PRODUKSI tapioka akan dilipatgandakan. Tekad pemerintah itu
dikemukakan Menteri Keuangan Ali Wardhana dalam acara dengar
pendapat dengan DPR awal bulan ini. Selain untuk kepentingan
ekspor yang diharapkan bisa mendatangkan tambahan devisa,
katanya, upaya meningkatkan produksi tapioka juga diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan pabrik gula cair dan metanol.
Setahun terakhir ini memang terasa kebutuhan industri dalam
negeri akan tapioka meningkat agak tajam, sehingga pada akhir
1982 pemerintah perlu mengimpor 80 ribu ton tapioka dari
Thailand. PT Tjipta Niaga, importir tunggal yang ditunjuk, sudah
memasukkan 40 ribu ton untuk jatah tahun lalu, dan sisanya akan
masuk lagi kuartal pertama tahun ini. "Impor itu dilakukan
pemerintah untuk mengatasi kelangkaan tapioka di pasar, dan
menekan harganya yang mulai tinggi," kata Syukri Alimudin dari
humas Dep. Perdagangan.
Kedengarannya memang aneh. Sebab empat tahun lalu negeri ini
mengekspor 800 ribu ton tapioka. Tapi entah karena apa
tahun-tahun berikutnya angka ekspor itu cenderung turun: 500
ribu ton 1981), dan 350 ribu ton (1982). Sementara kuota MEE
tahun lalu sebesar 500 ribu ton, apa boleh buat, tak bisa
dipenuhi.
Angka ekspor itu tampaknya akan mengecil terus jika budidaya
menanam singkong, bahan baku untuk tapioka, tak digalakkan
pemerintah. Petani sebagai penghasil singkong terbesar, menurut
Dirjen Tanaman Pangan Wardoyo, menganggap tanaman itu tidak
ekonomis. Harga jual yang terlalu rendah dibandingkan ongkos
untuk menghasilkannya, ditambah kesulitan dalam memasarkannya,
merupakan sejumlah penghambat yang menyebabkan mereka enggan
melipatgandakan produksi.
Tidak tersedianya infrastruktur yang cukup baik, seperti
jaringan jalan dan irigasi, menyebabkan sejumlah penanam modal
mengeluarkan biaya ekstra yang mungkin tak berkaitan dengan
keglatan produksi. Untuk mematangkan lahan 5.000 ha di Gunung
Batin, Lampung Tengah, dan mendirikan pabrik tapioka, PT Multi
Agro Corp., misalnya, mengeluarkan dana Rp 8 milyar. Anak
perusahaan PT Astra International ini juga mengeluarkan biaya
pengapalan tinggi untuk memasarkan tapiokanya ke Jawa. Baru
sesudah beroperasi 8 tahun, Multi Agro bisa mengharapkan kembali
modal. "Dibanding investasi di industri, kegiatan agrobisnis ini
kalah menarik dan lebih berat," kata Kusumo Subagio, direktur
Multi Agro.
Pabrik tapioka Multi Agro di Tanjung Karang yang didirikan
(1981) dengan dana Rp 1,2 milyar mampu mengolah 500 ton singkong
jadi 100 ton tapioka setiap harinya. Sebagian besar tepung itu
dijualnya ke Jawa untuk pabrik lem dan kayu lapis dengan harga
sekitar Rp 325 per kg. Tapi suplai rupanya terlalu kecil untuk
memenuhi permintaan. PT Saritani Nusantara, Malang, misalnya,
yang antara lain memproduksi gula cair (fructose), telah
mengajukan permintaan mengimpor 10 ribu ton tapioka. Perusahaan
ini khawatir produksi gula cairnya terhenti gara-gara suplai
tapioka, bahan bakunya, sulit dipenuhi.
Biasanya memang Saritani berusaha memenuhi kebutuhan tapioka itu
dari pabriknya sendiri. Tapi perusahaan itu belakangan ini mulai
sulit memperoleh singkong dari petani Ja-Tim. Itu terjadi,
menurut Moeksaid Soeparman, direktur Saritani, sesudah para
petani lebih suka menggasak singkong hasil budidaya sendiri
untuk makan karena kegagalan panen padi akibat kemarau panjang.
Maka Saritani setiap hari hanya bisa mengolah 50 ton singkong,
yang dibeli Rp 60 per kg, untuk memperoleh 10 ton tapioka.
Sementara kemampuan pabrik mengolah mencapai 300 ton singkong.
Kesulitan memperoleh singkong dan tapioka telah menyebabkan
harga kedua komoditi itu naik. Jika 1981 singkong masih Rp 25
kini di Ja-Tim sudah mencapai sekitar Rp 125 per kg. Tapioka
yang sebelumnya Rp 125 kini sudah Rp 330 per kg. Membaiknya
harga tapioka itu rupanya telah mendorong sebuah perusahaan
mengimpor tapioka di luar pengetahuan PT Tjipta Niaga. Pekan
lalu, misalnya, kapal West Point merapat di Tanjung Perak,
Surabaya membawa 2.500 ton tapioka eks Thailand. "Kami tak tahu
siapa importirnya, tapi soal ini sudah kami laporkan ke Dep.
Perdagangan," kata Suyadi, Kepala Bagian Impor Tjipta Niaga.
Impor semacam itu tentu akan tetap terjadi seandainya produksi
di dalam negeri masih kecil. Tapi pemilik modal mana yang masih
suka menanam singkong? Sejumlah pengusaha mengemukakan pendeknya
jangka Hak Guna Usaha (30 tahun untuk tanaman keras seperti
kelapa, dan 25 tahun untuk tanaman lunak seperti singkong) yang
terlalu singkat sebagai penghambat. Menurut seorang pengusaha
mobil yang juga bergerak di perkebunan, untuk mematangkan lahan
dan memetik hasil tanaman seperti singkong dibutuhkan waktu
sedikitnya 4 tahun, pada tanaman keras 10 tahun. "Nah HGU itu
akan habis sebelum modal investasi kembali seluruhnya," katanya.
Pengusaha itu menyarankan agar HGU diberikan 99 tahun seperti di
Malaysia. Namun masa pemberian HGU sepanjang itu, kata sumber di
Ditjen Agraria, sulit. Sebab jika suatu saat pemerintah
menginginkan tanah itu untuk pembangunan, hak itu tak bisa
dibatalkan begitu saja. Untuk menghindarinya, dan mencegah kesan
munculnya koloni baru, katanya, maka UU Pokok Agraria 24
September 1960 ditelurkan.
Sesungguhnya pula HGU jika dikehendaki bisa diperpanjang bila
waktunya sudah habis. "Perpanjangan bisa sampai empat kali tiap
25 tahun sekali. Jadi pada akhirnya sama dengan Malaysia, cuma
tidak diberikan sekaligus," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini