KIPAS-kipas beterbangan. Orang sudah tak peduli lagi pada udara pengap di Gedung Istora, Senayan 29 Januari malam, ketika wasit menyatakan Francisco Lisboa menang atas petinju Korea Selatan, Jong Ho Ha. Ketika Indonesia Raya hendak diperdengarkan untuk menghormati pemenang, penonton yang sudah berdiri sebelum lagu berkumandang, secara spontan menyanyikan lagu kebangsaan itu. Lisboa yang dinyatakan sebagai petinju favorit dalam Piala Presiden ke-6 memang bintang. Dialah yang menggenapkan regu Indonesia untuk merebut dua medali emas dalam kejuaraan yang diikuti 12 negara itu. Penampilannya yang tenang dalam olah raga keras ini membuat penonton selalu terpukau. Dengan dukungan penonton yang fanatik itu Lisboa memperoleh kewibawaan yang bisa menggentarkan calon lawan. "Karisma dan kewibawaannya itu sulit diatasi oleh lawan-lawannya dalam bertanding," ucap bekas petinju nasional, yang sekarang jadi komentator tinju, Syamsul Anwar. Tidak itu saja, bagi para penonton Lisboa menjadi jaminan. Sampai-sampai tukang catut karcis juga menggunakan namanya untuk memikat pembeli. "Lisboa, Lisboa, hanya sepuluh ribu .... " kata mereka. Barangkali memang sukar mencari tandingannya. Dalam usia yang baru 18 tahun dan dengan karir yang baru 2 tahun, dia sudah bisa muncul sebagai juara kelas welter dalam satu arena yang diikuti petinju kuat seperti dari Uni Soviet dan Korea Selatan. Ketika mula-mula terjun ke dunia tinju, pada tahun 1981, dia bukan apa-apa. Dalam turnamen tinju di Denpasar tahun itu, Lisboa kalah terus. Bakatnya yang kuat baru terlihat ketika dia menentukan kemenangan tim Bali dalam kejuaraan tinju nasional Oktober 1982 di Semarang. Kemudian muncul sebagai petinju terbaik dalam kejuaraan Sarung Tinju Emas di Denpasar, 2 bulan kemudian. Kemenangan Lisboa dalam final melawan petinju Korea Selatan itu sudah diduga sejak semula. Sebelum pertarungan pelatihnya, Daniel Bahari, kepada wartawan menyatakan keyakinannya bahwa petinju asuhannya itu akan menumbangkan petinju emosional Jong Ho Ha. Lubang jarum yang harus dilintasi Lisboa justru ketika harus menghadapi petinju Uni Soviet, Oleg Kolyadin di semi final. Petinju Uni Soviet yang terkenal taktis, dan punya ketepatan pukulan yang hebat, bisa ditundukkan Lisboa berkat permainannya yang tenang. Terutama disiplinnya dalam menjalankan perintah-perintah yang diberikan Daniel Bahari dari pinggir gelanggang. Pertarungan Lisboa-Oleg boleh dikatakan seimbang. Petinju Uni Soviet itu tak kalah dalam mengumpulkan angka dngan pukulan-pukulan pendeknya. Tetapi Lisboa yang bertinju ala fighter itu, lebih unggul terutama karena pukulan-pukulannya yang masuk dengan bersih. Kemenangan tipis Lisboa itu (3-2) tidak memuaskan petinju Uni Soviet tadi. Oleg menepiskan tangan wasit ketika tangan Lisboa diangkat ke udara sebagai tanda pemenang. Dia juga melengos saja menyambut uluran tangan Lisboa. Dan ketika melewati penonton yang mengelu-elukan Lisboa, Oleg hampir saja menjotos penonton yang melemparkan kipas yang menyambar kepalanya. Lisboa sendiri kelihatan agak kikuk melihat gelanggang sebesar Istora Senayan. Ketika menaklukkan Oleg Kolyadin, dia begitu gugup, hampir-hampir saja meninggalkan penonton tanpa pamit. Untung Daniel Bahari dari balik ring berbisik: "Hormat! Hormat!" Cicco, demikian panggilan intim anak Timor Timur itu, kemudian surut beberapa langkah dan menundukkan kepalanya ke empat penjuru. Pelatih Daniel Bahari kelihatannya amat hati-hati menuntun Lisboa yang dia temukan setelah anak nakal dari Desa Fikeke itu terjaring dalam suatu operasi kenakalan remaja di Timor Timur 3 tahun lalu. Di samping yang memuji bakat anak muda dengan tinggi 178 cm bobot 67 kg itu, banyak juga yang melihat Lisboa belum tumbuh benar sebagai petinju. Pukulannya belum bertenaga. Daniel mengetahui itu. "Usianya masih muda. Tubuhnya masih berkembang. Belum waktunya membuat dia seorang petinju dengan pukulan mematikan," ulasnya. Daniel, pelatih yang hidup dari bisnis restoran itu, lebih menggali modal kecerdasan yang dimiliki Lisboa. "Sesuai dengan bintang kelahirannya, Taurus, maka pukulan Lisboa lamban. Tapi otaknya akan mampu mengimbangi permainan lawan yang bagaimana pun," sambungnya pula. Para pembina tinju di Bali, tempat Lisboa bermukim sekarang, nampaknya akan belajar banyak dari pengalaman pahit Thomas Americo yang begitu cepat meroket -- begitu menyedihkan pula jatuhnya. Dading Kalbuadi, Pangdam Udayana, yang menjadi ayah angkat Lisboa, terutama amat berhati-hati dengan masa depan anak ini (TEMPO 25 Desember 1982). Untuk membekalinya, pejabat di Bali itu, memberinya tambahan pengetahuan umum. Maklum Lisboa hanya sampai kelas 3 SD. Di rumah sang ayah angkat, Lisboa saban hari mengasah lidahnya berbahasa Indonesia. Guru bahasanya adalah Soares, bekas Presiden Fretilin. Bisa dibayangkan perasaan bekas penggembala kambing dari pesisir Timor Timur itu ketika pertama kali masuk ke rumah sang jenderal. "Saya sangat takut. Itu untuk pertama kali saya bertemu dengan pejabat," kata Lisboa kepada TEMPO. Tetapi perlahan-lahan kepercayaan dirinya tumbuh. Bersama Lucas Da Lopez (petinju asal Timor Timur juga) dia menempati sebuah ruangan di bagian belakang kediaman Dading Kalbuadi. "Namun soal makan dan keperluan sehari-hari mereka diperlakukan sama dengan anak Bapak," cerita Andi Kalbuadi, putra Dading Kalbuadi. "Dia anak yang patuh dan rajin," sela Dading Kalbuadi. Karena itu agak gampang mengendalikan Lisboa. Seleranya makan babi guling bukan main tingginya. Tapi berkat rem dari pelatih Daniel Bahari dan pengertiannya sendiri, makanan penuh lemak itu tak sampai merusak berat badannya sebagai petinju. Kalau diajak bercakap-cakap, petinju yang dibesarkan dalam bahasa daerah Tetum itu, kelihatan sudah agak lancar berbahasa Indonesia. "Saya ingin menjadi juara Asia. Kalau sudah banyak pengalaman di amatir, baru terjun ke profesional. Kalau diizinkan," katanya. Mengikuti kejuaraan dunia junior di Merino, Italia, tahun lalu, termasuk pengalamannya yang berharga. Ia merebut medali perak ketika itu. Ada yang mengatakan modal Lisboa dalam mengumpulkan angka adalah hook kiri dan straight kanannya. Tetapi bakat fisik yang dimilikinya agaknya adalah pada kakinya yang ringan dan pegas. Kalau main bola di kampung dia mengandalkan kekuatan kakinya itu sebagai back. Kekuatan kaki ini dia peroleh dari ayahnya yang pernah jadi kampiun dalam olah raga tradisional "adu kaki". Sang ayah meninggal ketika Lisboa berusia 10 tahun. Kabarnya terbunuh dalam pergolakan melawan Fretilin, tahun 1976. Daya pikat Francisco Lisboa di hadapan penonton menenggelamkan tiga petinju Indonesia lainnya yang berhasil mencapai final: Frans Batuwael (layang) serta Alexander Wassa dan John Kapissa (bulu). Orang hampir saja lupa bahwa medali emas pertama Indonesia direbut Alexander Wassa. Agus Souisa juga mudah dilupakan orang. Padahal dia mampu mengalahkan juara Olympiade, Shamil Shabirov. Ini barangkali karena ketiga petinju, seperti dikatakan pelatih Aljazair, Makhloufi, "lebih mengandalkan daya tahan tubuh daripada bertinju dengan teknik." Sehingga permainan mereka kurang sedap dilihat. Penampilan petinju Indonesia dalam Piala Presiden kali ini seperti dikatakan Ketua Umum Pertina, Saleh Basarah "tidak memalukan". Dari 21 petinju 4 berhasil masuk final. Dibandingkan tahun sebelumnya hanya 3 dari 31 petinju. Sekalipun begitu Indonesia masih belum mampu menjadi juara umum yang masih diduduki juara tahun lalu, Uni Soviet. Kedudukan kedua ditempati Korea Selatan. Tetapi dari segi pembibitan, kejuaraan yang memakan biaya Rp 90 juta dengan sponsor tunggal pabrik rokok Djarum itu, sebagaimana dikatakan promotor tinju Boy Bolang "cukup berhasil". Maksudnya tak lain karena kejuaraan ini makin menampakkan lahirnya seorang petinju baru yang penuh harapan: Lisboa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini