ANGIN resesi akhirnya menyambar sektor industri automotive. Permintaan akan jip diesel kini terasa semakin lemah sesudah harga jualnya naik secara berangsur. Kendaraan niaga pun, yang harganya cukup murah, kini juga sudah sulit dijual. Pasar yang lemah ini telah menyebabkan produksi mobil tahun lalu hanya berjumlah 188 ribu unit lebih, atau turun 11,3% jika dibandingkan 1981 yang mencapai 212 ribu unit lebih. Peraturan pemerintah di bidang pajak dan bea masuk. menurut Ketua Umum Gabungan Agen tunggal Asembler Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaakindo) Sugianto Sastrosatomo, juga turut berperan menekan kenaikan produksi. Harga jip Daihatsu Hunter diesel, misalnya, naik rata-rata 10% sesudah 22 Oktober 1982 pemerintah menaikkan Pajak Penjualan (PPn) dari 20% jadi 40% dari harga pokok. 2 bulan kemudian, 27 Desember, bea masuk jip atap keras dan kanvas, masing-masing dinaikkan dari 5% jadi 20% dan 10%. Sedang PPn impor kedua jenis jip itu naik dari 5% jadi 10%. Dalam keadaan pasar serba sulit, kata Sugianto, berbagai peraturan tadi justru menyebabkan harga kendaraan (diesel terutama) terus menanjak. Jip Toyota Landcruiser diesel atap keras, misalnya, kini harganya mencapai Rp 11,8 juta kosong). Padahal ketika diluncurkan Agustus lalu masih Rp 8,3 juta. "Semua peraturan pemerintah itu jelas telah memojokkan industri kendaraan bermotor," kata Sugianto akhir Januari. Konsumen juga ikut terkena. Kenaikan Landcruiser diesel sebesar 42% itu telah mendorong sejumlah konsumen membatalkan rencana pembeliannya. Lebih separuh calon pembeli jip itu di Bursa Mobil Jakarta umpamanya, kemudian membatalkan pesanannya. Jika sebelum Oktober, Bursa Mobil setiap minggu mampu menjual 10 Landcruiser diesel, kini hanya 3 jip jenis itu bisa dijualnya. Tapi kini pasar jip mulai membaik, karena produksinya langka. "Hanya saja kalau dulu (sebelum kenaikan PPn) jual mobil baru bisa untung sampai Rp 2 juta, dan mobil bekas Rp 1 juta, sekarang untung Rp 100 ribu saja sudah lumayan," kata Nader Thaher, direktur sursa Mobil. Toh pasar untuk Landcruiser, Hunter, dan Chevrolet Luv (kendaraan niaga kategori I yang PPn-nya naik 20%) tetap belum sebaik masa pra Oktober. Angka penjualan Landcruiser dan Hunter setiap bulan, misalnya, anjlok 50% jika dibandingkan sebelum kenaikan PPn. Tapi Chevrolet Luv tahun 1982 justru berhasil mempertahankan tingkat penjualan tetap sekitar 9.300 unit, atau sama dengan penjualan tahun sebelumnya. Masa depan jip diesel terutama tampak semakin berat setelah harga solar, bahan bakar utamanya, ditendang naik dari Rp 85 jadi Rp 145 per liter. Pemakaian kendaraan diesel dengan tujuan untuk menekan biaya operasi kini dianggap jadi tak relevan Iagi. Pada pembelian tingkat pertama, jip diesel bahkan terasa lebih mahal jika dibandingkan kendaraan penumpang. Harga Landcruiser kosong sekarang (Rp 11,8 juta) berada di atas Ford Laser (Rp 11 juta). Padahal ketika sama-sama diluncurkan Agustus tahun lalu harga Landcruiser masih Rp 8,3 juta, dan Ford Laser berada di atasnya dengan Rp 9,4 juta. Kepincangan dalam struktur harga itu jelas mendorong konsumen mengalihkan perhatian pada kendaraan penumpang (sedan) kelas 1.100-1.300 cc kendati harga patokannya sudah naik. Ford Laser hingga Desember dengan cepat terjual 800 unit. "Kami hanya ingin mengisi ruang yang kosong di jenis sedan, bukan untuk menyaingi, Toyota Corolla maupun Mitsubishi Lancer," kata seorang staf PT Harapan Mobil Nusantara, distributor Laser. Penjualan Honda Accord dan Civic pun juga menanjak (lihat tabel). Secara berangsur memang kini tengah terjadi pergeseran permintaan: konsumen mulai tidak menyukai kendaraan serbaguna (jip) berbahan bakar solar. Kecenderungan itu tentu bisa dianggap menggembirakan jika dilihat dari kepentingan pemerintah. Kenaikan PPn 40% jip diesel, dan 20% kendaraan niaga kategori I (Chevrolet Luv dan Toyota Hi-Ace) sesungguhnya memang dimaksudkan untuk "menjauhkan" konsumen dari kedua jenis kendaraan itu. Dengan cara itulah pemerintah berharap solar yang masih disubsidi (ongkos produksi sekitar Rp 230, sedang harga jualnya hanya Rp 145 per liter) tidak banyak diserap oleh sektor nonproduktif. Lho? Jip yang pada mulanya diharapkan lebih banyak dipakai untuk kegiatan produktif, belakangan justru lebih banyak digunakan hanya untuk ke kantor. PT Astra International Inc., agen tunggal dan penjual jip Landcruiser dan Hunter, mengakui kenyataan tak sehat itu. "Tapi sesudah BBM solar naik, saya harapkan pemerintah mau menurunkan kenaikan Pajak Penjualan jip diesel," ujar T.P. Rachmat, Wakil Dirut PT Astra. Harapan serupa juga dikemukakan Gaakindo. Organisasi ini menilai kebijaksanaan pemerintah di bidang pajak dan bea itu tampaknya mcrupakan peraturan tidak mendasar, yang ditelurkan karena suatu kasus. "Untuk jangka panjang kebijaksanaan itu jelas telah memukul industri automotive," kata seorang perakit mobil. "Pemerintah tidak konsisten dengan keputusannya sendiri." Dia menyebut kenaikan PPn kendaraan diesel itu tidak konsisten dengan SK Menteri Perindustrian yang dikeluarkan September 1979. SK Menteri Soehoed itu sebenarnya hanya menyebut secara tersurat keharusan agen tunggal dan perakit lebih banyak menggunakan komponen lokal untuk jip dan kendaraan niaga I. Di situ tak disebut secara jelas keharusan menggunakan diesel untuk kedua jenis kendaraan di atas. Jadi mengapa Astra harus mengganti motor bensin Daihatsu dan Toyota dengan diesel? "Kami melihat kesempatan, dan permintaan " ungkap Komisaris Utama Astra William Soerjadjaya. Manajemen Astra tampaknya telah melihat bahwa kenaikan BBM secara tidak proporsional -- premium jauh lebih mahal dari solar -- akan mendorong konsumen mengalihkan perhatian ke kendaraan diesel. Karena itulah Astra memutuskan pada 1979 mengganti motor bensin Daihatsu dengan motor diesel. "Karena tidak ada penolakan pemerintah, usaha itu ya kita teruskan," tambah Himawan Surya, Direktur Astra. Penggunaan mesin diesel secara optimal pada Landcruiser, Hunter, dan Hi-Ace itu bahkan kemudian dikaitkan dengan rencana pendirian pabrik mesin diesel. Berpatungan dengan Toyota Motor Coy, Astra (dengan investasi US$ 39, 4 juta) merencanakan akan memproduksi mesin diesel tipe L-60 PK, dan B-80 PK. Astra juga akan menghasilkan mesin diesel DG-75 PK, berpatungan dengan Daihatsu Motor, lewat investasi US$ 121 juta. Untuk mencapai hasil optimal, mesin diesel B-80 PK, misalnya, telah diperkenalkan penggunaannya untuk truk Dyna dan jip Landcruiser. "Kami tentu tidak bisa mendirikan pabrik mesin jika hasilnya hanya dipakai untuk 100 unit kendaraan setiap bulannya," ujar Rachmat. Tapi kini semua rencana investasi di bidang industri mesin itu berubah jadi "wait and see" sesudah PPn dan bea masuk impor naik secara menyolok. "Investasi mesin diesel harus ditinjau kembali," kata Komisaris Utama William. "Soal apakah motor diesel pada Landcruiser dan Hunter akan diganti lagi dengan bensin, riset pasarlah yang akan menjawabnya". Jika toh PPn harus tetap ditarik, William menyarankan agar pembayarannya dilakukan setiap tahun saja (diangsur), seperti Sumbangan Wajib Pembangunan, Perbaikan, dan Prasarana Daerah (SWP3D). Kalau cara itu dilaksanakan, katanya, pembayaran pertama untuk kendaraan diesel niscaya jadi terasa ringan buat konsumen. Dia juga mengharapkan agar pemerintah tidak melakukan pajak berganda: sejumlah komponen impor jip misalnya, yang sudah dikenakan PPn impor masih pula secara tidak langsung kena PPn harga jual. Ketua Gaakindo Sugianto mengkhawatirkan keadaan semacam itu justru akan menghambat usaha penggunaan komponen lokal. Komponen kendaraan niaga terpenting yang harus dibuat di sini paling akhir: mesin, transmisi, rem, dan kopling, yang diharapkan sudah bisa dibuat pada tahun 1984. Persaingan di kendaraan niaga jadi semakin tidak sehat manakala ada agen tunggal kendaraan niaga sama sekali terlepas dari kewajiban menggunakan komponen lokal. Semua komponen kendaraan niaga itu, kata seorang perakit, adalah eks impor. "Karena dia tak memikul biaya produksi komponen lokal yang cukup tinggi, harga jual kendaraannya bisa jadi lebih murah," tambahnya. Kejelasan sikap pemerintah di bidang industri automotive tampaknya memang diperlukan oleh para perakit kendaraan niaga. Pasar untuk ketiga kategori kendaraan niaga kini memang agak runyam jumlah seluruh kendaraan niaga yang menjual tahun lalu hanya 134 ribu unit lebih, atau turun 15% jika dibandingkan tahun 1981 yang mencapai 157 ribu unit lebih. Penurunan penjualan kendaraan niaga itu jelas banyak disebabkan oleh menurunnya daya beli konsumen. "Efek penurunan itu mulai terasa sesudah industri elektronika dan tekstil yang banyak menggunakan jasa kendaraan niaga, terpukul resesi," kata Sofjan Wanandi, Dirut PT Garuda Mataram Motor, agen tunggal VW. Penurunan penjualan kendaraan niaga sebesar 23 ribu unit lebih itu sebagian besar tampaknya diambil Mitsubishi. Penjualan Mitsubishi tahun lalu hanya 54 ribu unit lebih, atau turun 27% (sekitar 20 ribu unit) jika dibandingkan penjualan tahun 1981 yang mencapai 74 ribu unit lebih. Sekitar 90% Mitsubishi yang terjual adalah dari jenis kendaraan niaga. "Keadaan pasar kini memang berat," kata Herman Z. Latief, Direktur PT Krama Yudha Tiga Berlian, agen tunggal Mitsubishi. "Persoalannya bagi kami kini adalah bagaimana caranya mempertahankan porsi". Situasi seperti itu juga dirasakan oleh PT Star Motor Indonesia, agen tunggal Daimler-Benz. Penjualan kendaraan niaga kategori III yang diageninya tahun lalu turun sekitar 20%, jika dibandingkan penjualan tahun 1981. Penjualan kendaraan penumpang Mercy tipe 200, 280-E, dan 240 Diesel, juga turun 10%. Kenaikan PPn sedan diesel 20%, telah menyebabkan harga jual Mercy 240 Diesel naik dari Rp 32,5 juta jadi Rp 36 juta. Karena harga yang kelewat tinggi itu permintaan akan sedan tersebut jadi tak ada, dan Desember lalu perakitannya dihentikan. Untuk kendaraan komersial "kami sekarang hanya berada pada posisi mempertahankan diri saja," kata T. Pawitra, Dirut Star Motor. Hanya Suzuki tampaknya yang berhasil melompati kelesuan pasar. Penjualan jip Suzuki Super Jimny dan kendaraan niaga I Suzuki ST-20 naik dari 13 ribu unit (1981) jadi 15 ribu unit (1982). Jip Jimny terutama yang naik mengesankan dari 5 ribu (1981 jadi 6 ribu unit lebih (1982). Jimny yang harganya Rp 6,9 juta (isi kini tampaknya menjadi pilihan kuat untuk konsumen berkantung pas. "Kami memang hanya memasarkan kendaraan yang sifatnya lain: harga murah, hemat bahan bakar, dan berbahan bakar bensin," kata Soebronto Laras, Dirut PT Indomobil Utama, agen tunggal Suzuki. Masa cerah untuk Suzuki tampaknya sudah berada di ambang pintu. Kini dalam upaya mengoptimalkan pemakaian mesin, yang kelak akan diproduksi di sini, Indomobil akan mengganti mesin ST-20 hingga sama dengan jip Jimny. Untuk mengoperasikan industri mesin, yang hasilnya bisa dipakai secara optimal, Indomobil harus meningkatkan penjualan tiga kali lipat dari posisinya kini. "Sebenarnya proyek pabrik mesin itu tidak layak," kata Dirut Soebronto. Jika Suzuki masih mengharapkan akan mampu meningkatkan penjualan, Astra International justru sudah merasa untung jika volume penjualan Landcruiser, Hunter, dan Hi-Ace tahun ini sama dengan tahun lalu. Penurunan tajam jelas akan terjadi untuk mobil yang banyak menggantungkan pemasarannya ke sektor pemerintah. Dalam usaha menekan pengeluaran secara berlebihan, untuk tahun anggaran 1983/1984 pemerintah telah memutuskan tak akan membeli mobil baru. Bahkan pemegang kendaraan kini dianjurkan untuk membeli mobil yang dipakainya. Merk Volkswagen, yang sebagian besar pasarnya berada di sektor pemerintah, jelas akan terpukul hebat. Volume penjualan mobil merk itu tahun ini, menurut Dirut Garuda Mataram Sofian Wanandi, akan turun lebih parah lagi. Agen tunggal VW itu tampaknya akan sulit meraih angka penjualan 2 ribu unit lebih seperti yang pernah dicapainya dua tahun lalu. Sebenarnya "kalau kami berhasil menjual 500 VW saja sudah bisa mencapai titik impas," kata Dirut Sofjan Wanandi. Karena faktor-faktor itulah, Ketua Umum Gaakindo Sugianto Sastrosatomo memperkirakan produksi mobil untuk tahun ini akan turun sebesar 15% jika dibandingkan tahun sebelumnya. "Industri mobil tahun ini akan menghadapi tekanan terberat," katanya. "Pokoknya tahun ini kami tidak terlalu optimistis," tambah Rudyanto Hardjanto, Direktur Astra. Dalam upaya mengantisipasi penurunan produksi itu, pelbagai langkah penghematan kemudian dilakukan. Manajemen Astra, misalnya, menganjurkan kepada industri komponen (PT Toyota Mobilindo) agar memotong baja sehemat mungkin. Hingga jika sebelumnya potongan baja untuk karoseri mencapai 10%, dengan tindak pengamanan itu potongan baja terbuang diharapkan hanya akan 5% saja. "Penghematan di sektor lain juga akan kami lakukan tanpa harus merumahkan karyawan." kata T.P. Rachmat, Wakil Presdir Astra. "Tapi tahun ini kami tidak bisa menerima pegawai baru." Usaha semacam itu juga dilakukan oleh Kramayudha Tiga Berlian. Agen tunggal Mitsubishi itu, umpamanya, akan berusaha menekan biaya produksi, sembari meningkatkan pelayanan pada pemakai merk tersebut. Tapi rasionalisasi dan mutasi tampaknya akan dilakukan terhadap 190 karyawan yang bekerja di Kantor Pusat Udatimex, agen tunggal dan perakit Holden. Langkah itu, kata Frits Eman, Ketua Kelompok Udatimex, terpaksa dilakukan demi meningkatkan produktivitas karyawan. "Apa boleh buat pengurangan pegawai adalah salah satu alternatif terbaik untuk memperoleh tingkat efisiensi," katanya. "Tapi pada tahap pertama akan kami mulai dari mutasi dulu." Akankah hal itu juga dilakukan atas buruh di perakitan? Mudah-mudahan tidak terjadi, sekalipun pengurangan shift kerja diduga akan berlangsung. Tapi jika tahun ini penurunan penjualan lebih parah dari perkiraan, ribuan buruh terampil dikhawatirkan akan kehilangan pekerjaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini