Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Petani Garam, Melata Di Lumpur Nasib

Beberapa petani garam di Purwodadi, Ja-tim & di Indramayu, Ja-Bar mengeluh dengan penghasilan mereka yang rendah menjual garam ke koperasi selalu dipotong/koperasinya bangkrut. Harga ditentukan oleh pedagang. (sd)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA musim kemarau, garam gampang dibuat. Tapi harganya jadi merosot. Di musim hujan, untuk membuat air mengkristal jadi garam dibutuhkan waktu sampai setengah bulan. Toh harganya tidak melonjak. Maklum orang makan garam tidak sebanyak mengisap rokok. Inilah agaknya inti pokok penderitaan para petani garam yang rata-rata berpenghasilan Rp 100 sehari di daerah Kuwu, Kabupaten Purwodadi (Jawa Timur). Ada 22 kepala keluarga di Dukuh Jagan Kelurahan Kuwu (Kecamatan Kradenan) yang sudah jadi petani garam sejak zaman nenek moyang mereka. Di Kuwu ada dataran lumpur yang mirip danau. Di tengah-tengahnya terdapat kawah yang setiap 3-5 detik meletup ke atas menyemburkan lumpur panas setinggi 3-5 meter. Lumpur yang menyembur dengan suara "bluk" itu merayap dan kemudian mengeras setelah 100 meter dari pusat letupan. Di tanah itulah penduduk membuat sumur. Ternyata airnya asin. Lalu seluruh kampung ramai-ramai jadi petani garam. Koperasi Garam Tersebutlah Martorejo petani gaek berusia 75 tahun yang membuat garam dengan belahan bambu. Ia bekerja sama dengan isterinya. Kalau matahari mencorong 4 hari terus menerus, barulah air menjadi garam. Lalu ia mendapat 2 pikul yang akhirnya hanya menghasilkan Rp 400. Edan memang. Martorejo bukan tidak kepingin merubah nasib. Tapi baru saja ia menolak kredit Rp 45 ribu dari petugas Kecamatan Kradean. Kenapa? "Habis pinjamannya diwujudkan dengan bambu, sedang uangnya hanya lima ribu. Kalau berupa uang semua akan saya terima," kata orang tua itu kepada Metese Mulyono dari TEMPO. Nadanya setengah mengadu. Pak Radi, rekan kakek itu, juga ikut menolak. Bambu bukan keperluan yang mendesak. Belahan bambu yang dipakai untuk mengendapkan air, sesudah 5-7 tahun, baru memerlukan ganti. Jadi memang bijaksanana menolak. Sementara itu tidak ada kemungkinn lain untuk merubah nasib. Jadi hidup mereka tetap saja lata. O ya memang ada di desanya Koperasi Garam. Namun menjual garam lewat koperasi berarti menyerahkan diri untuk dipotong-potong. Walhasil, semua petani garam Kuwu' memasarkan barangnya langsung ke pasar. Di wilayah Desa Erotan, Kecamatan Kandanghaut, Indramayu (Jawa Barat) orang jadi petani garam juga karena bimbingan alam. Daerah itu tandus usaha. Mereka terjepit antara jalan JakartaCirebon dengan pantai laut Jawa. Sebelas ribu penduduk dengan 4200 KK menggantungkan hidup sebagai "buruh tani", "buruh nelayan" dan "buruh garam". Tidak seperti masyarakat Kuwu, garam itu tidak mereka miliki sendiri, namun hasilnya hampir sama. Satu hari rata-rata Rp 400, kotor. Gabuk, ,70 tahun, adalah buruh garam yang tcrmasuk kelas perintis. Pada zaman Belanda belum ada penduduk yang membuat garam karena ada larangan dari Belanda. Waktu itu hanya Madura yang diizinkan bikin garam. Kalau ada penduduk Eretan yang mencoba, pasti ditangkap. Sekarang ada tanah milik negara yang bisa disewa dengan setoran berupa 5 ton garam untuk semusim kerja yang lamanya 8 bulan. Usaha ini lahir sekitar 15 tahun yang lalu. Gabuk yang merintis jalannya. Garam Diperlukan Gabuk bersama isterinya Tarpen (56 tahun) sebenarnya berasal dari Kampung Jangga, Losarang Kabupaten Cirebon. Mula-mula karena menganggur Gabuk main mata dengan laut. Terbit inspirasi untuk membuat garam. "Kerja itu kan abadi. Karena sepandai apapun tukang masak, makanan tak bakal nikmat kalau tak pakai garam. Ringkasnya, garam diperlukan selama manusia perlu makan," kata Gabuk kepadakawannya bernama Tasiman. Kebetulan ada rekan bernama Mustafa yang punya modal. Uang dikeluarkan dan Gabuk bersama Tasiman menjadi buruhnya. Sekarang usaha macam itu meluas. Tak kurang dari 150 hektar tanah di tepi laut menjadi ladang garam. Lebarnya 700 meter, memanjang menurut bibir pantai. Setiap satu hektar dikerjakan oleh 6 orang buruh. Ladang ladang itu merubah air laut jadi kristalkristal garam dalam tempo setengah bulan. Dalam minggu pertama Gabuk membenahi lumpur pantai menjadi petak petak. Setiap satu hektar jadi lima puluh petak. Kemudian lubang digali, saluran air dikerjakan, airpun masuk tambak. Di samping itu disiapkan juga tempat yang keras untuk menimbun kristal-kristal tersebut kalau rampung. "Kerjanya setengah mati," kata seorang petani bernama Tarjani. Setiap hari air di petak yang satu dipindahkan ke petak lain. Setiap hari pula kadar garamnya akap bertambah. Kalau hari kedua bisa sampai 3 atau 4, pada hari keempat kadarnya bisa mencapai 18. Setelah delapan hari akan tampak kristal-kristal putih. Demikianlah air laut tersulap menjadi duit. Dengan modal sekitar Rp 100 ribu, setiap hari panen garam itu akan berkepanjangan selama musim kemarau. Tapi Gabuk bukan pemilik. Panen atau tidak panen, penghasilannya tetap ditentukan hari kerja. Giat tidak giat, hasilnya juga sama saja Rp 400. Kalau musim hujan terlalu panjang, bayangkan saJa segala kesulitannya, karena ia tidak punya simpanan. Untung belum punya tanggungan anak. Tapi kalau mengingat kesehatannya bertambah ringkih, tanpa sandaran anak di kemudian hari, kedua buruh garam itu kadangkala terpekur. "Nggak tahu bagaimana ujung nasib kami nanti, untuk makan saja sulit." Nesih Tarjani lebih beruntung. Buruh garam ini mengadakan investasi untuk masa depan lewat anaknya. Dengan semangat mati-matian, ia berjuang menyekolahkan kedua anaknya. Ia meng aku kepada Helman Eidy dari TEMPO bahwa tanpa sekolah tak akan ada hidup enak. Sebagai bukti adalah hidup nya sendiri. Dengan mendidik anaknya jadi pintar tampaknya ia berusaha untuk menghentikan penderitaannya sebagai buruh garam. Dengan kata lain, hidup sebagai buruh garam sebenarnya tidak ia sukai, karena tidak cukup. Tapi tidak semua Irang di l retan menghargai sekolah seperti Tarjani. Masih banyak yang seperti Nesih (1 tahun) yang merasa sekolah tidak perlu dilayani. "Lebih enak jadi buruh tani ketimbang sekolah," ujarnya. Ia memang mendapat uang lebih cepat daripada kalau ia sibuk sekolah. Dengan cepat juga ia langsung bisa membantu orang tuanya untuk mempertahankan asap dapur. Tidak hanya itu. Ia juga cepat-cepat kawin untuk membebaskan orang tuanya dari beban tanggungan. Dalam musim hujan sambil menunggu kemarau petani garam jadi buruh tani atau nelayan. Tapi sekarang laut tidak ramah lagi. Selama dua bulan ini, angin barat sedang berembus. Badai main gila menepuk gelombang dengan cara mengerikan. Walaupun desakan perut, sedikit sekali ada orang yang edan untuk mencari makan ke tengah amukan samudera itu. Gabuk sekali waktu pernah mencobanya. Bukan ikan yang ketemu, tapi lidah angin. Gabuk kena betot dan dimuntahkan ke laut. Untung selamat. Tapi rupanya air banyak masuk kuping. Sampai sekarang tetap pekak. Ia kapok. "Sekarang belum bisa bikin garam, masuk laut sangsi, mau jadi buruh tani tenaga sudah habis," kata Gabuk kebingungan. Dati, petani garam yang lain, tidak gugup. Sebab di samping membuat garam ia punya kepintaran membuat jaring. Sambil menunggu musim kemarau, ia hidup dari jaringnya. Didampingi Catimah, isterinya, yang beker]a sebagai :buruh tani dengan penghasilan Rp 150 sehari, Dati bertekad bertahan di Ertan. Hidupnya memang melarat juga. Hutang terus melilit. Tapi entah kenapa ia merasa masih enak. Ia tidak bisa membayangkan untuk merantau ke Jakarta misalnya, karena tak dibekali keahlian apa-apa. Malam hari di daerah petani garam Erotan benar-benar sepi. Di sana tidak ada listrik. Orang lebih suka mengurung diri, menyiapkan tenaga. Tak ada hiburan. Setahun sekali ada Tarling dari Indramayu, biasanya untuk melengkapi hajat pesta pernikahan warga desa yang berada. Yang lebih sering muncul adalah banjir. Ini bahkan acara rutin. Gabuk pernah tidur terlalu pulas, sementara air sudah menyapu tepi balai-balainya. Tapi ia tidak mengeluh. Hal semacam itu sudah terlalu biasa. Tak Pernah Enak Peruntungan pemilik ladang garam juga tidak terlalu hebat. Nasib mereka ditentukan terang tidaknya cuaca. Dan sesudah itu masih harus dikompromikan dengan para pedagang garam. "Soal harga garam, masih ditentukan oleh pedagang Cina yang terus main spekulasi," kata lurah Eretan yang bernama Dulhadi. Bayangkan kalau garam lagi melimpah, pedagang itu berebutan membeli sambil menekan harga. Sekitar Rp 7 per kilo. Garam itu diantar ke Jakarta. Tidak langsung dijual. Ditumpuk dulu. Satu hektar tanah pada musim kemarau bisa menghasilkan sampai 150 ton garam. Mudah dihiung berapa ton yang bisa dihasilkan Eretan. Semuanya menumpuk di Jakarta. Nanti kalau musim hujan datang, waktu garam sulit, garam timbunan itu muncul dengan harga Rp 25 sekilo. Dan sementara para petani tidak petnah bergerak dari penjara Rp 400 satu hari. Sebagaimana di Kuwu, Gabuk juga pernah menaruh harapan pada Koperasi Unit Desa (KUD). Tapi lembaga ini sudah bangkrut. "Uangnya habis dipakai untuk keperluan tidak karuan," kata lurah Dulhadi. Akhirnya para petani, pemilik ladang dan buruh-buruhnya, tidak mengharapkan apa-apa lagi. Mereka hanya melihat ke udara dan mengharapkan langit lebih banyak terang dalam satu tahun. "Hidup saya selama jadi petani garam tak pernah enak," ujarnya. Lalu kenapa jadi petani? Gabuk sudah menjawab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus