SEPULUH meter di atas air, tubuhnya yang semampai diam sejenak.
Ia berdoa. Ia takut celaka seperti rekannya, Harli Ramayani,
yang sendi siku kirinya mencuat. Alhamdulillah sampai loncatan
terakhir di kolam renang University of Life, Manila, keadaannya
mulus saja. Dan Siantiningsih, 21 tahun, mendapat dua medali
emas, dari nomor papan dan menara.
Dua emas lagi dikumpulkan oleh Eko Setiawan (menara) dan Permana
Kristen (papan). Jadi Indonesi menyapu bersih semua empat emas
yang diperebutkan dalam loncat indah SEA Games 1981-naik dari
tiga emas yang diperoleh Indonesia dua tahun sebelumnya.
Semula Siantiningsih paling takut di antara peloncat indah yang
ada. "Rasanya ngeri, serem. Saya selalu pegangan, tubuh kayak
mau jatuh," kata Siantiningsih, mahasiswi IKIP Jakarta, jurusan
Pendidikan Olahraga & Kesehatan tingkat III. Dua minggu
menjelang PON X (September) barulah ia merasa mantap meloncat
dari menara setinggi 10 m itu.
Ia masuk kolam renang agak terlambat, ketika umur 13 tahun.
Adalah pelatihnya dari klub Tri Cakti Semesta, Oie almarhum,
yang meminta ia pindah ke loncat indah. Ketika meninggalkan
Semarang tahun 1977, ia sudah mampu salto kontra, salto belakang
dan ke depan satu setengah kali. Dan ia diterima di SMA Ragunan.
Di Jakarta, ia dilatih Mochtar Yasin yang tegas dan disiplin.
Kedisiplinan itulah yang membuatnya mampu salto kontra, salto ke
dalam, ke belakang dan ke depan dua setengah kali. Ia juga sudah
bisa sekrup (memuur badan). Berlatih 6 jam sehari, pagi sore.
Cedera pun sudah dialaminya.
Apa komentar pelatihnya? "Siantiningsih tak sebagus dan seberani
Harli," kata Yasin. Harli, jika tak mengalami kecelakaan pada
loncatan ke-5, diduga pada nomor menara bisa menggondol emas.
"Saya masih mau loncat," kata Harli. Cedera itu sudah biasa
baginya. Menjelang PON lalu tangan kanannya juga perlu dirawat
dokter. Tapi kali ini agak berat.
Rencana Yasin setelah SEA Games ialah setiap peloncat akan
digembleng pada nomor papan dan menara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini