BERBICARA soal PSSI adalah berbicara soal malu. Di babak penyisihan Sub-Grup C Pra-Piala Dunia yang baru saja berakhir di Singapura, tim nasional ini memang terhindar dari kedudukan juru kunci. Ada kesebelasan Vietnam yang ''bersedia'' jadi korban. Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Azwar Anas mengambil alih tanggung jawab kegagalan ini karena target awalnya adalah runner-up. ''Tak perlu mencari kambing hitam,'' katanya. Pelatih kepala Ivan Toplak, yang namanya cukup disegani di kalangan organisasi sepak bola internasional (FIFA), ternyata juga tidak bisa mendongkrak PSSI walaupun kesebelasan ini pernah dibawanya berlatih ke Yunani. Secara terus terang, Toplak, yang didampingi tiga asisten pelatih (Sartono, Soetjipto Soentoro, dan Benny Dollo), mengungkapkan bahwa kemampuan fisik pemain PSSI memang sangat minim. Mereka hanya mampu bermain 35 menit pertama, dan setelah itu kedodoran. Pemimpin proyek Pra-Piala Dunia (PPD), Andi Darussalam Tabusala, sependapat dengan Toplak. ''Kekalahan kita disebabkan lemahnya fisik pemain,'' kata Andi. Indikasi ini muncul dari gol-gol yang disarangkan ke gawang PSSI yang dikawal Eddy Harto. Pada putaran pertama, PSSI sudah dihajar 3-1 oleh Qatar, keok 4-0 dari Korea Utara, dan kalah 2- 0 dari Singapura. Bahkan, melawan kesebelasan Vietnam, yang selama ini tak diperhitungkan, PSSI menyerah 1-0 di putaran kedua menang 2-1. Prestasi ini cukup jeblok dibandingkan dengan tim PPD 1985. Waktu itu, PSSI muncul sebagai juara Sub-Grup C Zone Asia Pasifik. Sejak awal, urusan fisik kurang diperhatikan pelatih, padahal ini faktor penting. Dari tiga asisten pelatih Toplak, tak seorang pun yang berkualifikasi sebagai pelatih fisik. Padahal, ketidaksiapan fisik pemain PSSI asuhan Toplak ini sudah diketahui sejak awal. Dokter tim, James Tangkudung, yang mendampingi tim menjelang uji coba ke Yunani pertengahan Maret lalu, sudah memperingatkan soal kelemahan fisik tersebut. Tapi Toplak tampaknya lebih asyik memoles kerja sama tim. James, yang berpengalaman menangani fisik atlet renang ke SEA Games 1991 dan atlet bulutangkis ke Olimpiade Barcelona, mendasarkan pernyataannya pada tes asam laktat terhadap para pemain menjelang kompetisi. Hasil tes menyebutkan bahwa hampir semua kadar asam laktat pemain PSSI di bawah kadar ideal. Padahal, ''Asam laktat itu merupakan bensin dalam tubuh,'' ujarnya. Seorang atlet idealnya harus mencapai angka 4 milimol (satuan pengukur kadar asam laktat) per 1 liter darah. Standar ini tak bisa ditawar lagi: tak bisa lebih dan tak bisa kurang. Nah, kadar asam laktat yang dimiliki tim PSSI itu, menurut Tangkudung, ''Tak satu pun yang memenuhi kadar ideal tersebut.'' Ada yang cuma 1 milimol, ada pula yang mencapai 6 milimol. Masalah fisik adalah masalah yang kronis. Kita lihat juga bagaimana persiapan tim PSSI PPD tahun 1981. Waktu itu, PSSI merekrut pelari Lelyana Tjandrawijaya untuk menggenjot stamina pemain. Napas dilatih agar panjang, mampu berlari cepat, dan tak lupa pula faktor kegesitan. Bagaimana hasilnya? Ternyata tetap saja kedodoran. Bertarung dengan kesebelasan Fiji saja, yang sebagian besar pemainnya pecandu minuman keras, PSSI tetap keok. Kini tim PSSI mengonsentrasikan diri ke SEA Games, Juni mendatang. Untuk itu, sepulangnya dari Singapura, Senin pekan ini, mereka diliburkan seminggu. Setelah itu, kembali berlatih. Porsi latihan fisik bakal ditingkatkan. ''Program baru telah disusun,'' kata Andi. Pemusatan pelatihan bakal dilakukan di Cimahi atau di Carita, Banten. PSSI akan menggunakan jasa bekas kiper nasional Harry Tjong untuk menangani fisik pemain. Pokoknya, 80 persen (empat jam per hari) mereka akan berlatih fisik. PSSI juga memanggil 10 pemain baru, antara lain Elly Edris dan Jaya Hartono. Pemain kawakan yang sempat mengantar Indonesia menjadi juara Sub-Grup C di PPD 8 tahun silam, Herry Kiswanto, juga dipanggil. ''Dia kami perlukan untuk menjadi jenderal di lapangan,'' kata Andi. Di mata Sinyo Aliandoe, pelatih yang sukses mengantar PSSI menjadi juara Sub-Grup C PPD 1985, kegagalan kali ini bukan semata-mata disebabkan lemahnya fisik pemain. Ia lebih cenderung melihat kegagalan itu karena kerja sama pemain belakang sangat keropos. ''Kalau kerja sama itu tidak dilatih, kita tidak mungkin membuat tim lebih baik,'' katanya. Argumentasi Sinyo ini cukup masuk akal. Sebab, inti pemain tim PPD ini diambil dari Galatama, yang mempunyai jadwal kompetisi padat. ''Kalau inti pemain kita dari perserikatan, alasan lemahnya fisik bisa dimengerti,'' katanya. Persiapan pembentukan tim yang relatif singkat juga menjadi sorotannya. Tahun 1985 ia mempersiapkan timnya selama satu tahun, tapi kini cuma sekitar tiga minggu. Jadi, walaupun ''tim Sinyo'' tanpa pelatih fisik, mereka melakukan circuit training. Dengan cara memperkecil interval (waktu istirahat dari satu latihan ke latihan lainnya), ''Saya bisa meningkatkan fisik dan stamina pemain,'' tambahnya. Adakah tambahan pemain baru bisa menjadi obat? Sinyo ragu. ''Sebaiknya PSSI tak usah melakukan perombakan materi pemain. Perombakan itu malah bisa membuat kerja sama tim kacau lagi,'' katanya dengan keras. Andi Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini