BERITA kecelakaan itu menjalar tak secepat balapan mobil.
Sekalipun peristiwa tewasnya 6 anak yang menonton seri ke-3
rally nasional di daerah perkebunan Gunung Madu, Lampung,
terjadi 28 Januari, beritanya baru muncul 8 hari kemudian. Itu
pun diselitkan dalam sebuah surat pembaca Kompas, yang ditulis
seorang pembaca dari Metro, Lampung Tengah.
Mungkin wartawan sedang terbenam dengan sukses petinju asal
Timor Timur Francisco Lisboa, dalam kejuaraan tinju Piala
Presiden di akhir Januari itu. Kabarnya memang ada 2 wartawan
yang ikut meliput rally itu, tapi mereka rupanya sukar
mengumpulkan keterangan karena penyelenggara maupun Ikatan Motor
Indonesia bungkam. Baru 12 Februari keluar keterangan dari
Markas Besar Angkatan Kepolisian yang membenarkan terjadinya
kecelakaan tersebut.
"Rally dapat diselenggarakan dengan izin, tapi itu bukan berarti
mereka dibenarkan sewenang-wenang melakukan ikhwal-ikhwal yang
melanggar ketentuan serta hukum yang berlaku," kata Kadispen
Mabak, Kol. Pol. Sakir Subardi kepada kantor berita Antara.
Diddy Surya Kusumah sendiri, pembalap yang terlibat dalam
kecelakaan itu tidak memberi kesan menghindar dari tanggung
jawab. Dia bersama navigator Usa Sutrisna "diamankan" dan
se.npat menginap 4 malam di losmen kecil sebelah kantor polisi
Metro, sekitar 40 km dari tempat kejadian. "Pada mulanya polisi
menanyakan mengapa kami mengendarai begitu cepat. Ya saya jawab
karena persyaratan panitia untuk menempuh jarak 28,6 km dalam 12
menit menuntut hal tersebut," cerita Diddy kepada wartawan
TEMPO, Bambang Harymurti di Bandung.
Ditemui di rumahnya yang cukup nyaman di daerah elite Bandung,
Diddy yang kelihatan lebih mirip anak SMA daripada ayah 2 orang
anak itu menceritakan: Begitu start gas dia tekan penuh. Jarum
speedometer merangkak menuju angka 180 km/jam.
Menjadi juara nasional 1982 atau tidak buat Diddy ditentukan di
lintasan yang menghampar di perkebunan tebu Gunung Madu itu.
Saingan terdekatnya adalah Chepot Hanny Wiano yang telah
mengumpulkan angka tertinggi dalam 2 seri sebelumnya. Niat untuk
mengungguli pembalap berpengalaman Chepot itu menjadi terpacu
karena urutan kedua pengumpulan angka terbanyak, Beng Siswanto,
absen karena mobilnya tak datang.
Sebuah lekukan yang cukup besar pada jalan yang lebarnya sekitar
18 meter itu agak mengejutkan Diddy. Namun kontrolnya tetap
mantap sehingga lekukan berikutnya yang lebih kecil masih bisa
dilaluinya tanpa perlu mengurangi kecepatan sekitar 180-200 km
per jam. "Hanya saja lekukan ini menghalangi pandangan saya ke
depan," katanya.
Begitu dia muncul di bagian ketinggian dari lekukan itu dia
tiba-tiba terkejut ketika melihat sekitar 150 meter di depannya
berjejer drum berisi batuan yang ditanam setengah badan pada
ruas tengah jalan. Dituntun oleh refleks, Diddy memutar kemudi
ke kanan, dan Datsun Stanza-nya berhasil menghindari drum, namun
menghajar pilar beton di tepi jalan setinggi 0,5 meter yang
penuh penonton. Terutama anak-anak kecil. Mereka duduk-duduk
ataupun berdiri.
Mobil berwarna putih itu pun menabrak penonton tadi, lalu
melejit dan terbang sejauh 15 meter melompati persimpangan
jalan. Dan mendarat pada deretan patok besi yang dipasang
sebagai penumpu pintu silang jalan. Bergulir 3 kali mobil
kemudian berhenti pada posisi duduk di sebuah taman di pinggir
jalan itu.
"Selama peristiwa itu saya tetap sadar. Saya melihat Usa
terkulai padahal api mulai berkobar di bagian belakang,"
ceritanya. Tak cedera sedikit pun dia segera keluar. Berputar
melalui bagian depan mobil. Membuka pintu dan menarik keluar si
navigator. Tak sampai 3 meter dia menyeret Usa api kelihatan
mulai menjilat ruangan penumpang dan Usa pun siuman. Karena
teriakan Satpam yang berjaga di situ mereka lari. "Tak sampai 10
meter kami berlari mobil meledak," kata pembalap yang mengaku
susut berat badannya 4 kg memikirkan 6 anak yang mati dia
tubruk.
Penggemar rally mobil yang memonitor kejadian itu melihat Diddy
memang berambisi keras untuk mengalahkan Chepot. Tenaga mobil
Stanza-nya di atas kertas berada di atas Honda yang ditunggangi
Chepot. Sekalipun sudah gelap (kecelakaan terjadi sekitar pukul
20.00), Diddy berani merapat terus di belakang Chepot. Belum
lagi kalau diperhitungkan debu yang beterbangan. Begitu rapatnya
dia sehingga ketika Chepot berhasil menghindari patok drum tadi,
dia sendiri terperanjat dan tak bisa menguasai kendali.
Kecelakaan itu sendiri, menurut penggemar rally tadi, terjadi
karena penyelenggara yang kurang cermat mempersiapkan lintasan.
"Tidak ditandainya lokasi yang ada drum itu dalam tulip
merupakan kealpaan panitia," kata Helmy Sungkar yang duduk
sebagai staf pembina IMI Pusat.
Bambang Suradi, navigator dari Sidharto S.A. yang mengendarai
Colt Lancer dan berada 8 menit di belakang Diddy juga
menyalahkan panitia. "Seharusnya pada tulip tertulis, pada km 12
ada deretan drum dan melalui pemukiman," katanya.
Menurut Diddy pihak sponsor mengatakan keluarga korban telah
menerima naas itu dengan ikhlas. Di samping itu mereka telah
menerima santunan sebesar Rp 7 juta dari perusahaan asuransi
Jasa Raharja. Namun dia sendiri katanya tak mau melepaskan
tanggung jawab atas kecelakaan itu. "Sebagai seorang ayah saya
juga dapat memahami perasaan keluarga korban," katanya.
Yang masih ditunggu orang, tinggal IMI sendiri. "Sekalipun
penyelenggara yang bertanggung jawab, tapi akhirnya IMI tak
lepas dari beban itu. Dia harus mengeluarkan pernyataan. Jangan
diam saja," ucap Slamet Soekardi, bekas ketua I IMI. Dan itu
jugalah yang ditunggu Diddy. "Sampai sekarang IMI belum
menghubungi saya," katanya. Yang dia ketahui, sekalipun gagal
menyelesaikan rally dia toh berada di urutan ke-4. Chepot tetap
teratas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini