PADA musim kemarau, garam gampang dibuat. Tapi harganya jadi
merosot. Di musim hujan, untuk membuat air mengkristal jadi
garam dibutuhkan waktu sampai setengah bulan. Toh harganya tidak
melonjak. Maklum orang makan garam tidak sebanyak mengisap
rokok. Inilah agaknya inti pokok penderitaan para petani garam
yang rata-rata berpenghasilan Rp 100 sehari di daerah Kuwu,
Kabupaten Purwodadi (Jawa Timur).
Ada 22 kepala keluarga di Dukuh Jagan Kelurahan Kuwu (Kecamatan
Kradenan) yang sudah jadi petani garam sejak zaman nenek moyang
mereka. Di Kuwu ada dataran lumpur yang mirip danau. Di
tengah-tengahnya terdapat kawah yang setiap 3-5 detik meletup ke
atas menyemburkan lumpur panas setinggi 3-5 meter. Lumpur yang
menyembur dengan suara "bluk" itu merayap dan kemudian mengeras
setelah 100 meter dari pusat letupan. Di tanah itulah penduduk
membuat sumur.
Ternyata airnya asin. Lalu seluruh kampung ramai-ramai jadi
petani garam.
Koperasi Garam
Tersebutlah Martorejo petani gaek berusia 75 tahun yang membuat
garam dengan belahan bambu. Ia bekerja sama dengan isterinya.
Kalau matahari mencorong 4 hari terus menerus, barulah air
menjadi garam. Lalu ia mendapat 2 pikul yang akhirnya hanya
menghasilkan Rp 400. Edan memang.
Martorejo bukan tidak kepingin merubah nasib. Tapi baru saja ia
menolak kredit Rp 45 ribu dari petugas Kecamatan Kradean.
Kenapa? "Habis pinjamannya diwujudkan dengan bambu, sedang
uangnya hanya lima ribu. Kalau berupa uang semua akan saya
terima," kata orang tua itu kepada Metese Mulyono dari TEMPO.
Nadanya setengah mengadu.
Pak Radi, rekan kakek itu, juga ikut menolak. Bambu bukan
keperluan yang mendesak. Belahan bambu yang dipakai untuk
mengendapkan air, sesudah 5-7 tahun, baru memerlukan ganti. Jadi
memang bijaksanana menolak.
Sementara itu tidak ada kemungkinn lain untuk merubah nasib.
Jadi hidup mereka tetap saja lata. O ya memang ada di desanya
Koperasi Garam. Namun menjual garam lewat koperasi berarti
menyerahkan diri untuk dipotong-potong. Walhasil, semua petani
garam Kuwu' memasarkan barangnya langsung ke pasar.
Di wilayah Desa Erotan, Kecamatan Kandanghaut, Indramayu (Jawa
Barat) orang jadi petani garam juga karena bimbingan alam.
Daerah itu tandus usaha. Mereka terjepit antara jalan
JakartaCirebon dengan pantai laut Jawa. Sebelas ribu penduduk
dengan 4200 KK menggantungkan hidup sebagai "buruh tani", "buruh
nelayan" dan "buruh garam". Tidak seperti masyarakat Kuwu, garam
itu tidak mereka miliki sendiri, namun hasilnya hampir sama.
Satu hari rata-rata Rp 400, kotor.
Gabuk, ,70 tahun, adalah buruh garam yang tcrmasuk kelas
perintis. Pada zaman Belanda belum ada penduduk yang membuat
garam karena ada larangan dari Belanda. Waktu itu hanya Madura
yang diizinkan bikin garam. Kalau ada penduduk Eretan yang
mencoba, pasti ditangkap.
Sekarang ada tanah milik negara yang bisa disewa dengan setoran
berupa 5 ton garam untuk semusim kerja yang lamanya 8 bulan.
Usaha ini lahir sekitar 15 tahun yang lalu. Gabuk yang merintis
jalannya.
Garam Diperlukan
Gabuk bersama isterinya Tarpen (56 tahun) sebenarnya berasal
dari Kampung Jangga, Losarang Kabupaten Cirebon. Mula-mula
karena menganggur Gabuk main mata dengan laut. Terbit inspirasi
untuk membuat garam. "Kerja itu kan abadi. Karena sepandai
apapun tukang masak, makanan tak bakal nikmat kalau tak pakai
garam. Ringkasnya, garam diperlukan selama manusia perlu makan,"
kata Gabuk kepadakawannya bernama Tasiman.
Kebetulan ada rekan bernama Mustafa yang punya modal. Uang
dikeluarkan dan Gabuk bersama Tasiman menjadi buruhnya. Sekarang
usaha macam itu meluas. Tak kurang dari 150 hektar tanah di tepi
laut menjadi ladang garam. Lebarnya 700 meter, memanjang menurut
bibir pantai. Setiap satu hektar dikerjakan oleh 6 orang buruh.
Ladang ladang itu merubah air laut jadi kristalkristal garam
dalam tempo setengah bulan.
Dalam minggu pertama Gabuk membenahi lumpur pantai menjadi petak
petak. Setiap satu hektar jadi lima puluh petak. Kemudian lubang
digali, saluran air dikerjakan, airpun masuk tambak. Di samping
itu disiapkan juga tempat yang keras untuk menimbun
kristal-kristal tersebut kalau rampung. "Kerjanya setengah
mati," kata seorang petani bernama Tarjani.
Setiap hari air di petak yang satu dipindahkan ke petak lain.
Setiap hari pula kadar garamnya akap bertambah. Kalau hari kedua
bisa sampai 3 atau 4, pada hari keempat kadarnya bisa mencapai
18. Setelah delapan hari akan tampak kristal-kristal putih.
Demikianlah air laut tersulap menjadi duit. Dengan modal sekitar
Rp 100 ribu, setiap hari panen garam itu akan berkepanjangan
selama musim kemarau.
Tapi Gabuk bukan pemilik. Panen atau tidak panen, penghasilannya
tetap ditentukan hari kerja. Giat tidak giat, hasilnya juga sama
saja Rp 400. Kalau musim hujan terlalu panjang, bayangkan saJa
segala kesulitannya, karena ia tidak punya simpanan. Untung
belum punya tanggungan anak. Tapi kalau mengingat kesehatannya
bertambah ringkih, tanpa sandaran anak di kemudian hari, kedua
buruh garam itu kadangkala terpekur. "Nggak tahu bagaimana ujung
nasib kami nanti, untuk makan saja sulit."
Nesih
Tarjani lebih beruntung. Buruh garam ini mengadakan investasi
untuk masa depan lewat anaknya. Dengan semangat mati-matian, ia
berjuang menyekolahkan kedua anaknya. Ia meng aku kepada Helman
Eidy dari TEMPO bahwa tanpa sekolah tak akan ada hidup enak.
Sebagai bukti adalah hidup nya sendiri. Dengan mendidik anaknya
jadi pintar tampaknya ia berusaha untuk menghentikan
penderitaannya sebagai buruh garam. Dengan kata lain, hidup
sebagai buruh garam sebenarnya tidak ia sukai, karena tidak
cukup.
Tapi tidak semua Irang di l retan menghargai sekolah seperti
Tarjani. Masih banyak yang seperti Nesih (1 tahun) yang merasa
sekolah tidak perlu dilayani. "Lebih enak jadi buruh tani
ketimbang sekolah," ujarnya. Ia memang mendapat uang lebih cepat
daripada kalau ia sibuk sekolah. Dengan cepat juga ia langsung
bisa membantu orang tuanya untuk mempertahankan asap dapur.
Tidak hanya itu. Ia juga cepat-cepat kawin untuk membebaskan
orang tuanya dari beban tanggungan.
Dalam musim hujan sambil menunggu kemarau petani garam jadi
buruh tani atau nelayan. Tapi sekarang laut tidak ramah lagi.
Selama dua bulan ini, angin barat sedang berembus. Badai main
gila menepuk gelombang dengan cara mengerikan. Walaupun desakan
perut, sedikit sekali ada orang yang edan untuk mencari makan ke
tengah amukan samudera itu. Gabuk sekali waktu pernah
mencobanya. Bukan ikan yang ketemu, tapi lidah angin. Gabuk kena
betot dan dimuntahkan ke laut. Untung selamat. Tapi rupanya air
banyak masuk kuping. Sampai sekarang tetap pekak. Ia kapok.
"Sekarang belum bisa bikin garam, masuk laut sangsi, mau jadi
buruh tani tenaga sudah habis," kata Gabuk kebingungan.
Dati, petani garam yang lain, tidak gugup. Sebab di samping
membuat garam ia punya kepintaran membuat jaring. Sambil
menunggu musim kemarau, ia hidup dari jaringnya. Didampingi
Catimah, isterinya, yang beker]a sebagai :buruh tani dengan
penghasilan Rp 150 sehari, Dati bertekad bertahan di Ertan.
Hidupnya memang melarat juga. Hutang terus melilit. Tapi entah
kenapa ia merasa masih enak. Ia tidak bisa membayangkan untuk
merantau ke Jakarta misalnya, karena tak dibekali keahlian
apa-apa.
Malam hari di daerah petani garam Erotan benar-benar sepi. Di
sana tidak ada listrik. Orang lebih suka mengurung diri,
menyiapkan tenaga. Tak ada hiburan. Setahun sekali ada Tarling
dari Indramayu, biasanya untuk melengkapi hajat pesta pernikahan
warga desa yang berada. Yang lebih sering muncul adalah banjir.
Ini bahkan acara rutin. Gabuk pernah tidur terlalu pulas,
sementara air sudah menyapu tepi balai-balainya. Tapi ia tidak
mengeluh. Hal semacam itu sudah terlalu biasa.
Tak Pernah Enak
Peruntungan pemilik ladang garam juga tidak terlalu hebat. Nasib
mereka ditentukan terang tidaknya cuaca. Dan sesudah itu masih
harus dikompromikan dengan para pedagang garam. "Soal harga
garam, masih ditentukan oleh pedagang Cina yang terus main
spekulasi," kata lurah Eretan yang bernama Dulhadi. Bayangkan
kalau garam lagi melimpah, pedagang itu berebutan membeli sambil
menekan harga. Sekitar Rp 7 per kilo. Garam itu diantar ke
Jakarta. Tidak langsung dijual. Ditumpuk dulu.
Satu hektar tanah pada musim kemarau bisa menghasilkan sampai
150 ton garam. Mudah dihiung berapa ton yang bisa dihasilkan
Eretan. Semuanya menumpuk di Jakarta. Nanti kalau musim hujan
datang, waktu garam sulit, garam timbunan itu muncul dengan
harga Rp 25 sekilo. Dan sementara para petani tidak petnah
bergerak dari penjara Rp 400 satu hari.
Sebagaimana di Kuwu, Gabuk juga pernah menaruh harapan pada
Koperasi Unit Desa (KUD). Tapi lembaga ini sudah bangkrut.
"Uangnya habis dipakai untuk keperluan tidak karuan," kata lurah
Dulhadi. Akhirnya para petani, pemilik ladang dan
buruh-buruhnya, tidak mengharapkan apa-apa lagi. Mereka hanya
melihat ke udara dan mengharapkan langit lebih banyak terang
dalam satu tahun. "Hidup saya selama jadi petani garam tak
pernah enak," ujarnya. Lalu kenapa jadi petani? Gabuk sudah
menjawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini