Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siapa mau menggali singkong

Untuk kepentingan ekspor yang diharapkan bisa menambah devisa, produksi tapioka akan dilipat gandakan PT Multi Agro Corp (anak perusahaan PT Astra Int) mendirikan pabrik tapioka di lampung tengah. (eb)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRODUKSI tapioka akan dilipatgandakan. Tekad pemerintah itu dikemukakan Menteri Keuangan Ali Wardhana dalam acara dengar pendapat dengan DPR awal bulan ini. Selain untuk kepentingan ekspor yang diharapkan bisa mendatangkan tambahan devisa, katanya, upaya meningkatkan produksi tapioka juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pabrik gula cair dan metanol. Setahun terakhir ini memang terasa kebutuhan industri dalam negeri akan tapioka meningkat agak tajam, sehingga pada akhir 1982 pemerintah perlu mengimpor 80 ribu ton tapioka dari Thailand. PT Tjipta Niaga, importir tunggal yang ditunjuk, sudah memasukkan 40 ribu ton untuk jatah tahun lalu, dan sisanya akan masuk lagi kuartal pertama tahun ini. "Impor itu dilakukan pemerintah untuk mengatasi kelangkaan tapioka di pasar, dan menekan harganya yang mulai tinggi," kata Syukri Alimudin dari humas Dep. Perdagangan. Kedengarannya memang aneh. Sebab empat tahun lalu negeri ini mengekspor 800 ribu ton tapioka. Tapi entah karena apa tahun-tahun berikutnya angka ekspor itu cenderung turun: 500 ribu ton 1981), dan 350 ribu ton (1982). Sementara kuota MEE tahun lalu sebesar 500 ribu ton, apa boleh buat, tak bisa dipenuhi. Angka ekspor itu tampaknya akan mengecil terus jika budidaya menanam singkong, bahan baku untuk tapioka, tak digalakkan pemerintah. Petani sebagai penghasil singkong terbesar, menurut Dirjen Tanaman Pangan Wardoyo, menganggap tanaman itu tidak ekonomis. Harga jual yang terlalu rendah dibandingkan ongkos untuk menghasilkannya, ditambah kesulitan dalam memasarkannya, merupakan sejumlah penghambat yang menyebabkan mereka enggan melipatgandakan produksi. Tidak tersedianya infrastruktur yang cukup baik, seperti jaringan jalan dan irigasi, menyebabkan sejumlah penanam modal mengeluarkan biaya ekstra yang mungkin tak berkaitan dengan keglatan produksi. Untuk mematangkan lahan 5.000 ha di Gunung Batin, Lampung Tengah, dan mendirikan pabrik tapioka, PT Multi Agro Corp., misalnya, mengeluarkan dana Rp 8 milyar. Anak perusahaan PT Astra International ini juga mengeluarkan biaya pengapalan tinggi untuk memasarkan tapiokanya ke Jawa. Baru sesudah beroperasi 8 tahun, Multi Agro bisa mengharapkan kembali modal. "Dibanding investasi di industri, kegiatan agrobisnis ini kalah menarik dan lebih berat," kata Kusumo Subagio, direktur Multi Agro. Pabrik tapioka Multi Agro di Tanjung Karang yang didirikan (1981) dengan dana Rp 1,2 milyar mampu mengolah 500 ton singkong jadi 100 ton tapioka setiap harinya. Sebagian besar tepung itu dijualnya ke Jawa untuk pabrik lem dan kayu lapis dengan harga sekitar Rp 325 per kg. Tapi suplai rupanya terlalu kecil untuk memenuhi permintaan. PT Saritani Nusantara, Malang, misalnya, yang antara lain memproduksi gula cair (fructose), telah mengajukan permintaan mengimpor 10 ribu ton tapioka. Perusahaan ini khawatir produksi gula cairnya terhenti gara-gara suplai tapioka, bahan bakunya, sulit dipenuhi. Biasanya memang Saritani berusaha memenuhi kebutuhan tapioka itu dari pabriknya sendiri. Tapi perusahaan itu belakangan ini mulai sulit memperoleh singkong dari petani Ja-Tim. Itu terjadi, menurut Moeksaid Soeparman, direktur Saritani, sesudah para petani lebih suka menggasak singkong hasil budidaya sendiri untuk makan karena kegagalan panen padi akibat kemarau panjang. Maka Saritani setiap hari hanya bisa mengolah 50 ton singkong, yang dibeli Rp 60 per kg, untuk memperoleh 10 ton tapioka. Sementara kemampuan pabrik mengolah mencapai 300 ton singkong. Kesulitan memperoleh singkong dan tapioka telah menyebabkan harga kedua komoditi itu naik. Jika 1981 singkong masih Rp 25 kini di Ja-Tim sudah mencapai sekitar Rp 125 per kg. Tapioka yang sebelumnya Rp 125 kini sudah Rp 330 per kg. Membaiknya harga tapioka itu rupanya telah mendorong sebuah perusahaan mengimpor tapioka di luar pengetahuan PT Tjipta Niaga. Pekan lalu, misalnya, kapal West Point merapat di Tanjung Perak, Surabaya membawa 2.500 ton tapioka eks Thailand. "Kami tak tahu siapa importirnya, tapi soal ini sudah kami laporkan ke Dep. Perdagangan," kata Suyadi, Kepala Bagian Impor Tjipta Niaga. Impor semacam itu tentu akan tetap terjadi seandainya produksi di dalam negeri masih kecil. Tapi pemilik modal mana yang masih suka menanam singkong? Sejumlah pengusaha mengemukakan pendeknya jangka Hak Guna Usaha (30 tahun untuk tanaman keras seperti kelapa, dan 25 tahun untuk tanaman lunak seperti singkong) yang terlalu singkat sebagai penghambat. Menurut seorang pengusaha mobil yang juga bergerak di perkebunan, untuk mematangkan lahan dan memetik hasil tanaman seperti singkong dibutuhkan waktu sedikitnya 4 tahun, pada tanaman keras 10 tahun. "Nah HGU itu akan habis sebelum modal investasi kembali seluruhnya," katanya. Pengusaha itu menyarankan agar HGU diberikan 99 tahun seperti di Malaysia. Namun masa pemberian HGU sepanjang itu, kata sumber di Ditjen Agraria, sulit. Sebab jika suatu saat pemerintah menginginkan tanah itu untuk pembangunan, hak itu tak bisa dibatalkan begitu saja. Untuk menghindarinya, dan mencegah kesan munculnya koloni baru, katanya, maka UU Pokok Agraria 24 September 1960 ditelurkan. Sesungguhnya pula HGU jika dikehendaki bisa diperpanjang bila waktunya sudah habis. "Perpanjangan bisa sampai empat kali tiap 25 tahun sekali. Jadi pada akhirnya sama dengan Malaysia, cuma tidak diberikan sekaligus," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus