Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Setelah lonceng gereja berbunyi

Pengalaman koster-koster penjaga katedral di malang, jakarta, medan dan bandung. mereka adalah yosep paen, 49, mohamad yosep marcelus, 40, albert, 42, dan am basuki, 54 tahun.

26 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI pagi buta hari Minggu itu, pukul 04.30, Yosep sudah berdiri di depan pintu katedral Malang. Dan beberapa saat kemudian, separuh kota pun terbangun oleh suara lonceng gereja, memanggil-manggil para jemaat untuk melakukan misa pagi. Tapi sebelum para umat datang, Yo sep Paen, 49 tahun, sibuk. Sebagai koster, penjaga katedral, ia harus membersihkan seluruh ruang sembahyang mengepel lantai, menyapu bangku-bangku jemaat, membersihkan altar. Setelah menyalakan lilin, ia pun harus menyediakan pakaian misa bagi pastor. Walaupun misa hanya berlangsung tiap Sabtu (sore) dan Minggu, atau harihari besar tertentu, Yosep tetap harus bekerja setiap hari. Tugasnya, jika tidak membersihkan bagian dalam katedral tentulah mengurus halaman atau membetulkan bagian-bagian rumah Tuhan itu jika ada yang rusak. Bahkan setiap Sabtu dan Minggu, yaitu sesudah misa sore, laki-laki kelahiran Larantuka, Flores, itu meninggal kan katedral di Jalan Ijen Malang itu, rata-rata pukul 21.00. "Sehabis misa ruang katedral selalu sangat kotor, lebih-lebih jika banyak anak-anak," ungkap Yosep. Paus Puncak kesibukan koster itu tentu saja pada hari-hari menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru--seperti sekarang. Dengan ditemani seorang pembantu, ia harus membersihkan seluruh tubuh katedral, luar dalam. Bahkan kalau perlu mengecat. Adalah tugasnya pula menghias seluruh ruangan katedral, termasuk memasang lampu-lampu baru. "Tapi saya senang, malahan bangga," ungkap Yosep yang telah 27 tahun menjadi koster. Ayah dari enam orang anak ini bekerja sebagai koster dengan kisah sendiri. Suatu hari, ketika ia berusia 22 tahun ibunya menghendaki Yosep menikah dengan gadis yang tak ia senangi. Ia menolak karena telah mempunyai pacar. Ketika ibunya tetap mendesak, Yosep pun naik darah. Tak sadar ia mengambil gelas dan melemparkannya ke arah sang ibu. Lengan wanita itu luka. Didorong oleh rasa sesal yang amat dalam, tanpa minta pamit kepada siapa pun, Yosep diam-diam menaiki kapal Watodampo sebaai penumpang gelap menuju P. Jawa. Ia memilih menetap di Kota Malang. Tapi rasa sesal tetap menghantuinya. Karena itu suatu sore ia melakukan sakramen pengakuan dosa di hadapan pastor di katedral Malang. Rupanya pastor Saveth di gereja itu terkesan pada laki-laki dari Larantuka tadi. Seminggu kemudian Yosep telah mulai bekerja sebagai koster di sana. "Seperti terpanggil oleh Tuhan, saya menyediakan diri mengabdi pada gereja," ungkap Yosep mengenang saat ia mulai bekerja 27 tahun lalu. Sebagai penjaga katedral, tiap bulan ia menerima gaji Rp 57.000. Yosep merasa penghasilan itu cukup memadai. Lebih-lebih lagi karena sejak 11 tahun lalu ia mendapat penghasilan tambahan. Yaitu membuat 3000 batang lilin untuk keperluan gereja tiap bulan. Untuk itu ia memperoleh Rp 25.000 per bulan. "Kan kalau ditambah dengan gaji, jadi lumayan," kata Yosep pula. Di katedral Jalan Lapangan Banteng Utara, Jakarta, Mohamad Yosep Marcelus, 40 tahun, sering bersedih hati. "Karena para jemaat tidak turut menjaga kebersihan ereja," katanya. Menurutnya mengandalkan kebersihan gereja kepada koster. "Tapi hendaknya mereka tak sewenang-wenang membuang sampah di rumah Tuhan," kata Mohamad lagi. Mohamad yang telah 20 tahun menjadi koster tinggal di dalam kompleks gereja. Dengan dibantu 10 orang anak buah, ia bertanggungjawab akan kerapian dan keamanan katedral yang dibangun pada awal abad ke-20 itu. Ia juga mengatur meja altar, termasuk semua perabot seperti: tempat lilin, jambangan bunga, salib, perlengkapan pengeras suara. Menjelang Natal dan Tahun Baru, Mohamad dkk. sudah bersiap-siap dari jauh hari. Selain menghias katedral, mereka harus menyiapkan latihan paduan suara, tablo dan misdnar (pengiring pastor dalam beribadat). Berbagai latihan itu kadang sampai jauh malam. Pengalaman Mohamad yang tak mungkin ia lupakan adalah ketika ia sempat bersalaman dan mencium tangan Paus Paulus VI yang berkunjung ke Jakarta pada tahun 1970. Juga ia pernah melihat dari dekat Presiden Filipina, Ferdinand Marcos dan Nyonya ketika tamu dari luar negeri itu beribadat di katedral. Sebagai koster, Mohamad juga menjadi tukang pangkas rambut beberapa pastor. "Saya juga mencukur Uskup Agung Mgr. Leo Sukoto," katanya bangga. Sebagai penjaga gereja, sebulan Mohamad bergaji Rp 100.000. Dengan uang ini ia juga harus membayar sewa rumah yang ditempati keluarganya sebesar 10% dari gaji. Laki-laki yang lahir dari keluarga muslim ini menuturkan pengalaman-pengalaman pahitnya. Misalnya, ia tak pernah sempat bersantai bersama laki-laki kelahiran Muntilan (Jawa Tengah) ia, semestinya para jemaat tak hanya keluarga di hari Minggu. Tapi juga katanya, ia harus sering menahan hati menghadapi beberapa pastor yang cerewet. "Sebab mereka juga manusia biasa," katanya kalem. Cita-cita Mohamad, kalau bisa di kemudian hari salah seorang dari empat anaknya ada yang jadi pastor. Bagi Albert, 42 tahun, koster di Gereja Katedral Jalan Pemuda Medan, menjelang perayaan Natal merupakan sesuatu yang menggembirakan. Karena seperti tabun-tahun yang lalu, ia akan mendapatkan hadiah berupa uang dan pakaian. Albert tidak mau menyebutkan jumlahnya. "Di hari mulia itu lonceng gereja akan saya pukul berulang-ulang," kata ayah dari seorang anak itu dengan wajah berseri-seri. Dengan pengalaman bekerja 14 tahun, sekarang Albert sebulan menerima gaji Rp 40.000. Tiap bulan penghasilan itu dipotong gereja Rp 2.000, sebagai simpanan hari tua. Dengan pendapatan itu, ia selalu merasa gembira. "Karena saya tak punya rencana yang muluk-muluk," tutur laki-laki kelahiran Semarang itu. Sebagai koster Alexander Matius Basuki, 54 tahun, tidak hanya mengurus Gereja Santo Petrus Bandung. Dia juga mengurus para gelandangan dan narapidana yang baru bebas dari tembok lembaga pemasyarakatan: mengurus hidup mereka dan mencarikan pekerjaan bagi mereka. "Pekerjaan kami seperti jawatan sosial saja," tambah Basuki yang pernah menjadi anggota DPRGR-RI. Bagi Basuki menjadi karyawan gereja berarti harus senang bekerja secara campur aduk. Mulai dari mengepel lantai sampai jadi lawan diskusi bagi para pastor. "Saya senang, sebab pekerjaan itu merupakan panggilan rohani," jawab ayah dari delapan orang anak ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus