DAERAH Tanah Kuning yang penuh pohon durian tiba-tiba bersimbah darah. Usman Naim alias Usman Diang, 34 tahun, residivis dan dikenal jagoan serta suka mengganggu istri orang, mati terkapar Rabu malam, 19 Januari. Ususnya terburai keluar oleh enam tusukan benda tajam. Dadanya juga terluka. Tapi lebih-lebih lagi, kepala jagoan yang dibenci penduduk seputar Kampung Juru Mapin, Sumbawa Besar, itu terpisah dari badannya. Polisi tak usah repot-repot mencari pembunuhnya. Tengah malam itu, Kepala Desa Juru Mapin, kedatangan Murtada, 34 tahun, warga desa itu. Tanpa gugup sedikit pun, Murtada meletakkan sesuatu yang terbungkus kain sarung usang. "Oleh-oleh," kata lelaki berkulit hitam berambut ikal itu dengan tenang. Syamsudin, si kepala desa, menyangka itu durian, sebab memang sedang musim. Tapi ketika dibuka, isinya kepala manusia yang masih berdarah segar. Itulah kepala Usman. "Saya sudah bunuh bajingan itu. Saya lega sekarang," kata Murtada. Dari Tanah Kuning ke Juru Mapin, ayah lima anak itu berjalan naik turun bukit selama dua jam. Di tengah jalan, katanya, ia sempat mencuci muka membersihkan darah di wajah dan tangannya. Malam itu juga dengan berjalan kaki Syamsudin mengantarkan Murtada ke kantor polisi di Alas, yang berjarak 14 kilometer dari Juru Mapin. Dalam perjalanan itu kepala Usman ditaruh dalam keranjang daun kelapa. Kepada polisi yang sampai pekan lalu masih terus mengusut perkara ini, Murtada mengaku terus terang telah membunuh Usman. Malam itu, katanya, dari desa ia membawa beras menuju Tanah Kuning. Di sana ayahnya dan Ratna, istrinya, sedang menunggu kebun durian mereka. Daerah sepi itu, 60 km dari Sumbawa Besar dan harus disambung dengan berjalan kaki lewat jalan setapak selama dua jam, hari-hari ini kebetulan agak ramai. Para pemilik kebun, seperti Usman dan Murtada, dan para calon pembeli durian, berdatangan dan menginap di gubuk-gubuk. Murtada, seperti lelaki lain di daerah itu bila pergi malam hari, membawa tombak dan parang. Tombak, khususnya berguna untuk melawan babi hutan yang memang sering berkeliaran. Tiba di Tanah Kuning, sekelebatan Murtada melihat Usman ditemani seekor anjing duduk santai dekat gubuknya. Meski nampaknya Usman belum tahu persis siapa yang menyapanya, ia membalas salam Murtada. Mendadak, Murtada ingat kelakuan Usman yang pernah membawa kabur Ratna, 39 tahun, sampai anak-anaknya tak terurus. Itu terjadi selama ia dan beberapa kawannya, pada 1978, berlayar menuju Malaysia dalam usahanya memperbaiki nasib. Murtada tak sampai menginjak negeri tetangga itu, sebab ia nyangkut di Pulau Kadas di Kepulauan Riau dan menjadi penebang kayu. Hasilnya dijual ke Pasir Panjang, Singapura Selatan. Melihat suaminya tak ada, Usman mulai melirik Ratna yang berkulit hitam manis dan berpotongan lumayan. Ibu yang pernah melahirkan enam anak, satu di antaranya hasil hubungannya dengan Usman, itu mengaku takut bila menolak permintaan sang jagoan. Ia memperlihatkan bekas luka di atas payudaranya, "akibat saya menolak ajakannya." Terkadang Ratna diajak menginap beberapa hari di beberapa tempat. Dan dua tahun kemudian, ketika Murtada pulang kampung, Ratna masih berada di tangan Usman, disembunyikan di desa lain. Ingat itu semua Murtada segera menghunjamkan tombak, dan tepat mengenai dada Usman. "Mengerikan sekali. Hati korban sampai tercecer keluar," kata dokter Joko Sutanto yang membuat visum. Tusukan berikut menembus lambung sampai usus terburai. Di kepala Usman, juga ada bekas retakan menyilang akibat sabetan parang. "Tulang tengkoraknya pecah," kata Joko lagi. Terakhir, parang dibabatkan ke leher korban sampai putus. Kepada Muchlis Dj. Tolomundu dari TEMPO yang menemuinya pekan lalu, Murtada, meski merasa menyesal, mengaku puas. "Daripada nanti bikin soal lagi, lebih baik bajingan itu saya bunuh sekalian," akunya dengan nada lega. Ia mengaku, dia sendirian melakukan pembunuhan itu. Tapi menurut Surayah, istri ketiga Usman, sebelum Murtada datang, ia melihat Lukman, 23 tahun, keponakan Usman sendiri. Dan katanya, ia menyaksikan Lukmanlah yang menghunjamkan tombak pertama kali. Baru setelah itu, katanya, datang Murtada. Ada dugaan, "Lukman terlibat dalam pembunuhan itu," kata Letkol Ahmad Suraedi, Danres Sumbawa. Latar belakangnya soal warisan kebun. Inilah yang masih terus diusut pihak kepolisian. Tapi kepada Syamsudin dan polisi, Murtada yang pangkal lengannya terluka mengaku melakukan semuanya seorang diri. Dan meski pembunuhan seperti itu baru pertama kali itu terjadi di Sumbawa, penduduk rata-rata lega mendengar kematian Usman, yang sudah beberapa kali masuk penjara gara-gara mencuri. Bekas anggou PKI golongan C itu juga dikenal suka mengganggu, dan menggauli istri orang. Sering pula berbuat sewenang-wenang dan karenanya amat ditakuti penduduk. Ayah kandung Murtada sendiri pernah dilukai dan hampir dibunuhnya. Akibat perbuatannya, Usman, berdasarkan hasil musyawarah desa diusir dari Juru Mapin. Kepala Desa Syamsudin yang pernah menghajar Usman, sudah lama kesal. Karena, "akibat ulahnya saya beberapa kali harus jadi saksi di Pengadilan," kata kepala desa itu. Karena itu penduduk menganggap Murtada sebagai pahlawan. Karena dialah yang berani menghabisi nyawa Usman, biang kerok desa. "Warga Desa Juru Mapin umumnya bersyukur, karena pengacau desa ini telah tiada," kata Syamsudin. Di rumah korban, tak seperti lazimnya bila ada seseorang meninggal dunia, tak ada pengajian diselenggarakan untuk "mengantar" arwahnya agar lapang memasuki dunia sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini