Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Adakah jalan tobat para bromocorah

Perampokan belum mereda, walau operasi clurit gencar dilakukan, pelakunya kebanyakan bromocorah. lp dinilai gagal membina para napi, perlu sukarelawan untuk membina enam ribu bromocorah. (krim)

5 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKAN ini "Operasi Clurit" di Jakarta memasuki pekan ketiga. Sampai Sabtu pekan lalu, lebih dari 700 orang -- sebagian besar residivis (bromocorah) --ditahan. Ratusan senjata tajam dan senjata api disita. Bahkan dua orang bromocorah pekan lalu tertembak mati, dan tiga orang lainnya luka-luka tak lama setelah mereka melakukan perampokan. Tapi sampai minggu lalu berbagai perampokan masih terjadi di Jakarta. Seperti menjawab "Operasi Clurit" hari-hari sepanjang pekan lalu tidak ada hari tanpa perampokan. Bahkan dua perampokan besar terjadi di tengah keramaian. Misalnya Rabu lalu, seorang pengusaha yang baru saja mengambil uang Rp 6 juta dari relasinya, ditodong dengan clurit ketika mengendarai mobilnya di Jalan Sutoyo Cililitan. Dua hari kemudian dua orang karyawan PT Bumi Kaya Steel yang baru pulang dari bank mengambil uang Rp 8 juta, dirampok di depan kantor mereka di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat. Semua pelaku perampokan melarikan diri dengan sepeda motor. Baik yang sudah tertangkap maupun yang masih beroperasi, diperkirakan para pelaku sebagian besar bromocorah. "Polisi bisa memastikan 60% kejahatan dilakukan penjahat kambuhan atau residivis," ujar Kadispen Mabak, Kol. Pol. Sakir Subardi. Dari penelitian yang dilakukan polisi, kejahatan yang disenangi para bromocorah itu adalah menodong, menjambret dan merampok. Karena itu pula, dalam "Operasi Clurit" ini, Panglima Kopkamtib Sudomo, juga akan menangani pembinaan bromocorah. Diperkirakan enam ribu bromocorah bermukim di Jakarta. Agaknya pembinaan selama ini, baik di LP maupun di luar LP, dinilai gagal. Bahkan LP yang diharapkan menjadikan narapidana "sadar kembali", ternyata malah menjadi tempat "kaderisasi" para penjahat muda untuk meningkatkan keterampilannya. Penilaian itu diberikan seorang bekas narapidana, Efendi Talo, Ketua Dewan Pimpinan Yayasan Bina Kemanusiaan (YBK) ketika mengadakan jumpa pers Kamis lalu. "Karena kesalahan teknis, setelah dibebaskan penjahat lebih pintar," ujar Efendi Talo yang mengaku pernah menghuni penjara Sukamiskin, Cipinang, Glodok dan Tangerang selama 12 tahun. YBK adalah satu badan yang membina para residivis. Setelah keluar dari penjara, katanya, justru kehidupannya tambah kucar-kacir. "Surat penglepasan dari LP malah menyebabkan orang takut menerima saya bekerja," kata Efendi Talo. Sebab itu pula, katanya, setelah keluar dari penjara pertama kali, ia akhirnya kembali melakukan kejahatan dan masuk penjara lagi. Dan setiap keluar penjara, menurut Talo, keterampilannya melakukan kejahatan tambah meningkat. Talo mengaku benar-benar insaf setelah tiga kali keluar masuk penjara. Pengalaman dan pendapat Talo ini bukan berarti tidak ada narapidana yang bertobat ketika menjalani hukuman. Biasanya yang bisa sadar seperti itu adalah pelaku-pelaku pembunuhan, tapi bukan motif perampokan. A.R.N. Maarbuat, misalnya, seorang bekas TNI-AU yang membunuh salah seorang atasannya, karena temannya dipecat. Akibat tindakannya itu, selain diberhentikan dari ABRI, Maarbuat dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh Mahkamah Militer. Ia akhirnya menghuni penjara Cipinang. Tapi di tempat ini tekadnya bulat: "Kalau saya berani berbuat jahat, kenapa saya tidak berani berbuat baik." Sejak itu ia mencurahkan kegiatannya di LP ke bidang sosial dan keagamaan. Karena berkelakuan baik, Maarbuat diperkenankan bersekolah di luar LP. Untuk itu, ia memilih Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta. Setiap sore Maarbuat keluar penjara, dan pulang ke LP malam harinya selesai bersekolah. Ia mengaku pula selama itu mendapat bimbingan dari Sekjen Departemen Agama, Almarhum Bahrum Rangkuti. Karena prestasinya itu, ia akhirnya dilepaskan tahun 1978, 3 tahun menjelang masa hukumannya berakhir. Maarbuat memang bernasib baik ia diterima bekerja sebagai pendeta di Gereja Kristen, Jalan Matraman, Jakarta. Pembinaan rohani pulalah yang mengubah jalan hidup seorang bekas narapidana di Medan, Pardamaian Sitorus. Ia mengaku sudah mengenal kejahatan sejak berusia 10 tahun. Sejak saat itu pula ia sudah keluar masuk penjara yang juga tidak terhitung banyaknya. Hampir separuh dari usianya dijalaninya di penjara. "Sebab hampir setiap hari saya beroperasi bersama teman-teman," ujar Pardamaian Sitorus, 32 tahun. Nasib baik baginya, di LP yang terakhir ia mendapat bimbingan mental dari kepolisian. "Akhirnya saya sadar," ujarnya. Pardamaian kemudian, 11 Juli uhun lalu, masuk Islam begitu keluar dari L.P dan mengganti namanya, menjadi Abdullah Ramlan. Kini ia berdagang rokok. "Kalau tak ada halangan Maret ini saya akan kawin," ujar Abdullah. Setelah menjadi warga yang benar-benar sadar, Abdullah mengaku sering digoda bekas teman-temannya untuk kembali melakukan kejahatan. Namun Abdullah yang sekarang rajin bersembahyang lima waktu, mengaku cukup tangguh. "Saya betul-betul sudah bertobat, semoga Tuhan tahu itu," tambahnya. Kesulitan pembinaan di LP juga diakui oleh Kepala LP Cipinang, Hari Marsoedi. Kebanyakan dari para pelaku kejahatan itu, katanya, dihukum dalam waktu yang pendek, misalnya 3 bulan. "Belum sempat diapa-apakan mereka sudah harus keluar," ujar Hari Marsoedi. Setiap hari menurut Hari, sekitar 15 sampai 20 orang napi masuk LP Cipinang, dan 10 sampai 15 orang dilepaskan. Tapi di antara para napi itu, juga ada bekas napi sebelumnya. Jumlah yang pasti dari bromocorah yang masuk kembali ke LP, kata Hari, sulit dihitung. Sebab ada yang memakai nama lain, dan ada pula yang tidak mengaku pernah masuk LP di kota lain. "Menghitungnya perlu dengan komputer," ujar Hari Marsoedi setengah bergurau. Sebab itu banyak orang berpendapat pembinaan yang diperlukan para residivis adalah di luar tembok penjara. Kasubdit Bina Asimilasi Ditjen Pemasyarakatan, Dra. C.M. Marianti, mengaku instansinya baru sanggup membina sekitar 2.500 orang bekas napi selama tahun yang lalu. Selain itu, juga ada latihan dan kursus-kursus untuk napi. Tidak kurang dari 300 orang napi yang mendapat latihan selama tahun lalu. "Mereka yang sudah dibina tapi kambuh kembali tidak sampai 10%, " kata Marianti. Namun kalau diukur dengan jumlah bromocorah di Jakarta saja, seperti diungkapkan Laksamana Sudomo (sekitar enam ribu orang), apalah artinya pembinaan sekitar 300 orang itu. Marianti mengakui hal itu. Sebab itu ia menyayangkan kurangnya tenaga sukarelawan yang benar-benar mau menyisihkan waktu untuk membina eks-napi. "Di Tokyo ada lima puluh ribu orang yang jadi sukarelawan," ujarnya. Agaknya ada lowongan baru, tapi tentunya tanpa gaji untuk itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus