SALAH seorang yang optimis dengan lahirnya Galatama ialah
Djamiat Dhalhar, pemain PSSI tahun 50-an yang kemudian penjadi
pelatih. "Galatama itu salah satu cara memajukan sepak bola
kita," kata Djamiat seperti dikutip Anhar, yang juga bekas
pemain PSSI.
Djamiat Dhalhar, lahir 27 Nopember 1927 di Yogyakarta, menjadi
pemain nasional tahun 1953 Pada masa jayanya, pernah publik
mengenal trio Djamiat, Ramang dan Tee San Liong.
"San Liong itu jago mengumpan, sedangkan Djamiat dan Ramang
punya kecepatan dan tembakan yang keras," begitu kata Anhar
mengenang masa lalu. Kejayaan Djamiat itu berlangsung sampai
1959. Sesudah itu dia melanjutkan pengabdiannya dalam
persepakbolaan sebagai pelatih nasional. Masih sebagai pelatih,
Djamiat yang oleh Anhar disebut sebagai salah seorang
"teoritikus sepak bola kita," menemui ajalnya Jum'at siang pekan
lalu. Ia menderita penyakit lever.
Sebetulnya dokter ISSl, yakur Gani, sudah berkali-kali memberi
nasihat kepada Djamiat agar menjaga kesebatannya. Tapi dasar
orang yang tak kenal lelah, dia selalu sibuk. Itulah mungkin
yang menyebabkan sakit levernya menjadi fatal.
Ketika masih dirawat di RS Ciptomangunkusumo, beberapa hari
sebelumnya, Djamiat mengalami pendarahan. Dia diam saja. Baru
ketika keluarganya tahu ada darah pada kotorannya, pihak rumah
sakit menjadi sibuk. Tapi sudah terlambat.
Djamiat sebagai pelatih selalu melihat secara apa adanya --
paling tidak begitu penuturan Anhar, yang beberapa kali pernah
bermain bersama Djamiat dalam satu tim. "Karena perkembangan di
luar negeri, pemain-pemain kita selalu ingin menerapkan satu
teori permainan, yang sebetulnya sulit, karena kita belum
menguasai dasar-dasarnya, dan seringkali teori itu tidak sesuai
dengan kondisi tubuh pemain kita," demikian Djamiat seingat
Anhar.
Anhar, yang juga bekas wartawan olahraga harian Merdeka pernah
menulis satu artikel tentang Djamiat, judulnya jamiat brain
player number one. Salah satu contoh adalah pertandingan di
Malaysia, tahun 50-an, antara PSSI dengan entah kesebelasan mana
Anhar lupa. Waktu itu Anhar selalu berlari ke depan gawang musuh
dan Djamiat selalu berhasil memberinya umpan. Tapi gawang musuh
tak pernah bobol. Djamiat akhirnya mengetahui kelemahan musuh.
Kepada Anhar dibisikkannya agar larinya tidak lurus ke depan
gawang, tapi menyerong. Betul juga akhirnya Anhar berhasil
menyarangkan bola, meskipun seingat Anhar pertandingan berakhir
dengan seri.
Bekerja di Direktorat Keolahragaan Dep. P&K, dan di PSSI, dia
terakhir memimpin Lembaga Sepakbola Siswa dan Remaja
(Galasiswa). Dan salah satu hasil kepengurusannya ialah
kerjasama antara Galasiswa dengan Dep. P&K. Tapi ketika
penandatanganan naskah kerjasama tersebut, Djamiat sedang
dirawat di RS Ciptomangunkusumo.
"Orangnya sederhana, pendiam. Itulah mungkin kenapa dia tidak
terlalu bisa memberikan teori-teorinya kepada anak asuhnya
secara populer," kenang Anhar. Kalau ada ramai-ramai dalam
persepakbolaan kita, tak terdengar pendapatnya -- entah itu isyu
penyuapan atau yang lain. Bahkan tentang total football yang
pernah ramai dibicarakan orang, menurut Anhar, Djamiat hanya
ketawa kalau ditanya pendapatnya.
Djamiat meninggalkan seorang isteri dan empat orang anak. Selain
aktif sebagai pelatih, dia juga seorang kolumnis sepakbola yang
baik. Tulisannya terakhir tentang kejuaraan dunia di Argentina,
dimuat harian Merdeka. Pertandingan internasional terakhir yang
dihadirinya ialah .4sian ames di Bangkok Desember lalu.
Komentarnya sempat diingat Anhar "Dia bilang, kalau kita tidak
bekerja sungguh-sungguh kita akan sulit mengejar ketinggalan.
Tapi jangan kecil hati. Sebab kita mempunyai pemain-pemain yang
berbakat." Tentunya dia benar, walaupun dia tak bisa melanjutkan
sumbangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini