Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Suara Dua Angkatan

Beberapa pemain PSSI memberikan suaranya mengenai Galatama. Pemain dapat hidup dari bola, bisa mengembangkan bakat dan prestasi. Ada yang dapat 1/4 juta rupiah untuk satu gol. (or)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RONNY Pasla muncul kembali di gawang Indonesia Muda Galatama. Ia berusaha keras mengubur dalam-dalam peristiwa penyogokan yang mengakibatkan dia menggantung sepatu bola hampir 7 bulan. "Sudahlah, jangan ungkit-ungkit kejadian yang lalu," katanya dengan nada menyesal. "Kita mulai saja babak baru dengan Galatama." Ada suasana baru dalam kompetisi Galatama yang dia rasakan. "Dalam permainan faktor disiplin kini menonjol," kata kiper nasional yang berusia 31 tahun ini. "Misalnya, taat pada keputusan wasit, meski keputusan itu bertentangan dengan pendapat publik." Di samping itu ayah dari 3 orang anak itu mengingatkan juga faktor pribadi seorang pemain Galatama. "Ia langsung tersangkut dengan kesebelasannya yang sedang bertanding. Jika ia dikeluarkan wasit, bisa terjadi pemotongan gaji. Dan jika klubnya kalah karena perbuatan tercela itu, bisa mengurangi popularitas para penggemarnya." Tumbuhnya tanggungjawab semacam ini menurut Ronny mulai terlihat sekalipun pada langkah awal Galatama. Oleh karena itu ia berharap, pimpinan PSSI harus menimpali dengan program yang mantap juga. Apa itu? "Misalnya kalau sekali program kompetisi sudah dijadwalkan, janganlah dirubah di tengah jalan." la melihat juga masalah transfer pemain dari luar negeri sebagai gejala yang baik bagi persepakbolaan nasional. "Kalau ada pengertian transfer teknologi di bidang lain, mengapa tidak boleh berlaku transfer ketrampilan di bidang sepakbola?" tanya Ronny. "Kita dapat belajar dan menyesuaikan diri dengan cara si bule itu bermain bola. Dalam benturan badan kita perlu membiasakan diri bertabrakan dengan standard fisik mereka. " ISWADI IDRIS berulangtahun ke-31 pada tanggal 18 Maret 1979. Itulah sebabnya kemenangan Jayakarta dalam pertandingan pembukaan lawan Warna Agung 2-0 sehari sebelumnya, "merupakan hadiah ulang tahun yang berharga bagi saya," seperti ucap bintang Jayakarta itu. Iswadi ayah dari seorang anak, bukan orang baru bagi sepakbola bayaran. Pemain kelahiran Aceh ini pernah dikontrak klub Western Suburb Australia. Klub ini masih berstatus semi-prof. Tapi dari penghasilan dua musim sepakbola di negeri Kangaroo itu -- dari Maret s/d Oktober 1974 dan Maret s/d Oktober 1975 -- Iswadi mengaku "cukup untuk membeli rumah yang saya tempati sekarang." Rumah itu di kompleks perumahan Cipinang Kebembem Jakarta Timur. Iswadi kini dianggap orang kedua di Jayakarta setelah drs Frans Hutasoit, Ketua Ps Jayakarta. Ia ikut menentukan roda organisasi dan permainan di lapang an. Statusnya karyawan di Niac Jaya. Ia tidak mau menerangkan berapa honor yang dia terima dari Jayakarta maupun dari Niac Jaya. Tapi katanya: "yang jelas ada bedanya antara dulu dan sekarang." Barangkali hanya Iswadilah satu-satunya pemain di Indonesia yang merangkap pelatih dan membantu kelancaran organisasi perkumpulan sekaligus. Tentang masa depan Galatama, pemain yang terkenal pandai mendribel bola sambil menggecak tulang kering lawan, tampak masih diliputi ketidak pastian. "Pertama," katanya, "klub profesional memerlukan penanganan yang berpengalaman. Pengalan an ini belum kita miliki. Kedua, tergantung dari jumlah penonton. Dapatkah dalam jangka panjang klub-klub membangkitkan fanatisme suporter mereka? Dalam jangka pendek nasib mereka meman telah ketahuan. Ketga, tergantung juga dari dedikasi pemain dan pengurus." Iswadi berlatih lebih kurang 4 jam setiap hari. Apakah dengan Galatam. sepakbola nasional akan lebih baik mlltunya? "Saya belum bisa menilai itu," katanya, "kita baru bisa menilainya nanti kalau PSSI bertanding." ABDUL KADIR, si Kancil ini menentukan kemenangan Arseto atas Pardedetex 3-2. Dua gol lahir dari sodokannya. Ia termasuk veteran yang sudah 3 tahun ini menjalankan MPP: Masih disebut-sebut orang, tapi tidak pernah dipakai dalam tim nasional. Riwayat bergabungnya Kadir di klub Arseto singkat saja. "Sebelum ada Gala tama saya memang sudah sering diajak Mas Sigit main di kesebelasannya," kata Kadir yang pada waktu itu masih kiri luar Ps Assyabaab, Surabaya. Dan ajakan putera Presiden Suharto itu bukan tidak mengandung rejeki dan janji. Ia diberi jaminan kesejahteraan yang lebih baik, meski jumlahnya berapa masih tinggal rahasia. Ia juga dijanjikan untuk diberi kesempatan belajar sepakbola di London. Satu bekal yang kelak sangat berguna apabila ia tak kuat lagi menendang bola. Lebih-lebih setiap terjadi gol kemenangan Arseto memberi perangsang Rp 1,5 juta yang dibagikan di antara anggota kesebelasan. Dengan kondisi itu ia kini berani memastikan hari depannya. Ia akan menikah, paling lambat bulan Juni ini. "Lamaran saya diterima tepat pada tanggal 17 Maret yang baru lalu," kata Kadir. "Gadis itu Lisa namanya. Penggemar saya juga." Mengomentari kehadiran Galatama tak ragu si Kancil menilai sebagai "satu langkah yang bagus sekali bagi kemajuan sepakbola Indonesia." Di situlah ia merasa "setiap bakat bisa sip berkembang." "Nanti," tambahnya, "bukan hanya artis penyanyi dan bintang film saja yang bisa hidup enak, pemain bola pun bisa kaya." Pemain yang pernah dicarter McKinnon Hongkong ini tidak melihat sepak terjang Galatama sebagai lonceng kematian bagi sepakbola amatir. "Mereka bisa lebih giat mencari bibit-bibit baru untuk ditransfer ke klub Galatama. Ini sumber keuangan juga bagi mereka." Dan yang lebih penting dari itu semua adalah pengakuan Kadir, bahwa "adanya bayaran dari klub dapat menghilangkan kebiasaan untuk menerima uang suap." Seperti juga Iswadi yang nm.lai berumur, kini Kadir harus mencurahkan waktu selama 4 jam setiap hari untuk menjaga kondisi. "Manfaatnya kan bisa dirasakan PSSI." JOHN LESNUSA 26 tahun, termasuk angkatan muda. Dari Warna Agung ia pindah ke Pardedetex. "Sekedar untuk mencari pengalaman ingin tahu hidup di Medan itu bagaimana," ujarnya. Apa arti Galatama bagi John? "Sekarang pemain bisa hidup dari bola, tapi ia dituntut untuk tetap berprestasi," kata John sadar. Tapi ketika disodorkan pertanyaan akan masa depannya, John kontan mati langkah. "Saya belum punya gambaran pada hari tua saya," katanya. Yang jelas, bekas pencetak gol Persija ini tidak lagi pusing memikirkan periuk nasinya lagi. "Konsentrasi saya hanya pada bola. Latihan 6 kali 6 jam dalam seminggunya, pagi dan sore," katanya lagi. Tampaknya itulah resep yang terbaik buat dia. Sebab, namanya naik kepuncak dengan mendadak. Pada Turnamen Piala Fatahillah (Persija, PSMS dan Persebaya) di Stadion Senayan, 16 Oktober tahun lalu, ia membobolkan gawang PSMS 3 kali dan menentukan kemenangan dengan skor 3-2. Tapi dalam dua kali pertandingan Galatama untuk Pardedetex di Senayan dan Bogor, pemain asal Maluku ini pamornya turun. Ia sama sekali tidak cemerlang. Mungkin itu sebabnya TD Pardede mengirim kawat kilat kepada dua pemain carteran dari Inggeris Paul Smythe dan Steve Tombs untuk memperkuat timnya. Dan Lesnusa bisa kehilangan pasaran. ZULHAM EFFENDI, asli anak Medan, lahir 23 tahun yang lalu. Ia pertama mengenal sepakbola di PS Medan Utara, yang diakuinya sebagai tempat belajar menendang bola. Tahun 1974 ia lulus dari STM jurusan listerik dan langsung bekerja di Pertamina. Tahun itu juga ia pindah ke PS Tirtana di (klub PAM Kota Medan). Tahun 1975 ia dikirim Pertamina ke Bandung belajar masalah angkutan. Di Bandung ini ia memperkuat PS Setia dan terpilih sebagai pemain Persib yang berhasil masuk babak final kompetisi PSSI 1975-1977. Tahun 1976 ia memperkuat PSSI junior ke Bangkok mengikuti turnamen Piala Asia. Kembali ke Medan Zulham bergabung lagi dengan Tirtanadi. Pada awal 1979 bintangnya mulai naik. Ia dipanggil memperkuat PSSI Utama. Sekembali dari Jakarta, ia langsung disambar TD Pardede. Di klub Pardedetex ia harus latihan 6 jam sehari, sehingga tidak mungkin ia merangkap pekerjaan di Pertamina. Tentang Galatama komentarnya bercabang. "Jangka pendek n..mang kesejahteraan pemain lebih terjamin, tapi untuk jangka panjang saya sendiri belum bisa ramalkan," katanya. Itulah sebabnya Zulham memilih klub Pardeletex yang berdomisili di kampung halamannya. MARSELY TAMBAYONG, poros halang Warna Agung ini lahir di Jambi 2 Mei 1958. 4 tahun yang lalu ia masih terdaftar sebagai pemain POPSI Medan. Tahun 1976 dipilih mengikuti Diklat PSSI Muda di Salatiga. Menanggapi adanya Galatama, Marscly dengan pasti mengatakan: "Saya jadi lebih yakin bisa hidup dari sepakbola." Itu mungkin karena ia dibebaskan dari tugas karyawan di WA. Sehingga kerjanya hanya main bola latihan setiap hari 3 jam pagi, 3 jam sore. Jarang ada pemain yang mau berterus terang seperti Marscly. "Gaji saya di WA sebulan Rp 75 ribu, namun dalam waktu dekat ini akan lebih besar," katanya. Itu gaji bersih. Rumahnya dikonrakkan oleh perusahan yang juga menanggung jaminan kesehatan keluarga Marsely (seorang isteri dan seorang anak yang masih 6 bulan). Stopper yang langsing tapi kokoh ahli melihat masa depan dengan pasti. "Kalau tak mampu main lagi, perusahaan akan menampung kami sebagai karyawan" katanya. Kini setiap kali bertandlng semua pemain W memperoleh semacam komisi. Jumlahnya tergantung dari hasil klub. Dalam pertandingan WA lawan Jayakarta yang baru lalu, ia kebagian Rp 30.000. Itulah sebabnya berbagai tawaran yang menggoda Marsely meninggalkan WA tak sampai berhasil. "Masa depan saya jelas di sini," kata Marsely .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus