Kadir Yusuf, Ketua Komisi Galatama PSSI, pekan lalu
mengajukan permintaan berhenti dari jabatan tersebut.
Alasannya ia sudah tua, 67 tahun. Tapi tampaknya ia lebih
menyukui ikut membina Galatama dari luar, lewat tulisan. Atas
permintaan TEMPO, ia menurunkan tulisan berikut.
KOOMPETISI Galatama diresmikan pada tanggal 17 dan 18
Maret yang lalu di Stadion Utama Senayan. Setiap malamnya
langsung dua pertandingan. Malam pertama menurut ukuran klub,
menarik perhatian cukup besar. Sekitar 3540 ribu penonton hadir.
Agak di luar dugaan.
Pada pertandingan malam kedua jauh berkurang. Namun dalam
pertandingan Tunas Inti-Niac Mitra di Menteng dan Perkesa 78
Pardedetex di Bogor jumlahnya lumayan besar. Sekitar 15.000. Ini
menandakan Galatama mempunyai hari depan yang cukup cerah.
Lebih-lebih sebagian besar penonton merasa puas dengan permainan
yang mereka sajikan.
Kini yang penting bagaimana menjalin kerjasama yang erat di
antara para pemain, pelatth, pengurus klub dan pengurus PSSI.
Untuk apa? Tentu saja untuk menjadikan Galatama unsur penyokong
peningkatan mutu sepakbola nasional. Dan juga untuk menarik
minat penonton. Agar dengan demikian klub-klub Galatama dapat
menjamin kelangsungan hidupnya.
Merasa Kecewa
Penonton memang faktor menentukan. Mereka perlu dirangsang
dengan peragaan permainan yang bermutu. Ini makan waktu.
Karenanya, sebelum mutu dapat ditingkatkan Galatama harus dapat
memberi kompensasi dalam bentuk permainan yang bersemangat,
penuh tekad, daya-tahan yang baik dan tidak jorok. Contohnya:
Pertandingan Arseto-Pardedetex, Perkesa 78-Sari Bumi Raya,
Indonesia Muda-Niac Mitra, Tunas Inti-Niac Mitra. Pun Cahaya
Kita-Sari Bumi Raya. Sedang pertandingan Warna Agung- Jayakarta
saya nilai kurang memuaskan sebagai tontonan, walaupun pemain
kedua klub menghimpun banyak pemain top. Warna Agung bermain
lamban, tanpa kejutan dan banyak menunjukkan permainan
perorangan yang tidak efektif.
Di samping faktor teknis permainan itu faktor servis dan
lingkungan ikut mempengaruhi penonton. Penonton harus dibikin
betah seperti menyaksikan di rumah sendiri. Harus diperketat
pengamanan di dalam dan di luar lapangan dari kericuhan yang
bisa mengurangi niat penonton menjadi langganan tetap Galatama.
Tempat duduk juga harus bersih. Dan jika memilih stadion tempat
bertanding, carilah yang mudah ditempuh dengan fasilitas
parkirnya. Sekali-sekali perlu juga ditampilkan muka baru oleh
kesebelasan yang bertanding.
Sayang sekali kabarnya beberapa stadion mendadak memasang tarif
mahal khusus untuk Galatama. Sehingga beberapa Klub terpaksa
mencari lapangan lain. Pertandingan sepakbola sebagai rekreasi
pasif amat besar artinya bagi daerah yang bersangkutan, terutama
daerah industri. Ini merugikan masyarakat setempat: pedagang
kecil, tukang parkir, tukang becak, buruh pabrik dan lain
sebagainya.
Jika kita lihat ada negara yang kotaprajanya mensponsori klub
sepakbola prof untuk maksud tersebut, urungnya suatu
pertandingan semata-mata karena tarif sewa lapangan yang tak
terbayar, sungguh patut disayangkan. Seingat saya, di Jerman
Barat yang sudah maju. hanya dua klub saja dari sekian hanyak
klub Bundesliga yang memiliki stadion sendiri.
Hal lain yang memprihatinkan: jumlalI karcis yang terjual tak
sesuai dengan jumlah penonton yang hadir. Arseto misalnya,
merasa kecewa dengan hasil yang hanya Rp 20 juta lebih untuk dua
hari pertandingan. Pada hal jumlah penonton diperkirakan 35-40
ribu, harga karcis VIP Barat Rp. 5.000. Demikian juga dengan
Niac Mitra yang bertanding di Stadion Menteng lawan Tunas Inti.
Penonton hampir memenuhi stadion tapi karcis yang terjual tidak
sampai 3.000 lembar. Jika mati-hidupnya suatu klub Galatama
digantungkan pada hasil karcis, dapat dibayangkan betapa
gelisahnya klub tersebut.
Gelanggang Eksperimen
Hari-hari awal kompetisi Galatauna membesarkan hati. Sepakbola
merupakan tontonan paling populer bagi 130 juta penduduk
Indonesia. Saya kira seandainya nanti penjualan karcis sudah
agak memadai jumlah penonton, masih ada faktor lain yang pernah
dikemukakan Joop Niezen, pemimpin redaksi Voetbal International,
yang patut-kita perhatika. Begini:
"Segala macam adegan ketrampilan yang memukau dapat diperagakan
dalam suatu pertandingan. Selama 2 x 45 menit bisa terjadi
peristiwa-peristiwa yang unik. Pendeknya disuguhkan hal-hal yang
membikin penonton keranjingan. Tapi ingat, jika sampai ada
perkumpulan yang bangkrut, jangan ampai sepakbola itu sendiri
yang disalahkan. Yang salah adalah mereka yang terlibat dalam
pemlainan itu sendili para pemain, pelatih, pengurus, penonton
dan sebagainya.
Ketika sepakbola bayaran di negeri Belanda dimulai pada tahun
1954, keadaannya sangat memberi harapan. Produk yang
diperlihatkan mengalami banyak kemajuan. Sukses besar. Tapi
belum terpikir, itu semua tidak lagi menjamin stadion akan
tetap dikunjungi penonton. Masyarakat di tahun 1970 telah
berubah. Mereka dibujuk berbagai ragam hiburan. Terlalu naif,
jika orang hanya mengharapkan kunjungan penonton tanpa berusaha
menjual dan mencari langganan. Dengan mutu terbaik tentunya.
Itu sekedar sentilan bagi Galatama yang baru mengawali
kegiatannya Di lain pihak yang tak kurang pentingnya adalah
peran panitia wasit. Ia dituntut juga untuk tidak memperlakukan
kompetisi Galatama sebagai gelanggang eksperimen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini