Kalau tidak, tanpa sadar, kita kembali terjeblos ke peristiwa Dili lagi, episode nomor dua. Sekarang, kita boleh bersyukur bahwa para pemuda di Lusitania Expresso tidak terlalu besar nyalinya untuk memancing insiden seperti ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus